Halaman

Minggu, 01 Mei 2016

ketika koruptor menjadi penyandera kekuasaan negara

ketika koruptor menjadi penyandera kekuasaan negara

Eksistensi, rekam jejak, perjalanan waktu dan karir tindak pidana korupsi di Indonesia, sebagai proses dua sisi bentuk korupsi secara bersamaan.

Sisi pertama, korupsi sebagai bagian dari KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang berjalan bersamaan. Apakah koruptor sebagai pelaku tunggal? Kendati disinyalir bahwa koruptor lahir dari rahim partai. Tipikor sebagai dampak kebijakan partai. Koruptor didaulat bulat-bulat sebagai pahlawan ideologi bagi kawanan parpolis Nusantara. Korupsi sebagai dampak nyata, dampak langsung praktik politik transaksional, politik bagi hasil, politik balas jasa/balas budi sekaligus politik balas dendam.

Jika politik diposisikan sebagai pasangan dari ekonomi, bak sebuah mata uang. Menurut skala dan teori apa pun ekonomi NKRI bisa terjun bebas sesuai permintaan pasar. Beda dengan politik yang sedang mengalami masa pertumbuhan, melayang dan mengambang, sedang nanjak ke puncak. Politisi lokal sampai yang regional, pakai gigi 4-5 untuk bisa saling menyalip dan melanggar. Mereka membutuhkan gizi tinggi. Jangan heran kalau politik NKRI memang high cost. KKN yang dibidani Bapak Pembangunan penguasa tunggal Orde Baru akhirnya merata menjadi ajang permainan bersama, menjadi KKN gotong royong. Sesuai semangat otonomi (di) daerah. Tak ada moncong ekor pun jadi (memang banyak pengekor) asal masuk barisan.

Indonesia sebagai negara penerima bantuan berupa hutang, akan semakin tergantung dengan kucuran dan gelontoran dana asing. Skenario konspirasi internasional, KKN di indonesia, sengaja dimakmurkan dibiarkan secara sistematis, agar Indonesia  cepat atau lambat, dari sebagai negara penghutang menjadi negara bangkrut.

Sejarah KKN harus ditulis apa adanya, baik dengan tinta emas maupun dengan arang hasil pembalakan liar. Kalau perlu pemerintah mengeluarkan peraturan dan keputusan Pahlawan KKN. Mendirikan museum KKN tak ada celanya, sebagai bukti. Riwayat KKN dari masa Bung Karno dan penggantinya harus disusun secara ilmiah, populer, dan dapat dipertanggungjawabkan. Virus KKN harus bisa dideteksi sedini mungkin. MUI wajib mengeluarkan fatwa mengenal secara dini KKN dan upaya pencegahan secara sistematis

Sisi kedua, korupsi akibat calon pelakunya bekerja melebihi panggilan tugas. Sejauh ini pelaku korupsi masih didominasi dari unsur penyelenggara negara, mulai dari tingkat Pusat sampai tingkat pemerintahan paling bawah yang berhbungan langsung dengan penduduk, rakyat, masyarakat, warga negara.

Generasi penerus bangsa ini harus bertanya ke ahlinya (selagi ybs masih hidup) jika ingin memraktikkan KKN secara total, bermartabat, berdasarkan panggilan tugas.

Kalkulasi politik menjadikan calon penyelenggara negara dari peserta pesta demokrasi, belum disumpah sudah sarat dengan beban politik. Semakin melangkah, beban malah semakin bertambah. Kembali modal belum tentu satu periode bisa lunas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, askétisisme adalah paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban.  Jadi, politik asketis adalah  pilihan politik yang mengedepankan fungsionalitas dengan menjadikan kesederhanaan, kejujuran dan berkorban jalan hidup.

Panggung politik Indonesia jelang pesta demokrasi 2014, adakah politik asketis di Indonesia, atau paling tidak mendekati. Khususnya parpol sebagai wadah perjuangan nilai bukan transaksional-pragmatis. Berdirinya parpol sebagai proses alami akan kebutuhan wadah untuk mewujudkan cita-cita, mencapai tujuan bersama.

Disimpulkan, jika seseorang yang ahli di bidangnya semakin lama menjabat atau bercokol cenderung koruptif. Rotasi atau mutasi berkala bisa meminimalisir kemampuan dan kesempatan untuk menjadi korup.

Ironis, justru kontrak politik masa jabatan lima tahun menyuburkan tingkah laku koruptif. Kembali modal sampai alasan pribadi seolah menghalalkan korupsi. Di sisi lain, koruptor atau pelaku sejenisnya malah mendapat perlakuan istimewa. Menjadi tamu khusus, tamu istimewa di lapas atau sebutan fungsi lainnya. Minimal menjadi obyek media massa dalam berbagai tayangan dan acara.

Periode 2014-2019, tingkah laku kawanan parpolis, perilaku politik, tindak-tanduk dan ulah-tingkah pelaku/pemain politik, mendominasi kegiatan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Semua “jaringan urat saraf” dan “peta sirkulasi darah” bangsa dan negara sudah dimonopoli oleh orang politik yang haus kekuasaan. Urusan dapur keluarga sampai urusan dapur negara sudah atau sesuai dikte kalangan dan kebijakan partai.

Kondisi semakin diperparah karena Indonesia dibawah komando, kendali, ketiak korporasi yang mengelola bawah tanah (tambang, dll) sampai atas tanah (sawit, dsb) serta kandungan laut dan maritim Nusantara. Di depan mata hidung bangsa adalah proyek nasional reklamasi pantai utara DKI Jakarta. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar