Jangan Sampai Kebijakan UN Jadi Bumerang
Secara nalar, akal, logika yang paling sederhana, jika ingin mengetahui kemanfaatan,
tingkat keberhasilan ataupun kierja sistem pendidikan nasional, bukan pada
persentase kelulusan anak didik. Bukan pula pada persentase guru yang
bersertifikat.
Kesenjangan dan kestabilan tingkat pendidikan antardaerah masih jadi PR (pekerjaan rumah) setiap pemerintah atau
periode presiden. Lagu lama, ganti presiden, ganti menteri, ganti kebijakan. Ironis,
kebijakan atau hokum dibuat (hanya) untuk dilanggar.
Kebijakan nasional tidak serta merta berlaku dan bisa diberlakukan di semua
kabupaten/kota di Indonesia. Semangat otonomi daerah ditambah kepala daerah nyaris sebagai jabatan
politis, berdampak kepedulian kepala daerah terhadap pendidikan menjadi
komoditas politik.
Komersialisasi UN (ujian nasional) memacu serta memicu dogma moratorium
UN. Mata rantai mulai bahan ajar yang standard
nasional sampai bisa diserap anak didik, tiap daerah punya cerita
sendiri-sendiri.
Basis pendidikan dasar yaitu “calistung” atau baca, tulis, hitung,
berujung sebagai syarat masuk sekolah dasar. Kemampuan anak di bidang
calistung, sebagai cara utama mengetahui kemampuan dasar anak didik.
Untuk mewujudkan UN tentu banyak faktor pertimbangan yang harus
dicermati. Jangan sampai anak didik jadi tabung rekasi uji coba UN. Jangan. Faktor pertimbangan yang paling
mendasar adalah jangan nasib anak didik hanya ditentukan oleh nilai UN. Jangan sampai
peras otak tahunan, kelulusannya hanya ditentukan beberapa hari. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar