dikotomi mabuk politik
Nusantara, jurus akting mabuk vs jurus mabuk akting
Memang tidak ada salah, cacat dan aibnya jika dibilang wong Jawa tidak bisa
berdiplomasi, tidak bisa berbahasa politik, tidak bisa basa-basi. Justru ciri
wong Jawa, mulai dari rakyat sampai yang berdarah biru, bahwa rasa jujur
sebagai menu harian. Ingin menegur ucap dan tindak orang lain yang sudah di
atas norma Jawa, dengan guyon
parikeno, sindiran halus. Yang disindir merasa sekaligus tidak merasa
tersinggung. Budi pekerti mengajarkan jangan sampai membuat orang lain luka
hati akibat ucapan dan tindakan kita.
Wong Jawa tidak bisa berpura-pura malu, berpura-pura sedih dengan jual
jurus pengharu-rasa berupa isak tangis ala buaya, tidak mau pidato menghiba-hiba
agar dibelaskasinani, atau merintih merasa dizalimi pihak lawan politik.
Jika ada oknum yang menyandang terdakwa, malah bangga diwawancari awak
media massa penguber sensasi, meliput langsung acara, adegan, atraksi pendulang
peringkat, atau sudah sehari tidak mampu melaksanakan pesan sponsor, bisa
dikatakan oknum tersebut memang pemain watak tulen. Rekam jejak sebagai biang
kerok, bermodal lyal total kepada ketua umum partai, akan selalu tampil dimana
saja. Bahkan dengan tega, semua babakan dan bagian kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara dan berserikat dipolitisir. Semua kegiatan yang berbasis
keuntungan rupiah, tak akan lepas dari sasaran buruan mereka. Mulai urusan
dapur keluarga sampai urusan dapur negara diacak-acak secara koorporasi,
konglomerasi.
Di panggung, indistri, syahwat politik, terlihat pemain, pelaku, pekerja
politik tidak bisa lepas dari watak kedaerahannya. Secara praktik, bahasa
politik lebih keras dibanding bahasa hukum. Kalau pengacara ditengarai berani
membela siapa saja yang berpekara asal wani piro. Pemain, pelaku,
pekerja politik lebih bebas berkreasi, lebih leluasa bermanipulasi watak diri,
karena jika nantinya sebagai pihak yang salah/tergugat, mereka tetap tenang.
Tidak perlu pengacara. Kesalahan politik, kesalahan kebijakan akibat produk
politik, tidak bisa dipidanakan, tidak bisa dikutik-kutik secara hukum.
Jangan heran, muncul dan maraknya orang yang merasa paling berjasa. Mulai
dari barisan wong cilik yang merasa berhasil nge-goal-kan Jokowo jadi RI-1 ketujuh, sampai
kerbau berlumpur, berjibaku di lumpur, serigala jual nama di media massa.
Rakyat kehabisan keringat, pejabat berkipas—kipas biar dikira sibuk dan
memprihatinkan nasib rakyat. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar