bagai menegakkan hukum basah
Ujar piwulang ki dalang Sobopawon, penerapan hukum di Indonesia bertolak
belakang dengan ongkos bis kota, jauh dekat bayar 4 (empat) ribu rupiah. Jangan
dibandingkan dengan pelayanan umum, ingin cepat selesai biaya lipat. Ingin lewat
jalan normal, sesuai SOP makan waktu dan belum tentu beres.
Keputusan hukum
versi pengadilan, ingin hukuman ringan berbanding terbalik dengan biaya ketok
palu. Ingin ringan perkara, harus berat di biaya perkara, ongkos sidang. Mau ringan
vonis, harus berat timbangan ongkos urus hukum. Mau pasal yang meringankan,
siapkan pemberat rupiah. Pakai saksi yang meringankan, harus ringan tangan mengeluarkan
biaya saksi.
Sidang pengadilan
yang cepat, tidak bertele-tele, tidak menghabiskan waktu, baca tarifnya yang
tak tertulis. Harus pandai-pandai membaca isi hati, pikiran aparat penegak
hukum. Atau agar proses perkara dimentahkan, cari alat pengkarbit pembatalan,
pematangan perkara. Atau lakukan jual beli perkara sesuai selera yang punya
hukum.
Kita bersyukur
bahwasanya Indonesia adalah negara hukum. Hukum buatan manusia, dalam
praktiknya bisa dimusyawarahkan, bisa dicari kesepakatan antar pihak secara
mufakat. Usahakan masalah hukum diselesaikan secara kekeluargaan. Pakai asas
tahu sama tahu.
Jangan sampai
mencari penyakit, menambah perkara karena melanggar HAM aparat penegak hukum. Jangan
sampai wibawa hukum tergerus. Hukum di Indonesia sedang diuji, lawannya adalah
bahasa politik. Penguasa kok dilawan. Soal menambah dosa, itu lain cerita.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar