Halaman

Rabu, 28 Desember 2016

jangan salahkan generasi setengah baya, JIKA . . . . .



jangan salahkan generasi setengah baya, JIKA . . . . .

Ujar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss,  karena kualitas kesehatan dan harapan hidup rata-rata manusia di seluruh dunia, maka perlu ditetapkan kriteria baru yang membagi kehidupan manusia ke dalam 5 kelompok usia sebagai berikut :
0 – 17 tahun : Anak-anak di bawah umur
18 – 65 tahun : Pemuda
66 – 79 tahun : Setengah baya
80 – 99 tahun : Orang tua
100 tahun ke atas : Orang tua berusia panjang

Indonesia sudah mulai mengenal dan akrab dengan bonus demografi sejak 2012. Bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk berusia produktif 15-64 tahun lebih banyak ketimbang usia tak produktif (di bawah 15 dan lebih dari 64). Kesan pertama yaitu penduduk berusia <15 tahun dan >64 tahun masuk kategori tak produktif. Tentunya ada perbedaan nyata makna  tak produktif antar batasan usia tersebut.

Produktivitas manusia usia >64 tahun yang telah meniti rentang waktu dan perjalanan hidup disertai makan asam garam kehidupan, tentu beda dengan produktivitas manusia <15 tahun. Beda pada kinerja otot, tulang dan tenaga. Semangat, daya juang, keuletan tidak luntur di makan waktu. Minimal pernah muda. Sedikit banyak sudah meliwati berbagai tahap sensor, sortir, seleksi, saringan kehidupan yang terkadang tidak ramah, tidak kenal kompromi bahkan tidak pakai rasa belas kasihan.

Manusia usia <15 tahun jangan diartikan tidak produktif, tidak mampu berbuat, tidak mampu berkarya. Usia pada tahap proses tumbuh kembang dari berbagai aspek, menjadikan mereka perlu pendidikan, pengajaran, pelatihan yang terkait agama dan ilmu. Kelompok ini selain masih labil, juga masih rawan, rentan, riskan dari intervensi eksternal. Mudah terkontaminasi liwat panca indranya.

Bangsa Indonesia yang merupakan akumulasi penduduk semua usia, jika pondasinya pada penduduk usia <15 tahun, betapa penting dan menentukan peran mereka terhadap masa depan bangsa dan negara. Cara sederhana menghancurkan bangsa dan negara Indonesia, dimulai dengan melemahkan generasi muda atau penduduk usia <15 tahun.

Berkat asupan gizi, nutrisi, kalori di atas rata-rata standar nasional, tak kurang anak bangsa yang melepaskan masa pemudanya tetap eksis. Santapan rohani, penguatan religi, menjadikan diri kita ingin menjadi manusia yang bermanfaat. Usia tidak menjadi hambatan untuk berkarya. Kerennya, mengabdi kepada nusa dan bangsa. Banyak jalan yang bisa ditempuh. Mulai dari kehidupan primer, yaitu olah tanah. Ada yang masuk ranah jasa dengan modal warisan, rekam jejak, makan tabungan masa depan dan akses ke kunci kehidupan. Generasi setengah baya secara historis bisa lolos dari saringan hidup dan kehidupan. Rekam jejaknya beraneka ragam, tidak bisa dibakukan.

Usai manusia sebagai makhluk hidup memang terus bertambah dan tidak mengenal pensiun. Pensiun sebagai ASN, militer atau pekerjaan macam lainnya, bukan berarti lantas masuk kotak, tutup buku atau duduk manis tunggu tanggal mainnya. Semboyan pensiunan adalah “walau tak punya pekerjaan tetap, namun tetap bekerja”. Atau “walau sudah punya penghasilan tetap (uang pensiun), tetap produktif atau uber rezeki”.

Jangan sia-siakan masa mudamu atau awal sebagai pemuda, justru optimalkan kesempatan dan peluang emas yang tak akan datang berulang. Kendati masuk kategori tak produktif memang sudah ketentuan dan ketetapan-Nya. Saat menuntut ilmu, menimba ilmu, ilmu umum maupun ilmu agama, fokus dan jangan terpengaruh godaan dunia.

Anak cepat gede, cepat matang secara biologis, cepat tahu, jangan salahkan anak. Kehidupan nyata, banyak anak mengikuti jejak dan langkah orang tuanya. Meneruskan tradisi keluarga secara turun temurun. Melanjutkan usaha produktif keluarga.

Akankah ada manusia setengah baya (66 - 79 tahun) yang masih getol dengan dunianya. Atau bahkan orang tua (80 – 99) masih sibuk dengan urusan dunia. Biar tidak ketinggalan zaman. Padahal zaman sudah siaga meninggalkannya. Opo tumon

Kita simak makna  tipe orang takwa. Manusia tipe takwa senantiasa hidup di tiga dimensi waktu ; waktu dulu yang telah lewat, waktu sekarang yang sedang dihadapi dan waktu yang datang.

Waktu masa lalu kita adalah sumber pelajaran hidup, tonggak sejarah kehidupan diri, cermin diri, evaluasi diri. Tidak perlu disesali, dikutuk dan sekaligus tidak perlu dibangga-banggakan. Cermat memilih dan memilah mana yang harus dilestarikan, mana yang harus dirombak dan mana yang harus mulai dari nol.

Waktu masa kini adalah bonus dari Allah. Kita dituntut untuk memanfaatkannya seoptimal mungkin. Mencari ridho-Nya dengan melaksanakan segala perintah-Nya secara total dan menjauhi semua larangan-Nya dengan niat kuat. Waktu masa kini untuk menyiapkan waktu masa depan yang bukan kita yang punya. Mensyukuri nikmat yang sedang kita rasakan sekaligus mengingat kematian.

Waktu masa depan adalah harapan, asa, cita-cita maupun impian. Kita, mau tak mau, harus siap dan optimis menyongsong masa depan. Bukan sekedar ikut arus masuk masa depan. Bagaimana kita menyiapkan masa depan, mengacu pada firman-Nya terjemahan [QS Al Hasyr (59) : 18] :  “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Umat Islam tidak merisaukan masa depan, karena disyariatkan selalu berikhtiar menyiapkan bekal.

Kendati setengah baya masih bergairah untuk berkiprah, seolah hidup bebas dan bebas berbuat, karena merasa tak punya beban keluarga. Sebagai panutan, pengayom, sesepuh atau yang dituakan masih berlaku. Ternyata ada sanksi yang khusus buat manusia setengah baya. Kita simak kisah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :Empat golongan yang dibenci oleh Allah; penjual yang banyak bersumpah, orang fakir yang sombong, orang tua yang berzina dan pemimpin yang dzalim.” (HR. an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani). [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar