Waspadai Gerakan Lembaga Donor Asing
Tidak ada yang aneh, atau
pasal yang mencurigakan pada Peraturan Pemerintah (PP) 59/2016 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan oleh Warga.Negara Asing, mulai berlaku
pada tanggal diundangkan di Jakarta 6 Desember 2016. Namanya bahasa hukum, bisa
multitafsir, bias dan bermakna ganda. Seperti ada maksud terselubung atau
menutupi sesuatu atau memberi kesempatan dan peluang pada pihak tertentu untuk
berbuat.
Jelasnya, jika kita
“curigai” ada apa di balik Pasal 3-nya : ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a terdiri atas : fokus pada huruf
b, yang berbunyi :
badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain yang melaksanakan program kegiatan dari lembaga donor asing.
Apa itu ‘lembaga donor asing’ tidak ada
penjelasan resmi dan rinciannya.
Sebelum mencari
apa itu nomenklatur ‘lembaga donor asing’. Binatang seperti apakah. Saya ajak
pembaca fokus publik, untuk kilas balik. Khususnya pada bahwa ada semboyan “no free lunch”. Marak dipakai kawanan
politisi sipil yang ikut bisnis politik pesta demokrasi. Baru dengan sesama
anak bangsa, beda aliran ideologi, sudah terjadi semacam itu. Apalagi dengan
beda bangsa, negara.
Lepas dari fakta
utang luar negeri Indonesia di era periode 2014-2019 yang belum jatuh tempo,
namun bisa menyalip dua periode SBY.
Wajar, jika tidak
ada suatu bentuk bantuan luar negeri, bantuan asing yang gratis. Malah harus
dengan umpan yang besar serta biaya OM yang tidak sedikit. Belum kalau ada
persyaratan dan embel-embelnya. Jika ada formalitas perjanjian kerjasama yang
seolah saling menguntungkan, maka dipastikan pihak ‘tangan di bawah’ atau
penerima bantuan tidak mempunyai posisi tawar yang menentukan.
Tidak boleh buruk
sangka, dakwa bahkan duga, kalau nyatanya pihak lembaga pendanaan atau lembaga donor
asing pasti mempunyai misi tertentu, terselubung atau sudah bisa direbak apa
maunya. Misi bisa dimulai dari meraup keuntungan
materi finasial, semisal dananya bertambah. Bisa juga misi “ideal” semisal agar
tujuan program/kegiatan yang diperjungkan dapat tercapai.
Kita coba menelaah apa itu binatang ‘lembaga donor
asing’ dengan kacamata hukum Indonesia. Ternyata apa itu lembaga donor asing, mengacu
Peraturan Pemerintah (PP) 2/2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, tersurat/tersirat bahwa Lembaga Donor Asing
dikenal dengan sebutan yang dijelaskan di Pasal 1 angka 9 :
Pemberi Hibah Luar
Negeri, yang selanjutnya disingkat PHLN, adalah pemerintah suatu negara asing,
lembaga multilateral, lembaga keuangan dan lembaga non keuangan asing, serta
lembaga keuangan non asing, yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di
luar wilayah negara Republik Indonesia, yang memberikan hibah kepada
Pemerintah.
Sedangkan Pasal 1 angka 7 PP 2/2006 berbunyi
:
Hibah Luar Negeri
adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang
dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh
dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali.
Bagaimana pemerintah RI membatasai gerakan
atau modus operandi lembaga donor asing. Kita simak Pasal 4 PP 2/2006, ditulis
:
Pasal 4
Pemerintah dapat
menerima pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang bersumber dari:
1. Negara asing;
2. Lembaga Multilateral;
3. Lembaga keuangan dan lembaga non keuangan asing; dan
4. Lembaga keuangan non asing
yang berdomisili dan
melakukan kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Kalau dikaji lebih ke atas, yaitu mengacu
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
tiap tahun ditetapkan melalui UU. Dan tiap UU tentang APBN selalu mencantumkan,
seperti juga UU 18/2006 tentang APBN 2017, menyebutkan di Pasal 1 angka 7 :
Penerimaan Hibah adalah semua
penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan,
rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang
tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari
dalam negeri maupun dari luar negeri.
Fokus pada kara kunci yang
tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, sudah cukup jelas maknanya. Artinya, pemerintah dan
bangsa Indonesia tidak perlu mencari penyakit dengan memudahkan ‘yang tidak mengikat’ diuraikan menjadi semacam Pasal 3 huruf b PP 56/2016.
Jangan disimpulkan jika Pasal 3 huruf b PP
59/2016 bertolak belakang dengan tulisan di Pasal 4 PP 2/2006. Apakah dengan adanya PP terkini, jika ada
Pasal yang bertentangan dengan pasal di PP sebelumnya, otomatis pakai PP
terkini. Apalagi tidak sesuai dengan jiwa ‘penerimaan hibah’ UU tentang APBN.
Lembaga donor asing, bisa melangkahi ketentuan Pasal 4 PP/2006 terlebih UU
tentang APBN, dengan cara memakai perpanjangan tangan ormas asing. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar