nilai tawar partai golkar semakin tawar
Masuk babakan Reformasi, Golkar menyesuaikan diri
menjadi partai politik. Melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan dan
dinamika zaman agar dosa politik bawaan zaman Orde Baru tidak menjadi beban
kehidupan. Masa transisi berakibat proses alami perubahan bentuk berupa mrotoli, mrutuli, mreteli, mritili.
Pensiunan militer yang mampu membaca gelagat politik maupun kader sipil yang
bernyali, menyempalkan diri dari golkar dan mendirikan partai politik. Yang
bertahan tidak serta merta loyalis , kader tulen atau penuh pertimbangan
politik yang dilematis.
Kalangan militer yang mengikuti jejak penguasa
tunggal Orde Baru, menjadikan golkar sebagai kendaraan politik, sehingga meraih
dan merasakan sukses dunia. Dwifungsi ABRI, kekaryaan ABRI dan istilah heroik lainnya,
menjadikan ABRI mendapat jatah kekuasaan sebagai pejabat publik. Bisnis milter
ala Suharto tetap berjalan mulus. Politisi sipil dengan asas “sesuai petunjuk
bapak presiden” agar aman di tempat.
Terbukti, jebolan, sempalan maupun alumni golkar,
ada yang mampu berkibar dan sisanya hanya ahli berkoar menjadi pecundang
politik di periode 2014-2019. Pasca badai internal, PG mempunyai ketua umum
baru (tetap muka lama, hasil kaderisasi) yang diperkuat dengan kabinetnya.
Hubungan PG (yang menghabiskan sisa periode sampai 2019) dengan pemerintah
Jokowi-JK, bukan kontrak politik. Jauh dari politik transaksional. Menghadapi
pesta demokrasi 2019, kekuatan kader PG cukup berimbang. Kalau ada yang tampak
lebih, mempunyai nilai jual, bukan karena kadar politiknya. Mereka di-blow up media massa karena berbagai
kasus yang sedang menjeratnya. Karena bahasa politik paling dominan dalam
percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara, tak ayal yang sedang bermasalah
dengan hukum bias melenggang kangkung.
Akankah akan terulang cerdas politik dimana, yang
mana, dari pada presiden Jokowi menggunaken PG sebagai kendaraan politiknya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar