Halaman

Rabu, 11 Mei 2016

jangan kau rampas dan nodai jiwa ideologi rakyat

jangan kau rampas dan nodai jiwa ideologi rakyat

Menyimak Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2008, akan kita temui lema : ideologi /idéologi/ n 1 sekumpulan konsep bersistem; 2 cara berpikir seseorang atau suatu golongan manusia; 3 paham, teori, dan tujuan yg berpadu merupakan satu program sosial politik; berideologi v mempunyai (mengandung) ideologi: bangsa Indonesia yg – Pancasila.

Konon, dalam praktiknya, ideologi dianggap sebagai berpolitik. Minimal sebagai anggota suatu partai politik yang benderanya terpampang di pinggir jalan. Kumpul dengan sesama anggota partai, entah apa tingkatannya. Mulai tak sengaja nongkrong dan nangkring bareng di pos ronda, atau tempat kumpul bapak-bapak tingkat RT, sok bicara soal politik.

Konon, kegiatan berideologi atau berpolitik ala rakyat, tidak bisa diformulasikan secara akademis. Namanya kumpul yang sudah jadi ciri masyarakat. Masyarakat guyub, apakah sekedar pengisi waktu, menjaga kekerabatan atau bentuk silaturahim lainnya. “Mangan ora mangan, sing penting kumpul” menjadi semboyan utama warga negara papan bawah. Sampai mungkin sesuai pribahasa “ada gula, ada semut”. Usaha produktif keluarga atau usaha sampingan ibu rumah tangga, bisa memperkerjakan tetangga yang sama-sama bermasalahan dalam kesejahteraan. Menarik minat tukang parkir, atau mengundang tamu tak diundang (tukang palak).

Konon, perjalanan politik d masyarakat, tidak terpengaruh parpol mana yang sedang berkuasa, tokoh siapa yang sedang “kemaruk”. Menu politik mereka tak jauh dari tahu dan tempe. Sambal merah, sambal hijau atau rawit sebagai penggugah selera. Akal dan logika politik rakyat sangat sederhana. Melihat semua kejadian akibat ulah manusia. Tak ada strata dalam pergaulan di masyarakat, sesmua mempunyai hak dan kewajiban yang tak jauh beda. Penghormatan hanya atas beda usia. Walau yang jauh lebih tua, bisa lebur dengan sesama tetangga yang seusia anaknya.

Konon, keserakahan, ketamakkan politik yang dipertontonkan di media massa, khususnya media penyiaran televisi, no problem. Rakyat mayoritas bangsa Indonesia adalah makhluk yang serba tahu akan dirnya sendiri. Melihat pembesar daerah, terlebih pejabat negara, berulah diluar nalar mereka, mereka hanya mengusap dada dan beristighfar.

Konon, rakyat sudah mulai susah membedakan mana koruptor atau penjahat berdasi dengan penyelenggara negara lainnya. Tersangka koruptor tidak dari rakyat biasa. Minimal mereka punya jabatan bergengsi. Sebagai penggerak organisasi, atau pengusaha, atau apapun jabatan rangkap yang rakyat tak faham. Tak masuk dalam otak rakyat. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar