Halaman

Sabtu, 24 Desember 2016

2017 dan tak akan lari kursi diuber



2017 dan tak akan lari kursi diuber

Indikasi langkah catur politik pemerintah 2014-2019 sudah terdeteksi sejak dini. Tidak perlu analisis  ilmiah berbasis ilmu politik mazhab apapun. Tak butuh kajian, evaluasi atau survei tanpa survei, yang malah menguras emosi dan enerji rakyat. Begitu ketahuan siapa saja  pasangan capres+cawapres yang akan ikut pilpres yang digelar rabu, 9 Juli 2014, rakyat awam yang buta politik sudah bisa mencium gelagat pamrih politik terselubung.

Tengah periode 2014-2019, secara grafis bisa sebagai puncak, klimaks dari proses sejarah atau berbagai kemungkinan yang akan bisa terjadi, bisa terjadi dengan bentuk dan skala di luar nalar, logika, ratio politik.

Gampangnya saja, angka keamanan periode 2014-2019 seolah tergantung rentang antara dua kutub.

Kutub pertama, masih membekas di benak rakyat, Jokwo tentu akrab dengan peribahasa Jawa, khususnya “jalma tan kena kinira”. Apa maknanya, terserah pembaca. Setiap kepala akan punya persepsi yang seolah sama tapi beda. Jokowi sebagai petugas partai, yakin diri membawakan diri, memposisikan diri serta sekaligus mengkondisikan diri. Memahami falsafah “lamun sira durung wikan alamira pribadi, mara takona marang wong kang wus wikan”, Jokowi dengan hasil godogan di UGM yang alumnusnya tetap mengutamakan rasa sebagai abdi. Tidak nge-bos. Jokowi tahu “siapa aku, siapa diriku, dari mana aku, mau kemana aku”.

Kutub kedua, Jokowi mengandalkan ramalan akan adanya wong cilik bakal gumuyu”. Tata krama  kehidupan bermasyarakat wong Jawa adalah prinsip saling hormat. Setiap orang dalam bicara dan membawakan diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap lawan bicara. Rasa hormat kepada yang lebih tua. Atau menyesuaikan dengan derajat dan kedudukan lawan bicara.

Melestarikan  tatanan sosial, wong Jawa tidak mau mempertontonkan ambisinya. Jaga jarak jika ada persaingan, baik dengan kolega atau lawan politik. Bersyukur dengan kedudukan yang telah diraihnya, menjalankan tugasnya dengan ikhlas dan rela hati.

Jadi, Jokowi faham luar dalam bahwa kekuasaan tidak pernah lepas dari dimensi kepemimpinan. Kekuasaan merupakan perwujudan identitas diri, jati diri dan citra diri.  Polesan kejawen Jokowi mampu menampilkan kepemimpnan identic dengan kekuasaan.

Agar kepemimpinan/kekuasaan bernuansa konstitusional perlu bingkai dan ditunjang pilar politik.  Kunci politik dan kepemimpinan/kekuasaan adalah memonopoli hajat orang lain.

Kelebihan sekaligus kekurangan Jokowi adalah bukan ketua umum partai politik. Jokowi belajar dari penduhulunya, presiden ke-2 RI, Suharto, yaitu agar mempunyai kendaraan politik. Faktor lain yang memberatkan Jokowi adalah bukan orang militer.

Memang ada oknum tokoh agama yang mau diajak main mata oleh Jokowi. Jokowi memang sudah siaga, karena pihak yang akan mblusuke datang dari yang manis mulut. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar