Halaman

Senin, 23 Mei 2016

Indonesia, bangsa besar dan semangat berkemajuan

Indonesia, bangsa besar dan semangat berkemajuan

Karya monumental dan heroisme anak bangsa yang dilandasi semangat reformasi adalah perubahan atas UUD RI 1945, tercatat baru empat kali. Dampak nyata, diperiode 2014-2019, sisa-sisa sang reformis masih bernafsu mengkangkangi Nusantara. Unjuk diri bahwa masih layak dan patut memimpin bangsa. Tidak punya nilai jual, tanpa malu mendaur ulang ajaran moyangnya.

Tantangan dan kenyataan zaman diartikan harus tunduk, patut dan loyal kepada kebijakan partai penguasa. Penempatan orang yang tepat sebagai penyelenggara negara, harus meliwati mekanisme, seleksi asas bhakti ke partai, serta restu dari bandar politik utawa disebut sebagai presiden senior. Badut politik dan serigala politik bersatu dalam barisan pro-pemerintah.

Kasus reklamasi pantura DKI Jakarta, semakin membuktikan bahwa di atas kuasa pelaku politik masih ada pelaku ekonomi. Pelemahan rupiah perlu diwaspadai dan meresahkan pemerintah. Soal pelemahan moral politik bangsa cukup dipoles dengan gincu revolusi mental. Pejuang politik lebih mementingkan diri sendiri serta mengutamakan kepentingan partai. Barometernya sederhana, jika jelang bulan Ramadhan 1437H tidak ada gejolak pasar, berarti ketahanan pangan lokal sukses.

Indonesia sebagai bangsa besar, bukan pada banyaknya populasi, tetapi mampu menempatkan jasa para pahlawannya, jasa pendahulunya, jasa pendiri bangsa, jasa pemimpin bangsa, jasa pejuang tanpa pamrih, jasa politikus tanpa jabatan formal, pada posisi yang tepat. Semangat dan daya juang kita lanjutkan. Bangsa yang besar dan berkemajuan, selalu diawali dengan gagasan baru. Berkeinginan untuk lebih baik daripada periode sebelumnya. Tidak mengutuk masa lalu serta tidak kenyang dengan rasa bangga atas prestasi nenek moyang. Berbagai perubahan didasari dengan pemikiran baru, gagasan baru,  tanpa harus menanggalkan gaya lama.

Indonesia sebagai bangsa berkemajuan, bukan diartikan perang antar periode. Membandingkan periode sekarang lebih sukses dibanding periode sebelumnya. Berkemajuan karena sebagai bangsa yang giat mengembangkan konsepsi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang evaluatif, antisipatif, dan prospektus. Benang merah antar zaman, antar generasi, antar periode, antar pemerintah merupakan pemantapan tiap tahapan. Produk baru muncul dari hasil resultan produk lama. Varian baru selalu muncul jika kita ikhlas berkompetisi secara jujur, sehat dan cerdas. Mengunggulkan produk lama berkonotasi bahwa bangsa ini seolah tak mampu berpikir, dianggap tak mampu membuat konsepsi yang merakyat. Dengan kata lain, daya akal, daya logika dan daya nalar politik anak bangsa sudah uzur.

Bangsa besar dan berkemajuan tidak melakukan pembiaran yang menimpa rakyat sekaligus tidak melakukan pemaksaan kehendak konsep berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Soal hidup sederhana, sejak zaman penjajah sudah menjadi menu harian rakyat. Perjuangan politik hanya selama lima tahun dan malah meninggalkan bom waktu politik, meninggalkan PR besar bangsa, meninggalkan hutang kepada rakyat. Indonesia harus berani bangun dan bangkit dari mimpi lamanya.

Model pembiaran yang menjadi trend pemerintah Jokowi-JK adalah terjadi pembiaran masuknya pemikiran asing, bebas melenggang masuk budaya mancanegara yang menawarkan surga dunia. Tekanan dalih perdagangan bebas dunia, masyarakat ekonomi ASEAN, arus masuk tenaga asing menganggap bangsa ini berdaya tarik komersial. Hasilnya, tiap tahun ratusan tenaga asing diderotasi, belum yang tertangkap tangan. Indonesia boleh bangga politik luar negeri yang bebas aktif diakui dunia. Tidak diimbangi dengan geliat politik dalam negeri. Banyak pelaku, pemain dan pekerja politik merasa paling berjasa. Merasa berhasil menyelesaikan masalah bangsa dan negara di mata dunia dan terekam media masa bayaran.

Bangsa Indonesia dimotori pecundang politik klas berat, gemar menatap kaca spion saat berlomba dengan negara lain di jalur cepat. Membanggakan jasa nenek moyangnya. Menepuk dada dengan banyaknya jumlah penduduk. Merasa bisa berdiri di barisan depan, memberi aba-aba. Jadi tolok ukur kemanfaatan revolusi mental, minimal tugas KPK menjadi semakin ringan. Sehingga KPK hanya sebagai tukang stempel atas pemerintahan yang bersih. Sekaligus terseleksi mana partai politik yang pejuang dan mana yang sekedar sebagai mata pencaharian.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar