Halaman

Senin, 26 Desember 2016

2017 dan ujaran sanyatané ki Blakasuta



2017 dan ujaran sanyatané ki Blakasuta

Fenomena suara klakson dengan suara berbagai irama, terkadang menggema, yang dipunyai bis penumpang antar provinsi atau kendaraan besar lainnya, dikenal dengan ‘om tolelet om’, indikasi rakyat jenuh dan nyaris muak dengan omong politik doang.

Media massa sebagai sarana ampuh menebarkan dan menyebarkan omongan orang partai. Sampai kepala negara tak mau ketinggalan mengeluarkan pernyataan yang semakin memperkeruh kemelut bangsa. Medsos, media daring atau sebutan apapun, tak kalah nyalinya menyuarakan isi hatinya tanpa pandang kata. Kendati ada Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mulai berlaku pada Senin, 28 November 2016, suasana transaksi suara tetap berjalan tanpa hambatan.

Hukum di Indonesia menjelaskan bahwa kalau ikhwal Pencemaran Nama Baik itu dapat berupa menista secara lisan  dan atau menista dengan tulisan. Ironisnya, jika ada pihak bereaksi atas kejadian yang tidak masuk akal, dengan menyampaika ujaran isi hati ditujukan untuk kepentingan umum, untuk membela diri, ataupun untuk mengungkap adanya udang di balik batu – tak ayal bisa-bisa bisa dianggap fitnah (oleh pemerintah).

Di masyarakat Jawa adalah istilah “ngomong waton nyata” malah jadi perkara. Tidak bicara dianggap menerima kebijakan penguasa. Saya akan menayangkan ulang olah kata saya, yaitu :

ketika reaksi rakyat tanpa kata, dikira tak bisa buka suara

Indonesia sebagai negara hukum, tak heran, siapa saja pihak yang tersangkut perkara, siapa yang cakap bicara, ahli silat lidah, pandai baku mulut, cerdas cermat memutarbalikkan dan memainkan makna tafsir pasal hukum, dipastikan akan dinyatakan sebagai pihak yang tidak bersalah. Tak jarang, pihak penggugat malah jadi terpidana. Apalagi rakyat yang mempertahankan haknya, bisa dicap anti Revolusi Mental. Apalagi rakyat yang menyuarakan kebenaran, akan mendapat stigma teroris lokal.

Praktek hukum Nusantara, bukan berdasarkan mana yang salah dan mana yang benar. Hukum tidak mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Hukum tidak mencari dan menegakkan kebenaran, walau fakta bicara dan mendukung. Keputusan hukum berdasarkan asumsi dari selera pemutus perkara sesuai akumulasi modal mulut, tekanan politik, dan kekuatan Rp.

Revolusi Mental memposisikan rakyat sebagai obyek hukum. Aspirasi rakyat dan kejadian nyata di masyarakat, sudah diakomodir oleh wakil rakyat, mulai dari tingkat kabupaten/kota sampai Senayan. Laporan masyarakat, yang seharusnya terdeteksi sejak dini oleh wakil rakyat, melalui kotak politik akan ditanggapi secara seksama dan sesuai jadwal.

Makanya, jeritan rakyat Indonesia yang mengadu nasib, mengejar Rp di negeri orang, di mancanegara menjadi acara kunker oknum DPR.
- - - - - - - 
Posisi tahun 2017 yang atau juga sebagai tengah periode 2014-2019 sebagai penentu nasib sang penguasa. rakyat tanpa diminta tetap bekerja, berbakti untuk nusa dan bangsa. Rakyat tak mau meninggalkan kewajiban walau ada iming-iming duniawi. Tetap konsisten dengan jati diri, citra diri sebagai rakyat apa adanya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar