Indonesia, bangsa besar dan semangat
berkemajuan
Karya monumental dan
heroisme anak bangsa yang dilandasi semangat reformasi adalah perubahan atas
UUD RI 1945, tercatat baru empat kali. Dampak nyata, diperiode 2014-2019,
sisa-sisa sang reformis masih bernafsu mengkangkangi Nusantara. Unjuk diri
bahwa masih layak dan patut memimpin bangsa. Tidak punya nilai jual, tanpa malu
mendaur ulang ajaran moyangnya.
Tantangan dan
kenyataan zaman diartikan harus tunduk, patut dan loyal kepada kebijakan partai
penguasa. Penempatan orang yang tepat sebagai penyelenggara negara, harus
meliwati mekanisme, seleksi asas bhakti ke partai, serta restu dari bandar
politik utawa disebut sebagai presiden senior. Badut politik dan serigala
politik bersatu dalam barisan pro-pemerintah.
Kasus reklamasi
pantura DKI Jakarta, semakin membuktikan bahwa di atas kuasa pelaku politik
masih ada pelaku ekonomi. Pelemahan rupiah perlu diwaspadai dan meresahkan pemerintah.
Soal pelemahan moral politik bangsa cukup dipoles dengan gincu revolusi mental.
Pejuang politik lebih mementingkan diri sendiri serta mengutamakan kepentingan
partai. Barometernya sederhana, jika jelang bulan Ramadhan 1437H tidak ada
gejolak pasar, berarti ketahanan pangan lokal sukses.
Indonesia sebagai bangsa
besar, bukan pada banyaknya populasi, tetapi mampu menempatkan jasa para
pahlawannya, jasa pendahulunya, jasa pendiri bangsa, jasa pemimpin bangsa, jasa
pejuang tanpa pamrih, jasa politikus tanpa jabatan formal, pada posisi yang
tepat. Semangat dan daya juang kita lanjutkan. Bangsa yang besar dan
berkemajuan, selalu diawali dengan gagasan baru. Berkeinginan untuk lebih baik
daripada periode sebelumnya. Tidak mengutuk masa lalu serta tidak kenyang
dengan rasa bangga atas prestasi nenek moyang. Berbagai perubahan didasari
dengan pemikiran baru, gagasan baru,
tanpa harus menanggalkan gaya lama.
Indonesia sebagai bangsa
berkemajuan, bukan diartikan perang antar periode. Membandingkan periode
sekarang lebih sukses dibanding periode sebelumnya. Berkemajuan karena sebagai bangsa
yang giat mengembangkan konsepsi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang evaluatif,
antisipatif, dan prospektus. Benang merah antar zaman, antar generasi, antar
periode, antar pemerintah merupakan pemantapan tiap tahapan. Produk baru muncul
dari hasil resultan produk lama. Varian baru selalu muncul jika kita ikhlas
berkompetisi secara jujur, sehat dan cerdas. Mengunggulkan produk lama
berkonotasi bahwa bangsa ini seolah tak mampu berpikir, dianggap tak mampu
membuat konsepsi yang merakyat. Dengan kata lain, daya akal, daya logika dan
daya nalar politik anak bangsa sudah uzur.
Bangsa besar dan
berkemajuan tidak melakukan pembiaran yang menimpa rakyat sekaligus tidak
melakukan pemaksaan kehendak konsep berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Soal hidup sederhana, sejak zaman penjajah sudah menjadi menu harian rakyat.
Perjuangan politik hanya selama lima tahun dan malah meninggalkan bom waktu
politik, meninggalkan PR besar bangsa, meninggalkan hutang kepada rakyat. Indonesia harus berani bangun dan bangkit dari mimpi lamanya.
Model pembiaran yang menjadi
trend pemerintah Jokowi-JK adalah terjadi pembiaran masuknya pemikiran asing, bebas
melenggang masuk budaya mancanegara yang menawarkan surga dunia. Tekanan dalih
perdagangan bebas dunia, masyarakat ekonomi ASEAN, arus masuk tenaga asing
menganggap bangsa ini berdaya tarik komersial. Hasilnya, tiap tahun ratusan
tenaga asing diderotasi, belum yang tertangkap tangan. Indonesia boleh bangga
politik luar negeri yang bebas aktif diakui dunia. Tidak diimbangi dengan
geliat politik dalam negeri. Banyak pelaku, pemain dan pekerja politik merasa
paling berjasa. Merasa berhasil menyelesaikan masalah bangsa dan negara di mata
dunia dan terekam media masa bayaran.
Bangsa Indonesia dimotori
pecundang politik klas berat, gemar menatap kaca spion saat berlomba dengan
negara lain di jalur cepat. Membanggakan jasa nenek moyangnya. Menepuk dada
dengan banyaknya jumlah penduduk. Merasa bisa berdiri di barisan depan, memberi
aba-aba. Jadi tolok ukur kemanfaatan revolusi mental, minimal tugas KPK menjadi
semakin ringan. Sehingga KPK hanya sebagai tukang stempel atas pemerintahan
yang bersih. Sekaligus terseleksi mana partai politik yang pejuang dan mana
yang sekedar sebagai mata pencaharian.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar