Halaman

Jumat, 20 Mei 2016

ambisi politik melampaui daya dukung ideologi diri

ambisi politik melampaui daya dukung ideologi diri

Wajar terjadi di kompetisi olah raga, yang kalah mengakui keunggulan lawan. Muncul istilah watak sportif. Evaluasi diri, bangkit perbaiki cara latih. Tanpa ada pertandingan, tetap berlatih. Jadwal tetap adalah berlatih dan meningkatkan kapasitas diri atau tim. Tujuan utama adalah bukan hanya kemenangan saja. Tetapi juga meningkatkan kualitas olah raga. Evaluasi hasil pertandingan sebagai masukan teknis, psikologis bagi pemain. Pemain profesional tahu betul cara mempertahankan prestasi. Tak segan untuk berguru.

Di panggung politik, terutama pasca Reformasi 21 Mei 1998, pihak yang menang namun bukan diurutan pertama, langsung ajukan protes dengan segudang bukti. Namanya politik, tidak ada istilah baik dan benar. Ibaratnya tinju, harus menang KO, jangan hanya sekedar menang angka. Bahasa politik memposisikan secala cara raih kemenangan adalah halal, legal dan konstitusional. Menang tipis dalam pesta demokrasi maupun pilkada, seharusnya harus mawas diri. Kuasa tetapi berdiri diatas satu kaki. Kecuali lawan poltik bisa dijadikan ‘mitra bisnis politik’. Masalahnya, kalau cuma memang tipis, pihak yang kalah tipis dipastikan tidak terima dengan rela hati.

Pihak yang kalah, tipis atau telak, dengan semangat menggelora, akan maju lagi di laga berikutnya. Selama tunggu jadwal tanding pesta demokrasi lima tahunan, diadakan konslidasi intern. Pihak diuntungkan secara finansial tentunya pejabat teras atau elit partai. Mana ada diantara mereka yang masuk kategori rakyat msikin atau keluarga pra-sejahtera. Bukti kemajuan ideologi Nusantara hanya satu, yaitu pengurus partai dipastikan akan kaya. Setelah kaya, baru bisa urus kesejahteraan rakyat. Bukan setelah jadi penyelenggara negara baru mau kaya dengan berbagai cara. Berakhir dengan panggilan KPK atau kasus pidana lainnya.

Ideologi politik Nusantara, dari periode pemerintah atau antar presiden, tidak ada yang bisa dibakukan dan dibukukan. Para pendiri bangsa yang mampu membuat gagasan, secara tertulis maupun dalam praktik kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Bagi politisi klas kambing, agar kelihatan cerdas, sah-sah saja mendaur ulang ajaran bapak bangsa, ajaran sang proklamator.

Aroma irama dan citra rasa bertajuk revolusi mental, sebagai bukti pendangkalan daya ideologi anak bangsa. Bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa para pahlawannya, jasa pendahulunya, jasa pemimpin bangsa. Bangsa yang besar dan berkemajuan, selalu diawali dengan gagasan baru. Berbagai perubahan didasari dengan pemikiran baru, tanpa harus menanggalkan gaya lama. Produk baru muncul dari hasil resultan produk lama. Varian baru selalu muncul jika kita ikhlas berkompetisi secara jujur, sehat dan cerdas.

Ketika bangsa ini hanya mengandalkan, mengutamakan dan mengedepankan daya ideologi pasca Proklamasi, kita akan selalu tinggal dilandasan. Kalah laju dan kalah maju dengan bangsa lain yang merdeka setelah RI merdeka. 2014-2019 bangsa ini sebagai bangsa dan negara serta pemerintah paling sibuk dibanding periode sebelumnya. Walau tak mengulang kesalahan yang sama, mengulang kekurangan diperiode sebelumnya, namun kita sibuk bak orang lari di tempat. Sibuk saling menghujat. Kelompok, koalisi parpol pendukung pemerintah, relawan atau pihak pro-pemerintah sibuk menjilat. Gara-gara salah mengkonsumsi obat kuat politik. [HaeN].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar