ketika koruptor menjadi
penyandera kekuasaan negara
Eksistensi,
rekam jejak, perjalanan waktu dan karir tindak pidana korupsi di Indonesia, sebagai
proses dua sisi bentuk korupsi secara bersamaan.
Sisi pertama, korupsi sebagai bagian dari KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme) yang berjalan bersamaan. Apakah koruptor sebagai pelaku tunggal?
Kendati disinyalir bahwa koruptor lahir dari rahim partai. Tipikor sebagai
dampak kebijakan partai. Koruptor didaulat bulat-bulat sebagai pahlawan
ideologi bagi kawanan parpolis Nusantara. Korupsi sebagai dampak nyata, dampak
langsung praktik politik transaksional, politik bagi hasil, politik balas
jasa/balas budi sekaligus politik balas dendam.
Jika politik diposisikan sebagai pasangan dari
ekonomi, bak sebuah mata uang. Menurut skala dan teori apa pun ekonomi NKRI bisa
terjun bebas sesuai permintaan pasar. Beda dengan politik yang sedang mengalami
masa pertumbuhan, melayang dan mengambang, sedang nanjak ke puncak. Politisi
lokal sampai yang regional, pakai gigi 4-5 untuk bisa saling menyalip dan
melanggar. Mereka membutuhkan gizi tinggi. Jangan heran kalau politik NKRI
memang high cost. KKN yang dibidani Bapak Pembangunan penguasa tunggal
Orde Baru akhirnya merata menjadi ajang permainan bersama, menjadi KKN gotong
royong. Sesuai semangat otonomi (di) daerah. Tak ada moncong ekor pun jadi
(memang banyak pengekor) asal masuk barisan.
Indonesia sebagai negara penerima bantuan berupa
hutang, akan semakin tergantung dengan kucuran dan gelontoran dana asing. Skenario
konspirasi internasional, KKN di indonesia, sengaja dimakmurkan dibiarkan
secara sistematis, agar Indonesia cepat
atau lambat, dari sebagai negara penghutang menjadi negara bangkrut.
Sejarah KKN harus ditulis apa adanya, baik dengan tinta emas maupun dengan
arang hasil pembalakan liar. Kalau perlu pemerintah mengeluarkan peraturan dan
keputusan Pahlawan KKN. Mendirikan museum KKN tak ada celanya, sebagai bukti.
Riwayat KKN dari masa Bung Karno dan penggantinya harus disusun secara ilmiah,
populer, dan dapat dipertanggungjawabkan. Virus KKN harus bisa dideteksi sedini
mungkin. MUI wajib mengeluarkan fatwa mengenal secara dini KKN dan upaya
pencegahan secara sistematis
Sisi kedua, korupsi akibat calon pelakunya bekerja melebihi
panggilan tugas. Sejauh ini pelaku korupsi masih didominasi dari unsur penyelenggara
negara, mulai dari tingkat Pusat sampai tingkat pemerintahan paling bawah yang
berhbungan langsung dengan penduduk, rakyat, masyarakat, warga negara.
Generasi penerus bangsa ini harus bertanya ke ahlinya (selagi ybs masih
hidup) jika ingin memraktikkan KKN secara total, bermartabat, berdasarkan
panggilan tugas.
Kalkulasi
politik menjadikan calon penyelenggara negara dari peserta pesta demokrasi,
belum disumpah sudah sarat dengan beban politik. Semakin melangkah, beban malah
semakin bertambah. Kembali modal belum tentu satu periode bisa lunas.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, askétisisme adalah paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan
berkorban. Jadi, politik asketis adalah pilihan politik yang
mengedepankan fungsionalitas dengan menjadikan kesederhanaan, kejujuran dan
berkorban jalan hidup.
Panggung politik Indonesia
jelang pesta demokrasi 2014, adakah politik asketis di Indonesia, atau paling
tidak mendekati. Khususnya parpol sebagai wadah perjuangan nilai bukan
transaksional-pragmatis. Berdirinya parpol sebagai proses alami akan kebutuhan
wadah untuk mewujudkan cita-cita, mencapai tujuan bersama.
Disimpulkan, jika seseorang yang ahli di
bidangnya semakin lama menjabat atau bercokol cenderung koruptif. Rotasi atau mutasi
berkala bisa meminimalisir kemampuan dan kesempatan untuk menjadi korup.
Ironis, justru kontrak politik masa
jabatan lima tahun menyuburkan tingkah laku koruptif. Kembali modal sampai
alasan pribadi seolah menghalalkan korupsi. Di sisi lain, koruptor atau pelaku
sejenisnya malah mendapat perlakuan istimewa. Menjadi tamu khusus, tamu
istimewa di lapas atau sebutan fungsi lainnya. Minimal menjadi obyek media
massa dalam berbagai tayangan dan acara.
Periode 2014-2019, tingkah laku kawanan
parpolis, perilaku politik, tindak-tanduk dan ulah-tingkah pelaku/pemain
politik, mendominasi kegiatan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Semua “jaringan
urat saraf” dan “peta sirkulasi darah” bangsa dan negara sudah dimonopoli oleh
orang politik yang haus kekuasaan. Urusan dapur keluarga sampai urusan dapur
negara sudah atau sesuai dikte kalangan dan kebijakan partai.
Kondisi semakin diperparah karena
Indonesia dibawah komando, kendali, ketiak korporasi yang mengelola bawah tanah
(tambang, dll) sampai atas tanah (sawit, dsb) serta kandungan laut dan maritim
Nusantara. Di depan mata hidung bangsa adalah proyek nasional reklamasi pantai
utara DKI Jakarta. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar