Dilema Pejabat Swasta, Korupsi Bebas vs Bebas Korupsi
UU
28/1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, seolah hanya
berlaku pada penyelenggara negara sebagai pengguna APBN atau APBD. Di pihak
lain, seolah sektor swasta dengan berbagai perilaku bisnisnya tidak bisa
berdampak pada kasus merugikan negara secara langsung.
Para
pengusaha, pemilik perusahaan swasta apakah perusahaan multinasional atau
perusahaan nasional, seolah bebas bertindak. Mereka memanfaatkan celah modus operandi yang belum
diatur oleh produk hukum. Merasa nyaman tidak dapat ditindak secara hukum,
kendati masuk kategori pasal pidana
korupsi. Mereka berpegang teguh pada adagium Universitas Delinguere
Nonprotest (Badan Hukum tidak dapat dipidana).
Jangan
lupa, bahwa pengaturan korporasi sebagai “Subyek Hukum” diatur dalam UU 31/1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1 ayat 1 menjelaskan : Korporasi adalah kumpulan
orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum.
Keluwesan hukum terhadap subyek hukum, apakah itu
korporasi atau pegawai negeri, bisa kita simak Pasal 20 ayat (7) : Pidana pokok yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum
pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Jadi jika “pejabat masih tetap korupsi”, karena
pengertian pejabat tidak sekedar sebagai pejabat publik, atau yang masuk
kategori penyelenggara negara. UU 31/1999 menyuratkan bahwa korporasi dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bahkan korporasi masuk
kategori pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (lihat Pasal 1 ayat 1 UU 28/1999).[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar