ketika pohon tak lagi berbaris di hutan
Pergerakan anak bangsa pasca
Reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, secara naluriah mengarah ke
lokasi yang berdaya tarik tinggi, yang serba menjanjikan, yang prospektus dan sarat
imaji futuristis. Kalkulasi politis menjadi dasar pertimbangan kemana rakyat
akan bergerak. Warga negara papan bawah, tetap jadi korban politik dari masa ke
masa.
Terlebih, kran demokrasi terbuka
luas, mengucur deras, bak kuda liar lepas dari pingitan periode Orde Baru.
Pemain lama tanpa rasa minder, tanpa rasa malu sepeserpun merasa mampu
melanjutkan kepeminpinan nasional. Tanpa komando muncul, timbul partai politik
baru, bak hutan bertebaran di setiap jengkal Nusantara. Semua aliran politik
dikemas dalam wadah yang tak jauh beda. Benang merah antar parpol adalah
kesamaan ambisi politik.
Ironis memang, jika dua periode
SBY ditambah periode Jokowi-JK, sebagai bukti bahwa Indonesia tidak mempunyai
politikus tulen. Apalagi politikus ulung, apalagi yang diakui oleh rakyat. Semakin politikus “cap kapak” tampil di media
massa, semakin membuktikan dirinya hanya pegiat partai. Munculnya Suharto dan
Jokowi, semakin mempertegas bahwa jiwa ideologi bangsa hanya sebatas hura-hura.
Mereka hanya melihat arti kekuasaan, dan dihitung mundur. Akhirnya dirumuskan
cara yang cepat tepat untuk meraih kekuasaan dimaksud.
Pemain tua masih gentayangan
bebas, hutan di Indonesia malah semakin tidak aman. Setiap hutan ada rajanya,
ada penguasa tunggal. Persatuan dan kesatuan nasional akan mudah tercabik
akibat ambisi politik. Di pihak lain, kekuatan dan kekuasaan korporasi semakin
menekan dan menggigit. Hukum alam, jika politik identik dengan kekuasaan, maka
pemilik modal selalu berkibar di atasnya. Tapi jika mereka berhasil masuk dalam
barisan penyelenggara negara, ada yang masih menampilkan watak aslinya. Memberi
ruang gerak pada leluhurnya.
Pemain pendatang, politikus muda,
pelaku politik pemula, mau tak mau, harus pilih hutan atau belantara yang
tersisa. Tidak bisa main sendiri. Tidak akan mampu bertindak sebagai pemain
tunggal. Ikut barisan pun harus loyal total, tunduk, taat, patuh pada kebijakan
partai. Masuk hutan memakai hukum rimba, meninggalkan identitas diri. Semua
pikir,ucap dan tindak sesuai skenario “hukum rimba”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar