Halaman

Minggu, 25 Desember 2016

Waspadai Gerakan Lembaga Donor Asing



Waspadai Gerakan Lembaga Donor Asing

Tidak ada yang aneh, atau pasal yang mencurigakan pada Peraturan Pemerintah (PP) 59/2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan oleh Warga.Negara Asing, mulai berlaku pada tanggal diundangkan di Jakarta 6 Desember 2016. Namanya bahasa hukum, bisa multitafsir, bias dan bermakna ganda. Seperti ada maksud terselubung atau menutupi sesuatu atau memberi kesempatan dan peluang pada pihak tertentu untuk berbuat.

Jelasnya, jika kita “curigai” ada apa di balik Pasal 3-nya : ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a terdiri atas : fokus pada huruf b, yang berbunyi :
badan hukum yayasan asing atau sebutan lain yang melaksanakan program kegiatan dari lembaga donor asing.

Apa itu ‘lembaga donor asing’ tidak ada penjelasan resmi dan rinciannya.

Sebelum mencari apa itu nomenklatur ‘lembaga donor asing’. Binatang seperti apakah. Saya ajak pembaca fokus publik, untuk kilas balik. Khususnya pada bahwa ada semboyan “no free lunch”. Marak dipakai kawanan politisi sipil yang ikut bisnis politik pesta demokrasi. Baru dengan sesama anak bangsa, beda aliran ideologi, sudah terjadi semacam itu. Apalagi dengan beda bangsa, negara.

Lepas dari fakta utang luar negeri Indonesia di era periode 2014-2019 yang belum jatuh tempo, namun bisa menyalip dua periode SBY.

Wajar, jika tidak ada suatu bentuk bantuan luar negeri, bantuan asing yang gratis. Malah harus dengan umpan yang besar serta biaya OM yang tidak sedikit. Belum kalau ada persyaratan dan embel-embelnya. Jika ada formalitas perjanjian kerjasama yang seolah saling menguntungkan, maka dipastikan pihak ‘tangan di bawah’ atau penerima bantuan tidak mempunyai posisi tawar yang menentukan.

Tidak boleh buruk sangka, dakwa bahkan duga, kalau nyatanya pihak lembaga pendanaan atau lembaga donor asing pasti mempunyai misi tertentu, terselubung atau sudah bisa direbak apa maunya.  Misi bisa dimulai dari meraup keuntungan materi finasial, semisal dananya bertambah. Bisa juga misi “ideal” semisal agar tujuan program/kegiatan yang diperjungkan dapat tercapai.

Kita coba menelaah apa itu binatang ‘lembaga donor asing’ dengan kacamata hukum Indonesia. Ternyata apa itu lembaga donor asing, mengacu Peraturan Pemerintah (PP) 2/2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, tersurat/tersirat bahwa Lembaga Donor Asing dikenal dengan sebutan yang dijelaskan di Pasal 1 angka 9 :
Pemberi Hibah Luar Negeri, yang selanjutnya disingkat PHLN, adalah pemerintah suatu negara asing, lembaga multilateral, lembaga keuangan dan lembaga non keuangan asing, serta lembaga keuangan non asing, yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia, yang memberikan hibah kepada Pemerintah.

Sedangkan Pasal 1 angka 7 PP 2/2006 berbunyi :
Hibah Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali.

Bagaimana pemerintah RI membatasai gerakan atau modus operandi lembaga donor asing. Kita simak Pasal 4 PP 2/2006, ditulis :
Pasal 4
Pemerintah dapat menerima pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang bersumber dari:
1. Negara asing;
2. Lembaga Multilateral;
3. Lembaga keuangan dan lembaga non keuangan asing; dan
4. Lembaga keuangan non asing
yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia.

Kalau dikaji lebih ke atas, yaitu mengacu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tiap tahun ditetapkan melalui UU. Dan tiap UU tentang APBN selalu mencantumkan, seperti juga UU 18/2006 tentang APBN 2017, menyebutkan di Pasal 1 angka 7 :
Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Fokus pada kara kunci yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, sudah cukup jelas maknanya. Artinya, pemerintah dan bangsa Indonesia tidak perlu mencari penyakit dengan memudahkan ‘yang tidak mengikat’ diuraikan menjadi semacam Pasal 3 huruf b PP 56/2016.

Jangan disimpulkan jika Pasal 3 huruf b PP 59/2016 bertolak belakang dengan tulisan di Pasal 4 PP 2/2006. Apakah dengan adanya PP terkini, jika ada Pasal yang bertentangan dengan pasal di PP sebelumnya, otomatis pakai PP terkini. Apalagi tidak sesuai dengan jiwa ‘penerimaan hibah’ UU tentang APBN.

Lembaga donor asing, bisa melangkahi ketentuan Pasal 4 PP/2006 terlebih UU tentang APBN, dengan cara memakai perpanjangan tangan ormas asing. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar