Halaman

Minggu, 08 Mei 2016

Indonesia dan bom waktu politik

Indonesia dan bom waktu politik

Berbagai rangkaian kejadian perkara, terjadi di daerah, kalau bukan di tingkat provinsi, tentu terjadi di tingkat kabupaten/kota. Diriwayatkan, bahwasanya kekuasaan bisa diwariskan kepada keluarga secara konstituisonal, sah sesuai pasal UU dan aturan main serta kebijakan lokal. Bagaimana detailnya sudah menjadi rahasia rakyat, menjadi santapa media massa yang semakin tidak jelas keberpihakkannya.

Analisa akademis muncul dari dunia kampus, sebagai bahan tugas akhir/skripsi sampai disertasi, penelitian jabatan fungsional, jurnal ilmiah atau dalam tema acara seminar. Tak urung kalangan agama, dengan semangat ikut urun rembug terhadap fenomena warisan kekuasaan secara jalur politik. Pengamat politik dengan asumsi politisnya tak mau kalah saling adu argumen.

Semua analisa, telaah mengerucut bagaimana berpolitik secara santun, sehat dan bermartabat. Semakin banyak pihak bereaksi, bak meludah ke atas. Sejak Proklamsi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, posisi politik menjadi istimewa, didaulat politik sebagai panglima. Lanjut di era Orde Baru, demi politik, untuk mencapai tujuan menghalalkan segala cara. Semakin mengental di era Reformasi, tidak ada kawan dan lawan, tiada sekutu dan seteru, tidak dikenal istilah sahabat dan musuh, yang ada adalah kepentingan. Berebut kue nasional, pagi sekutu, malam seteru. Bahasa politik mendominasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Plat form politik seolah beda secara terang-benderang. Beda simbol atau lambang partai. Waktu praktik, tidak ada perbedaan, karena mempunyai sasaran dan target yang sama. Tujuan dan cita-cita partai, yang dibahasakan dalam AD dan ART, nyaris tipikal. Pelaku, pemain, pekerja partai tak ubahnya bak laron di musim hujan, mengelilingi lampu jalan.

Aspirasi rakyat, amanat penderitaan rakyat menjadikan rakyat berkeringat memperjuangkan nasib sendiri, karena wakil rakyat mengakar ke atas. Gebrakan wakil rakyat harus mengutamakan kebijakan partai, bukan mendahulukan kepentingan rakyat. Bom waktu politik tingkat atau skala nasional, sudah terasa dampaknya. Hanya bangsa ini harus bersyukur, bahwa rakyat masih mempunyai tepo sliro. Masih melestarikan budaya ‘bangsa pemaaf’. Masih bisa menghargai jasa nenek moyangnya, menghormati jasa para pahlawannya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar