Halaman

Kamis, 29 Desember 2016

bagai menegakkan hukum basah



bagai menegakkan hukum basah

Ujar piwulang ki dalang Sobopawon, penerapan hukum di Indonesia bertolak belakang dengan ongkos bis kota, jauh dekat bayar 4 (empat) ribu rupiah. Jangan dibandingkan dengan pelayanan umum, ingin cepat selesai biaya lipat. Ingin lewat jalan normal, sesuai SOP makan waktu dan belum tentu beres.

Keputusan hukum versi pengadilan, ingin hukuman ringan berbanding terbalik dengan biaya ketok palu. Ingin ringan perkara, harus berat di biaya perkara, ongkos sidang. Mau ringan vonis, harus berat timbangan ongkos urus hukum. Mau pasal yang meringankan, siapkan pemberat rupiah. Pakai saksi yang meringankan, harus ringan tangan mengeluarkan biaya saksi.

Sidang pengadilan yang cepat, tidak bertele-tele, tidak menghabiskan waktu, baca tarifnya yang tak tertulis. Harus pandai-pandai membaca isi hati, pikiran aparat penegak hukum. Atau agar proses perkara dimentahkan, cari alat pengkarbit pembatalan, pematangan perkara. Atau lakukan jual beli perkara sesuai selera yang punya hukum.

Kita bersyukur bahwasanya Indonesia adalah negara hukum. Hukum buatan manusia, dalam praktiknya bisa dimusyawarahkan, bisa dicari kesepakatan antar pihak secara mufakat. Usahakan masalah hukum diselesaikan secara kekeluargaan. Pakai asas tahu sama tahu.

Jangan sampai mencari penyakit, menambah perkara karena melanggar HAM aparat penegak hukum. Jangan sampai wibawa hukum tergerus. Hukum di Indonesia sedang diuji, lawannya adalah bahasa politik. Penguasa kok dilawan. Soal menambah dosa, itu lain cerita. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar