jangan salahkan generasi setengah baya, JIKA . . . . .
Ujar Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) yang berkantor
pusat di Jenewa, Swiss, karena kualitas
kesehatan dan harapan hidup rata-rata manusia di seluruh dunia, maka perlu
ditetapkan kriteria baru yang membagi kehidupan manusia ke dalam 5 kelompok
usia sebagai berikut :
0 – 17 tahun : Anak-anak
di bawah umur
18 – 65 tahun : Pemuda
66 – 79 tahun : Setengah baya
80 – 99
tahun : Orang tua
100 tahun ke atas :
Orang tua berusia panjang
Indonesia sudah mulai mengenal dan akrab dengan
bonus demografi sejak 2012. Bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk
berusia produktif 15-64 tahun lebih banyak ketimbang usia tak produktif (di
bawah 15 dan lebih dari 64). Kesan pertama yaitu penduduk berusia <15
tahun dan >64 tahun masuk kategori tak produktif. Tentunya ada perbedaan
nyata makna tak produktif antar batasan
usia tersebut.
Produktivitas manusia usia >64 tahun yang telah
meniti rentang waktu dan perjalanan hidup disertai makan asam garam kehidupan,
tentu beda dengan produktivitas manusia <15 tahun. Beda pada kinerja otot,
tulang dan tenaga. Semangat, daya juang, keuletan tidak luntur di makan waktu.
Minimal pernah muda. Sedikit banyak sudah meliwati berbagai tahap sensor,
sortir, seleksi, saringan kehidupan yang terkadang tidak ramah, tidak kenal
kompromi bahkan tidak pakai rasa belas kasihan.
Manusia usia <15 tahun jangan diartikan tidak
produktif, tidak mampu berbuat, tidak mampu berkarya. Usia pada tahap proses
tumbuh kembang dari berbagai aspek, menjadikan mereka perlu pendidikan,
pengajaran, pelatihan yang terkait agama dan ilmu. Kelompok ini selain masih
labil, juga masih rawan, rentan, riskan dari intervensi eksternal. Mudah
terkontaminasi liwat panca indranya.
Bangsa Indonesia yang merupakan akumulasi penduduk
semua usia, jika pondasinya pada penduduk usia <15 tahun, betapa penting dan
menentukan peran mereka terhadap masa depan bangsa dan negara. Cara sederhana
menghancurkan bangsa dan negara Indonesia, dimulai dengan melemahkan generasi
muda atau penduduk usia <15 tahun.
Berkat asupan gizi, nutrisi, kalori di atas
rata-rata standar nasional, tak kurang anak bangsa yang melepaskan masa
pemudanya tetap eksis. Santapan rohani, penguatan religi, menjadikan diri kita
ingin menjadi manusia yang bermanfaat. Usia tidak menjadi hambatan untuk
berkarya. Kerennya, mengabdi kepada nusa dan bangsa. Banyak jalan yang bisa
ditempuh. Mulai dari kehidupan primer, yaitu olah tanah. Ada yang masuk ranah
jasa dengan modal warisan, rekam jejak, makan tabungan masa depan dan akses ke
kunci kehidupan. Generasi setengah baya secara historis bisa lolos dari saringan
hidup dan kehidupan. Rekam jejaknya beraneka ragam, tidak bisa dibakukan.
Usai manusia sebagai makhluk hidup memang terus
bertambah dan tidak mengenal pensiun. Pensiun sebagai ASN, militer atau
pekerjaan macam lainnya, bukan berarti lantas masuk kotak, tutup buku atau duduk
manis tunggu tanggal mainnya. Semboyan pensiunan
adalah “walau tak punya pekerjaan tetap, namun tetap bekerja”. Atau “walau
sudah punya penghasilan tetap (uang pensiun), tetap produktif atau uber
rezeki”.
Jangan sia-siakan masa mudamu atau awal sebagai
pemuda, justru optimalkan kesempatan dan peluang emas yang tak akan datang
berulang. Kendati masuk kategori tak produktif memang sudah ketentuan dan
ketetapan-Nya. Saat menuntut ilmu, menimba ilmu, ilmu umum maupun ilmu agama,
fokus dan jangan terpengaruh godaan dunia.
Anak cepat gede, cepat matang secara biologis,
cepat tahu, jangan salahkan anak. Kehidupan nyata, banyak anak mengikuti jejak
dan langkah orang tuanya. Meneruskan tradisi keluarga secara turun temurun.
Melanjutkan usaha produktif keluarga.
Akankah ada manusia setengah baya (66 - 79 tahun)
yang masih getol dengan dunianya. Atau bahkan orang tua (80 – 99) masih sibuk
dengan urusan dunia. Biar tidak
ketinggalan zaman. Padahal zaman sudah siaga meninggalkannya. Opo tumon
Kita simak makna tipe orang takwa. Manusia tipe takwa senantiasa
hidup di tiga dimensi waktu ; waktu dulu yang telah lewat, waktu sekarang yang
sedang dihadapi dan waktu yang datang.
Waktu masa lalu kita adalah sumber pelajaran
hidup, tonggak sejarah kehidupan diri, cermin diri, evaluasi diri. Tidak perlu
disesali, dikutuk dan sekaligus tidak perlu dibangga-banggakan. Cermat memilih
dan memilah mana yang harus dilestarikan, mana yang harus dirombak dan mana
yang harus mulai dari nol.
Waktu masa kini adalah bonus dari
Allah. Kita dituntut untuk memanfaatkannya seoptimal mungkin. Mencari ridho-Nya
dengan melaksanakan segala perintah-Nya secara total dan menjauhi semua
larangan-Nya dengan niat kuat. Waktu masa kini untuk menyiapkan waktu masa
depan yang bukan kita yang punya. Mensyukuri nikmat yang sedang kita rasakan
sekaligus mengingat kematian.
Waktu masa depan adalah harapan,
asa, cita-cita maupun impian. Kita, mau tak mau, harus siap dan optimis
menyongsong masa depan. Bukan sekedar ikut arus masuk masa depan. Bagaimana
kita menyiapkan masa depan, mengacu pada firman-Nya terjemahan [QS Al Hasyr (59) : 18] : “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” Umat Islam tidak merisaukan masa depan, karena
disyariatkan selalu berikhtiar menyiapkan bekal.
Kendati setengah
baya masih bergairah untuk berkiprah, seolah hidup bebas dan bebas berbuat, karena
merasa tak punya beban keluarga. Sebagai panutan, pengayom, sesepuh atau yang
dituakan masih berlaku. Ternyata ada sanksi yang khusus buat manusia setengah
baya. Kita simak kisah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :“Empat golongan yang
dibenci oleh Allah; penjual yang banyak bersumpah, orang fakir yang sombong,
orang tua yang berzina dan pemimpin yang dzalim.” (HR. an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani). [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar