Halaman

Kamis, 19 Mei 2016

maraknya serigala politik

maraknya serigala politik

Indonesia mengalami degradasi evolusi budaya. Mulai dari bagaimana penduduk di daerah tujuan wisata menyikapi kondisi yang ada sampai sikap politik bangsa Indonesia. Perkembangan nuansa budaya tadi, ternyata daya gerus budaya di sikap politik bangsa sangat sederhana yaitu haus kekuasaan, rakus kekayaan, dan gila jabatan. Masalahnya, nyaris merata sampai tingkat kabupaten/kota. Beda dengan daerah berbudaya, ada yang masih mampu jaga diri. Tidak mudah tergoyahkan silaunya budaya asing yang dibawa turis mancanegara.

Laju pertumbuhan cita rasa ideologi anak bangsa Indonesia naik drastis, nyaris tak terbendung, pasca Reformasi 21 Mei 1998 yang mulai dari puncaknya. Sang Reformis, yang awalnya dipandang sebagai penyelamat bangsa dari dominasi pengasa tunggal Orde Baru berikut kendaraan politiknya, tanpa komando banyak yang menampakkan watak aselinya.

Perubahan ideologi ditandai munculnya partai politik dengan tampilan dan format baru, namun masih dihiasi wajah lama. Dampak nyata perubahan ini pada taha kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat hanya terimbas kebijakan politik yang jauh dari untuk kepentingan rakyat. Perubahan ideologi hanya sebatas penggunaan nalar, akal, logika politik yang selama Orde Baru tersimpan rapi dalam angan-angan. Wajah baru, cikal bakal pemimpin bangsa  yang muncul hanya untuk tenggelam sebelum jatuh tempo. Kalau mampu bertahan satu periode, begitu usai, langsung masuk kotak. Atau alih profesi. Kutu loncat, kader karbitan, penerima warisan politik, modal nama, menyemarakkan panggung politik.

Kalkulasi politik yang mendasari perubahan ideologi hanya mengandalkan rumusan bagaimana cara merebut kekuasaan secara konstitusional. Itu saja. Soal biaya politik, sudah ada ahlinya. Tinggal main dan siap dimainkan secara sadar. Jabatan ketua umum partai politik, secara tak resmi menjadi syarat utama ikut pilpres, menjadikan orang tak sabar antri dalam barisan. Orang terpana betapa SBY bisa jadi presiden, bahkan sampai dua periode berturut-turut. Selama dua periode SBY, oknum pelaku, pemain, petugas, pekerja politik hanya fokus bagaimana sukses di pesta demokrasi 2014.

Hasilnya, politikus atau politisi sipil yang hidup zaman pak Harto, yang masih gentayangan, bukannya memikirkan masa depan bangsa dan negara. Mereka lebih mengutamakan kepentingan partai. Periode sebuah parpol yang tak sama dengan periode Jokowi-JK, sudah ancang-ancang mau apa di pesta demokrasi 2019. Disinilah terlihat watak asli serigala politik Nusantara. Menggalang kekuatan, merangkul lawan politik sebagai jembatan ke 2019. Tidak bisa disalahkan. Itulah politik. Segala watak manusia versi wayang sudah terpakai semua, bahkan kurang, melebih stock yang ada. Melirik watak binatang, fauna.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar