Halaman

Jumat, 06 Mei 2016

ketika pohon tak lagi berbaris di hutan

ketika pohon tak lagi berbaris di hutan

Pergerakan anak bangsa pasca Reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, secara naluriah mengarah ke lokasi yang berdaya tarik tinggi, yang serba menjanjikan, yang prospektus dan sarat imaji futuristis. Kalkulasi politis menjadi dasar pertimbangan kemana rakyat akan bergerak. Warga negara papan bawah, tetap jadi korban politik dari masa ke masa.

Terlebih, kran demokrasi terbuka luas, mengucur deras, bak kuda liar lepas dari pingitan periode Orde Baru. Pemain lama tanpa rasa minder, tanpa rasa malu sepeserpun merasa mampu melanjutkan kepeminpinan nasional. Tanpa komando muncul, timbul partai politik baru, bak hutan bertebaran di setiap jengkal Nusantara. Semua aliran politik dikemas dalam wadah yang tak jauh beda. Benang merah antar parpol adalah kesamaan ambisi politik.

Ironis memang, jika dua periode SBY ditambah periode Jokowi-JK, sebagai bukti bahwa Indonesia tidak mempunyai politikus tulen. Apalagi politikus ulung, apalagi yang diakui oleh rakyat.  Semakin politikus “cap kapak” tampil di media massa, semakin membuktikan dirinya hanya pegiat partai. Munculnya Suharto dan Jokowi, semakin mempertegas bahwa jiwa ideologi bangsa hanya sebatas hura-hura. Mereka hanya melihat arti kekuasaan, dan dihitung mundur. Akhirnya dirumuskan cara yang cepat tepat untuk meraih kekuasaan dimaksud.

Pemain tua masih gentayangan bebas, hutan di Indonesia malah semakin tidak aman. Setiap hutan ada rajanya, ada penguasa tunggal. Persatuan dan kesatuan nasional akan mudah tercabik akibat ambisi politik. Di pihak lain, kekuatan dan kekuasaan korporasi semakin menekan dan menggigit. Hukum alam, jika politik identik dengan kekuasaan, maka pemilik modal selalu berkibar di atasnya. Tapi jika mereka berhasil masuk dalam barisan penyelenggara negara, ada yang masih menampilkan watak aslinya. Memberi ruang gerak pada leluhurnya.

Pemain pendatang, politikus muda, pelaku politik pemula, mau tak mau, harus pilih hutan atau belantara yang tersisa. Tidak bisa main sendiri. Tidak akan mampu bertindak sebagai pemain tunggal. Ikut barisan pun harus loyal total, tunduk, taat, patuh pada kebijakan partai. Masuk hutan memakai hukum rimba, meninggalkan identitas diri. Semua pikir,ucap dan tindak sesuai skenario “hukum rimba”. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar