maraknya
serigala politik
Indonesia mengalami
degradasi evolusi budaya. Mulai dari bagaimana penduduk di daerah tujuan wisata
menyikapi kondisi yang ada sampai sikap politik bangsa Indonesia. Perkembangan
nuansa budaya tadi, ternyata daya gerus budaya di sikap politik bangsa sangat
sederhana yaitu haus kekuasaan, rakus kekayaan, dan gila jabatan. Masalahnya,
nyaris merata sampai tingkat kabupaten/kota. Beda dengan daerah berbudaya, ada
yang masih mampu jaga diri. Tidak mudah tergoyahkan silaunya budaya asing yang
dibawa turis mancanegara.
Laju pertumbuhan cita
rasa ideologi anak bangsa Indonesia naik drastis, nyaris tak terbendung, pasca
Reformasi 21 Mei 1998 yang mulai dari puncaknya. Sang Reformis, yang awalnya
dipandang sebagai penyelamat bangsa dari dominasi pengasa tunggal Orde Baru
berikut kendaraan politiknya, tanpa komando banyak yang menampakkan watak
aselinya.
Perubahan ideologi
ditandai munculnya partai politik dengan tampilan dan format baru, namun masih
dihiasi wajah lama. Dampak nyata perubahan ini pada taha kehidupan berbangsa
dan bernegara. Masyarakat hanya terimbas kebijakan politik yang jauh dari untuk
kepentingan rakyat. Perubahan ideologi hanya sebatas penggunaan nalar, akal,
logika politik yang selama Orde Baru tersimpan rapi dalam angan-angan. Wajah
baru, cikal bakal pemimpin bangsa yang
muncul hanya untuk tenggelam sebelum jatuh tempo. Kalau mampu bertahan satu
periode, begitu usai, langsung masuk kotak. Atau alih profesi. Kutu loncat,
kader karbitan, penerima warisan politik, modal nama, menyemarakkan panggung
politik.
Kalkulasi politik
yang mendasari perubahan ideologi hanya mengandalkan rumusan bagaimana cara
merebut kekuasaan secara konstitusional. Itu saja. Soal biaya politik, sudah
ada ahlinya. Tinggal main dan siap dimainkan secara sadar. Jabatan ketua umum
partai politik, secara tak resmi menjadi syarat utama ikut pilpres, menjadikan
orang tak sabar antri dalam barisan. Orang terpana betapa SBY bisa jadi
presiden, bahkan sampai dua periode berturut-turut. Selama dua periode SBY,
oknum pelaku, pemain, petugas, pekerja politik hanya fokus bagaimana sukses di
pesta demokrasi 2014.
Hasilnya, politikus
atau politisi sipil yang hidup zaman pak Harto, yang masih gentayangan,
bukannya memikirkan masa depan bangsa dan negara. Mereka lebih mengutamakan
kepentingan partai. Periode sebuah parpol yang tak sama dengan periode
Jokowi-JK, sudah ancang-ancang mau apa di pesta demokrasi 2019. Disinilah
terlihat watak asli serigala politik Nusantara. Menggalang kekuatan, merangkul lawan
politik sebagai jembatan ke 2019. Tidak bisa disalahkan. Itulah politik. Segala
watak manusia versi wayang sudah terpakai semua, bahkan kurang, melebih stock
yang ada. Melirik watak binatang, fauna.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar