ambisi
politik melampaui daya dukung ideologi diri
Wajar terjadi di
kompetisi olah raga, yang kalah mengakui keunggulan lawan. Muncul istilah watak
sportif. Evaluasi diri, bangkit perbaiki cara latih. Tanpa ada pertandingan,
tetap berlatih. Jadwal tetap adalah berlatih dan meningkatkan kapasitas diri
atau tim. Tujuan utama adalah bukan hanya kemenangan saja. Tetapi juga
meningkatkan kualitas olah raga. Evaluasi hasil pertandingan sebagai masukan
teknis, psikologis bagi pemain. Pemain profesional tahu betul cara
mempertahankan prestasi. Tak segan untuk berguru.
Di panggung politik, terutama
pasca Reformasi 21 Mei 1998, pihak yang menang namun bukan diurutan pertama,
langsung ajukan protes dengan segudang bukti. Namanya politik, tidak ada
istilah baik dan benar. Ibaratnya tinju, harus menang KO, jangan hanya sekedar
menang angka. Bahasa politik memposisikan secala cara raih kemenangan adalah
halal, legal dan konstitusional. Menang tipis dalam pesta demokrasi maupun
pilkada, seharusnya harus mawas diri. Kuasa tetapi berdiri diatas satu kaki.
Kecuali lawan poltik bisa dijadikan ‘mitra bisnis politik’. Masalahnya, kalau cuma
memang tipis, pihak yang kalah tipis dipastikan tidak terima dengan rela hati.
Pihak yang kalah,
tipis atau telak, dengan semangat menggelora, akan maju lagi di laga
berikutnya. Selama tunggu jadwal tanding pesta demokrasi lima tahunan, diadakan
konslidasi intern. Pihak diuntungkan secara finansial tentunya pejabat teras
atau elit partai. Mana ada diantara mereka yang masuk kategori rakyat msikin
atau keluarga pra-sejahtera. Bukti kemajuan ideologi Nusantara hanya satu,
yaitu pengurus partai dipastikan akan kaya. Setelah kaya, baru bisa urus
kesejahteraan rakyat. Bukan setelah jadi penyelenggara negara baru mau kaya
dengan berbagai cara. Berakhir dengan panggilan KPK atau kasus pidana lainnya.
Ideologi politik
Nusantara, dari periode pemerintah atau antar presiden, tidak ada yang bisa
dibakukan dan dibukukan. Para pendiri bangsa yang mampu membuat gagasan, secara
tertulis maupun dalam praktik kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Bagi politisi klas kambing, agar kelihatan cerdas, sah-sah saja mendaur ulang
ajaran bapak bangsa, ajaran sang proklamator.
Aroma irama dan citra
rasa bertajuk revolusi mental, sebagai bukti pendangkalan daya ideologi anak
bangsa. Bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa para pahlawannya, jasa
pendahulunya, jasa pemimpin bangsa. Bangsa yang besar dan berkemajuan, selalu
diawali dengan gagasan baru. Berbagai perubahan didasari dengan pemikiran baru,
tanpa harus menanggalkan gaya lama. Produk baru muncul dari hasil resultan
produk lama. Varian baru selalu muncul jika kita ikhlas berkompetisi secara
jujur, sehat dan cerdas.
Ketika bangsa ini
hanya mengandalkan, mengutamakan dan mengedepankan daya ideologi pasca Proklamasi,
kita akan selalu tinggal dilandasan. Kalah laju dan kalah maju dengan bangsa lain
yang merdeka setelah RI merdeka. 2014-2019 bangsa ini sebagai bangsa dan negara
serta pemerintah paling sibuk dibanding periode sebelumnya. Walau tak mengulang
kesalahan yang sama, mengulang kekurangan diperiode sebelumnya, namun kita
sibuk bak orang lari di tempat. Sibuk saling menghujat. Kelompok, koalisi
parpol pendukung pemerintah, relawan atau pihak pro-pemerintah sibuk menjilat. Gara-gara
salah mengkonsumsi obat kuat politik. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar