antara makar dan korupsi
Tanpa opini penduduk, rakyat, masyarakat
yang mempraktikkan konstitusi UUD 1945 bahwa “setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” serta diimbangi “hak menyatakan pendapat wakil rakyat dalam menjalankan
fungsinya”, maka negara
mengalami kesulitan untuk mengetahui fakta dan realita di lapangan.
Aksi blusukan sampai keblusuk versi Joko Widodo, tentunya
bukan sekedar “kemana angin deras
bertiup, kesana pula condongnya”. Masukan dari hasil intipan, intaian
BIN bisa diandalkan. Terlebih ketua BIN adalah konco dw.
Rakyat bersyukur, di periode 2014-2019 masih terdapat sejumlah anak bangsa yang
berjuang mengatasnamakan rakyat. Walhasil, mereka terjebak dogma atau stigma
menikmati hasil perjuangan politiknya diatas penderitaan rakyat sekaligus
meraup, meraih, menadah untung dibawah kerugian negara.
Dalih sebagai pejuang revolusi mental yang tidak kenal tempat dan waktu,
menjadikan oknum penyelenggara negara dengan tekun, rajin dan tabah
meningkatkan kesejahteraan diri sendiri. Setelah kenyang tujuh turunan, baru
memikirkan nasib rakyat.
Karena calon koruptor sudah dijaring, dirazia, digrebeg oleh KPK, maka
Polri mencari lahan, lading dan garapan lain.
Jika lempar kebijakan ‘ujar kebencian’ sebagai prestasi Polri, maka untuk
mengimbangi dampak, ekses, efek domino kasus penistaan agama, dimunculkan isu
makar, kudeta atau istilah padanan lainnya.
Kejahatan politik yang berlindung di balik trologi makar konstitusional
yaitu merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, merebut kembali kekuasaan.
Kita tunggu permainan cantik apa lagi yang akan dipertontonkan kepada
rakyat? [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar