2017 dan tak
akan lari kursi diuber
Indikasi langkah catur politik pemerintah 2014-2019 sudah terdeteksi sejak
dini. Tidak perlu analisis ilmiah
berbasis ilmu politik mazhab apapun. Tak butuh kajian, evaluasi atau survei
tanpa survei, yang malah menguras emosi dan enerji rakyat. Begitu ketahuan
siapa saja pasangan capres+cawapres yang
akan ikut pilpres yang digelar rabu, 9 Juli 2014, rakyat awam yang buta politik
sudah bisa mencium gelagat pamrih politik terselubung.
Tengah periode 2014-2019, secara grafis bisa sebagai puncak, klimaks dari
proses sejarah atau berbagai kemungkinan yang akan bisa terjadi, bisa terjadi
dengan bentuk dan skala di luar nalar, logika, ratio politik.
Gampangnya saja, angka keamanan periode 2014-2019 seolah tergantung rentang
antara dua kutub.
Kutub pertama, masih membekas di benak rakyat, Jokwo tentu akrab dengan
peribahasa Jawa, khususnya “jalma tan kena kinira”. Apa maknanya,
terserah pembaca. Setiap kepala akan punya persepsi yang seolah sama tapi beda.
Jokowi sebagai petugas partai, yakin diri membawakan diri, memposisikan diri
serta sekaligus mengkondisikan diri. Memahami falsafah “lamun sira durung wikan alamira pribadi, mara
takona marang wong kang wus wikan”, Jokowi dengan hasil godogan di UGM yang
alumnusnya tetap mengutamakan rasa sebagai abdi. Tidak nge-bos. Jokowi tahu “siapa aku, siapa diriku, dari mana aku, mau
kemana aku”.
Kutub kedua, Jokowi mengandalkan ramalan akan adanya “wong cilik bakal gumuyu”. Tata krama kehidupan bermasyarakat wong Jawa adalah
prinsip saling hormat. Setiap orang dalam bicara dan membawakan diri harus
selalu menunjukkan sikap hormat terhadap lawan bicara. Rasa hormat kepada yang
lebih tua. Atau menyesuaikan dengan derajat dan kedudukan lawan bicara.
Melestarikan tatanan sosial, wong Jawa tidak mau mempertontonkan
ambisinya. Jaga jarak jika ada persaingan, baik dengan kolega atau lawan politik.
Bersyukur dengan kedudukan yang telah diraihnya, menjalankan tugasnya dengan
ikhlas dan rela hati.
Jadi, Jokowi faham luar dalam bahwa kekuasaan
tidak pernah lepas dari dimensi kepemimpinan. Kekuasaan merupakan perwujudan
identitas diri, jati diri dan citra diri.
Polesan kejawen Jokowi mampu menampilkan kepemimpnan identic dengan kekuasaan.
Agar kepemimpinan/kekuasaan
bernuansa konstitusional perlu bingkai dan ditunjang pilar politik. Kunci politik dan kepemimpinan/kekuasaan adalah
memonopoli hajat orang lain.
Kelebihan sekaligus kekurangan
Jokowi adalah bukan ketua umum partai politik. Jokowi belajar dari
penduhulunya, presiden ke-2 RI, Suharto, yaitu agar mempunyai kendaraan
politik. Faktor lain yang memberatkan Jokowi adalah bukan orang militer.
Memang ada oknum tokoh agama yang
mau diajak main mata oleh Jokowi. Jokowi memang sudah siaga, karena pihak yang
akan mblusuke datang dari yang manis
mulut. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar