Halaman

Minggu, 11 Desember 2016

Jangan Sampai Kebijakan UN Jadi Bumerang

Jangan Sampai Kebijakan UN Jadi Bumerang

Secara nalar, akal, logika yang paling sederhana, jika ingin mengetahui kemanfaatan, tingkat keberhasilan ataupun kierja sistem pendidikan nasional, bukan pada persentase kelulusan anak didik. Bukan pula pada persentase guru yang bersertifikat.

Kesenjangan dan kestabilan tingkat pendidikan antardaerah masih jadi  PR (pekerjaan rumah) setiap pemerintah atau periode presiden. Lagu lama, ganti presiden, ganti menteri, ganti kebijakan. Ironis, kebijakan atau hokum dibuat (hanya) untuk dilanggar.

Kebijakan nasional tidak serta merta berlaku dan bisa diberlakukan di semua kabupaten/kota di Indonesia. Semangat otonomi daerah  ditambah kepala daerah nyaris sebagai jabatan politis, berdampak kepedulian kepala daerah terhadap pendidikan menjadi komoditas politik.

Komersialisasi UN (ujian nasional) memacu serta memicu dogma moratorium UN.  Mata rantai mulai bahan ajar yang standard nasional sampai bisa diserap anak didik, tiap daerah punya cerita sendiri-sendiri.

Basis pendidikan dasar yaitu “calistung” atau baca, tulis, hitung, berujung sebagai syarat masuk sekolah dasar. Kemampuan anak di bidang calistung, sebagai cara utama mengetahui kemampuan dasar anak didik.


Untuk mewujudkan UN tentu banyak faktor pertimbangan yang harus dicermati. Jangan sampai anak didik jadi tabung rekasi uji coba UN.  Jangan. Faktor pertimbangan yang paling mendasar adalah jangan nasib anak didik hanya ditentukan oleh nilai UN. Jangan sampai peras otak tahunan, kelulusannya hanya ditentukan beberapa hari. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar