Indonesia dan bom waktu politik
Berbagai rangkaian kejadian
perkara, terjadi di daerah, kalau bukan di tingkat provinsi, tentu terjadi di
tingkat kabupaten/kota. Diriwayatkan, bahwasanya kekuasaan bisa diwariskan
kepada keluarga secara konstituisonal, sah sesuai pasal UU dan aturan main
serta kebijakan lokal. Bagaimana detailnya sudah menjadi rahasia rakyat,
menjadi santapa media massa yang semakin tidak jelas keberpihakkannya.
Analisa akademis muncul dari
dunia kampus, sebagai bahan tugas akhir/skripsi sampai disertasi, penelitian jabatan
fungsional, jurnal ilmiah atau dalam tema acara seminar. Tak urung kalangan
agama, dengan semangat ikut urun rembug terhadap fenomena warisan kekuasaan
secara jalur politik. Pengamat politik dengan asumsi politisnya tak mau kalah
saling adu argumen.
Semua analisa, telaah
mengerucut bagaimana berpolitik secara santun, sehat dan bermartabat. Semakin
banyak pihak bereaksi, bak meludah ke atas. Sejak Proklamsi Kemerdekaan RI, 17
Agustus 1945, posisi politik menjadi istimewa, didaulat politik sebagai
panglima. Lanjut di era Orde Baru, demi politik, untuk mencapai tujuan
menghalalkan segala cara. Semakin mengental di era Reformasi, tidak ada kawan
dan lawan, tiada sekutu dan seteru, tidak dikenal istilah sahabat dan musuh,
yang ada adalah kepentingan. Berebut kue nasional, pagi sekutu, malam seteru.
Bahasa politik mendominasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Plat form
politik seolah beda secara terang-benderang. Beda simbol atau lambang partai.
Waktu praktik, tidak ada perbedaan, karena mempunyai sasaran dan target yang
sama. Tujuan dan cita-cita partai, yang dibahasakan dalam AD dan ART, nyaris
tipikal. Pelaku, pemain, pekerja partai tak ubahnya bak laron di musim hujan,
mengelilingi lampu jalan.
Aspirasi rakyat, amanat
penderitaan rakyat menjadikan rakyat berkeringat memperjuangkan nasib sendiri,
karena wakil rakyat mengakar ke atas. Gebrakan wakil rakyat harus mengutamakan kebijakan
partai, bukan mendahulukan kepentingan rakyat. Bom waktu politik tingkat atau
skala nasional, sudah terasa dampaknya. Hanya bangsa ini harus bersyukur, bahwa
rakyat masih mempunyai tepo sliro. Masih melestarikan budaya ‘bangsa pemaaf’. Masih bisa
menghargai jasa nenek moyangnya, menghormati jasa para pahlawannya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar