2017 dan
ujaran sanyatané ki Blakasuta
Fenomena suara klakson dengan suara berbagai irama,
terkadang menggema, yang dipunyai bis penumpang antar provinsi atau kendaraan
besar lainnya, dikenal dengan ‘om tolelet om’, indikasi rakyat jenuh dan nyaris
muak dengan omong politik doang.
Media massa sebagai sarana ampuh menebarkan dan
menyebarkan omongan orang partai. Sampai kepala negara tak mau ketinggalan
mengeluarkan pernyataan yang semakin memperkeruh kemelut bangsa. Medsos, media
daring atau sebutan apapun, tak kalah nyalinya menyuarakan isi hatinya tanpa
pandang kata. Kendati ada Revisi
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) mulai berlaku pada Senin, 28 November 2016, suasana transaksi suara tetap
berjalan tanpa hambatan.
Hukum di Indonesia menjelaskan bahwa
kalau ikhwal Pencemaran Nama Baik itu dapat berupa menista secara lisan dan atau menista dengan tulisan. Ironisnya, jika ada pihak bereaksi atas kejadian yang
tidak masuk akal, dengan menyampaika ujaran isi hati ditujukan untuk
kepentingan umum, untuk membela diri, ataupun untuk mengungkap adanya udang di
balik batu – tak ayal bisa-bisa bisa dianggap fitnah (oleh pemerintah).
Di masyarakat Jawa adalah istilah “ngomong waton nyata” malah jadi perkara. Tidak bicara dianggap
menerima kebijakan penguasa. Saya akan menayangkan ulang olah kata saya, yaitu
:
ketika reaksi rakyat
tanpa kata, dikira tak bisa buka suara
Indonesia sebagai negara hukum, tak heran, siapa saja pihak yang tersangkut
perkara, siapa yang cakap bicara, ahli silat lidah, pandai baku mulut, cerdas
cermat memutarbalikkan dan memainkan makna tafsir pasal hukum, dipastikan akan
dinyatakan sebagai pihak yang tidak bersalah. Tak jarang, pihak penggugat malah
jadi terpidana. Apalagi rakyat yang mempertahankan haknya, bisa dicap anti
Revolusi Mental. Apalagi rakyat yang menyuarakan kebenaran, akan mendapat
stigma teroris lokal.
Praktek hukum Nusantara, bukan berdasarkan mana yang salah dan mana yang
benar. Hukum tidak mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Hukum tidak
mencari dan menegakkan kebenaran, walau fakta bicara dan mendukung. Keputusan
hukum berdasarkan asumsi dari selera pemutus perkara sesuai akumulasi modal
mulut, tekanan politik, dan kekuatan Rp.
Revolusi Mental memposisikan rakyat sebagai obyek hukum. Aspirasi rakyat
dan kejadian nyata di masyarakat, sudah diakomodir oleh wakil rakyat, mulai
dari tingkat kabupaten/kota sampai Senayan. Laporan masyarakat, yang seharusnya
terdeteksi sejak dini oleh wakil rakyat, melalui kotak politik akan ditanggapi
secara seksama dan sesuai jadwal.
Makanya, jeritan rakyat Indonesia yang mengadu nasib, mengejar Rp di negeri
orang, di mancanegara menjadi acara kunker oknum DPR.
- - - - - - -
Posisi tahun 2017 yang atau juga sebagai tengah periode 2014-2019 sebagai
penentu nasib sang penguasa. rakyat tanpa diminta tetap bekerja, berbakti untuk
nusa dan bangsa. Rakyat tak mau meninggalkan kewajiban walau ada iming-iming duniawi.
Tetap konsisten dengan jati diri, citra diri sebagai rakyat apa adanya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar