Halaman

Rabu, 25 Mei 2016

Indonesia bangsa besar, bayar lunas jasa pejuang politik sebelum . . .

Indonesia bangsa besar, bayar lunas jasa pejuang politik sebelum . . .

Pengamat politik dengan modal obrolan warung pinggir kali, acap berucap berbau gorengan minyak curah. Sambil kunyah tahu tempe, mulut nerocos tak berujung pangkal omong sok tahu politik. Paling-paling tertipu berita media massa, khususnya media penyiaran televisi yang mencekoki pemirsa yang haus berita. Warung serba nasi ini, ditempeli semboyan “sekarang bayar kontan, besok boleh hutang”, malah tak pernah sepi dari pemakan.

Negara saja punya hutang ke badan dunia, negara donor, atau lembaga keuangan internasional, yang mengilhami jual beli barang dengan pola BTN = Beli Tapi Nyicil/Ngangsur alias kredit dengan bunga ringan, tetapi tidak meringankan. Dampak risiko tagihan ditanggung si penghutang, atau entah apa nama ilmiah ekonominya. Rakyat faham apa itu uang muka, selain sudah tenar uang rokok, uang pelicin dan jenis istilah lainnya.Termasuk “Kasih Uang Habis Perkara” yang populer dan berlaku resmi sepanjang zaman.

“Tidak ada makan siang gratis”, yang diadop dari semangat negara pemberi hutang : “no free lunch”. Melahirkan dan menyuburkan politik transaksional, memadukan gaya politik balas jasa, balas budi sekaligus praktik bareng dengan gaya politik balas dendam. Periode 2014-2019 berbasis politik transaksional, karena yang punya kerja dendam politiknya sedang di titik zenith, di ambang atas, sudah tahap klimaks.

Indonesia dengan polulasi nomer empat sedunia, menjadikan sebagai bangsa besar. Tua, tanpa loyo dan layu, berdampak di panggung, industri dan syahwat politik, masih bersliweran politisi sipil yang tak mati-mati - walau bukan sebagai mayat hidup -  dan tak akan puas sampai mati.

Jika batas usia dikaitkan dengan produktifitas, ada baiknya, bukan berarti ybs harus duduk yang manis. Usia senja jangan diartikan sebagai usia yang ditunggu, sebagai saat tepat sibuk dengan urusan akhirat. Usia senja jangan diartikan sebagai masuk kotak, habis segala daya dan upaya. Usia pensiun memang bisa diartikan saat uber rezeki. Karena selama masih aktif, hanya menjalankan kewajiban sesuai tugas dan fungsi kerja. Pasca pensiun, garis kehidupan tak akan menaik tajam atau merosot drastis. Tak salah sejak belia sudah mandi keringat, nanti hidup tua menjadi bermartabat. Semakin berumur, hidup semakin teratur. Walau sudah meliwati masa ternak-teri, tinggal lele (leyeh-leyeh). Tiap pagi duduk di teras, melahap surat kabar dan menyeruput secangkir teh nasgitel. Sibuk momong cucu. Urus pekarangan. Bergegas ketika azan dikumandangkan.

Lalu kapan mentuntaskan isi cerita dengan judul. Frasa ‘pejuang politik’ tampak heroik, hanya dilakukan orang yang tanpa pamrih. Minimal, orang yang sudah tidak memikirkan dunia. Berjuang karena Allah, untuk Allah semata. Konsep yang ideal, di atas kertas atau dalam bentuk naskah akademis. Jika ‘pejuang politik’ mendapat balasan dunia berwujud takhta, harta dan jelita (bagi pria) atau berbentuk harta, harta, harta bagi kaum hawa, sebagai konsekuensi logis bahwa bangsa yang besar akan membayar jasa ‘pejuang politik’.

Kasus yang menimpa oknum sekjen parpol bertajuk nasdem, sebagai partai pendatang baru di pesta demokrasi 2014, namun dengan cepat, sigap mampi menyesuaikan diri dengan iklim politik. Berurusan dengan KPK sebagai tersangka dalam penanganan perkara kasus bantuan Sosial pemprov Sumut, di Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung. Terjadi di oktober 2015, sebagai kado tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK. Kata pengamat politik, lihat alenia awal, karena pemerintah tidak memperhatikan nasib pendukungnya. Sehingga, pejuang politik sekaliber sekjen partai nasdem, harus blusukan, berjibaku mencari obyekan, mencari tambahan ala kadarnya agar asap dapur keluarga tetap mengepul, berasap. Seolah pemerintah melakukan pembiaran yang berakibat keluarga pejuang politik kapiran, walau belum masuk kategori keuarga pra-sejahtera.

Namun jika ada pejuang politik yang mampu kaya secara finansial, ekonomi, yang kemudian layak, patut diresmikan jadi pembantu presiden, sebagai bukti bahwa partai politik sebagai mata pencaharian utama. Bisa menjadi menu utama revolusi mental, sebagai bahan ajar pendidikan politik praktis. Wajar ybs bisa berpenghasilan jauh di atas rata-rata petani se-Nusantara. Ybs bisa fokus dan mengabdikan dirinya secara total demi cita-cita partai. Apa itu cita-cita partai, pernah saya tayangkan di blog yang sama.

Jadi, wahai negaraku sebagai bangsa besar, bayar lunas jasa pejuang politik sebelum jatuh tempo. Sebelum keringat dan air mata buaya kering. Sebelum ingatan politik dan syahwat politik susut. Sebelum ambisi politiknya memudar. Sebelum daya ideologinya beralih rupa.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar