Halaman

Minggu, 08 Mei 2016

dikotomi mabuk politik Nusantara, jurus akting mabuk vs jurus mabuk akting

dikotomi mabuk politik Nusantara, jurus akting mabuk vs jurus mabuk akting


Memang tidak ada salah, cacat dan aibnya jika dibilang wong Jawa tidak bisa berdiplomasi, tidak bisa berbahasa politik, tidak bisa basa-basi. Justru ciri wong Jawa, mulai dari rakyat sampai yang berdarah biru, bahwa rasa jujur sebagai menu harian. Ingin menegur ucap dan tindak orang lain yang sudah di atas norma Jawa,  dengan guyon parikeno, sindiran halus. Yang disindir merasa sekaligus tidak merasa tersinggung. Budi pekerti mengajarkan jangan sampai membuat orang lain luka hati akibat ucapan dan tindakan kita.

Wong Jawa tidak bisa berpura-pura malu, berpura-pura sedih dengan jual jurus pengharu-rasa berupa isak tangis ala buaya, tidak mau pidato menghiba-hiba agar dibelaskasinani, atau merintih merasa dizalimi pihak lawan politik.

Jika ada oknum yang menyandang terdakwa, malah bangga diwawancari awak media massa penguber sensasi, meliput langsung acara, adegan, atraksi pendulang peringkat, atau sudah sehari tidak mampu melaksanakan pesan sponsor, bisa dikatakan oknum tersebut memang pemain watak tulen. Rekam jejak sebagai biang kerok, bermodal lyal total kepada ketua umum partai, akan selalu tampil dimana saja. Bahkan dengan tega, semua babakan dan bagian kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan berserikat dipolitisir. Semua kegiatan yang berbasis keuntungan rupiah, tak akan lepas dari sasaran buruan mereka. Mulai urusan dapur keluarga sampai urusan dapur negara diacak-acak secara koorporasi, konglomerasi.

Di panggung, indistri, syahwat politik, terlihat pemain, pelaku, pekerja politik tidak bisa lepas dari watak kedaerahannya. Secara praktik, bahasa politik lebih keras dibanding bahasa hukum. Kalau pengacara ditengarai berani membela siapa saja yang berpekara asal wani piro. Pemain, pelaku, pekerja politik lebih bebas berkreasi, lebih leluasa bermanipulasi watak diri, karena jika nantinya sebagai pihak yang salah/tergugat, mereka tetap tenang. Tidak perlu pengacara. Kesalahan politik, kesalahan kebijakan akibat produk politik, tidak bisa dipidanakan, tidak bisa dikutik-kutik secara hukum.

Jangan heran, muncul dan maraknya orang yang merasa paling berjasa. Mulai dari barisan wong cilik yang merasa berhasil nge-goal-kan Jokowo jadi RI-1 ketujuh, sampai kerbau berlumpur, berjibaku di lumpur, serigala jual nama di media massa. Rakyat kehabisan keringat, pejabat berkipas—kipas biar dikira sibuk dan memprihatinkan nasib rakyat. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar