Indonesia negara multipartai tanpa jejak peradaban politik
Maklumat 3
November 1945 atau Maklumat No. X ini dikeluarkan pada tanggal 3 November 1945
oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta di Jakarta, menjadi cikal bakal Indonesia
menjadi negara multipartai. Dengan maklumat ini kemudian berdiri berbagai
partai politik (parpol), baik yang meneruskan parpol yang telah ada sejak jaman
penjajahan Belanda dan jaman pendudukan Jepang, maupun parpol yang baru akan
berdiri.
Faktor kemajemukan masyarakat
yang homogen tetapi heterogen sekaligus yang heterogen tetapi homogen, menjadi
pertimbangan utama keniscayaan, tidak
boleh tidak, bagi penerapan sistem multipartai di Indonesia. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu
untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.
Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru
terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Tetapi,
berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan
dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR.
Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946
adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa
sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang
berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain
ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya
perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun
akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya,
penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan
perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari
luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat
peperangan.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama
kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil
serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai
pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an
partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. (sumber
: kpu.go.id)
Semasa Orde Lama, keberadaan
parpol diformat dalam jargon Nasakom oleh Bung Karno. Dampak, efek, ekses makar,
kudeta, pemberontakan PKI di tahun 1948 dan 1965, tak akan reda, tak akan redup
dimakan zaman. Komunis menjadi bahaya laten sampai kini.
Sidang Tahunan
(ST) MPR 2003 akhirnya menyetujui seluruh laporan dari komisi-komisi. Termasuk
laporan komisi B yang menyatakan bahwa seluruh Ketetapan (TAP) MPRS dan MPR
tahun 1960 sampai dengan 2002 dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali beberapa
ketetapan MPRS/MPR.
Salah satu TAP
yang masih berlaku adalah TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI. Awalnya,
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) menyatakan menolak
pemberlakuan kembali TAP MPRS tersebut. Namun akhirnya menerima dengan
altenatif tersendiri. (sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/ hol8439/tap-mprs-pembubaran-pki-tetap-dipertahankan)
Presiden Suharto dengan
persetujuan DPR RI menetapkan UU 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan
Karya. Kedua
partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi
Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali
Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga
tadi. Pemilu kedua tahun 1971 masih diikuti oleh banyak partai.
Reformasi yang dimulai dari puncaknya ketika berhasil me-lengserkeprabon-kan presiden kedua RI,
Suharto, pada tanggal 21 Mei 1998. Prestasi ideologi atau politik Nusantara
adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat yang telah mempunyai hak pilih.
Banyak bukti sejarah tentang dinamika politik di era Reformasi
yang tercecer, berserakan, bertebaran sampai pojok Nusantara. Memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi serta Revisi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mulai
berlaku pada Senin, 28 November 2016. UU 11/2008 menuntut masyarakat agar lebih
berhati-hati di ranah media sosial. Dijelaskan
juga bahwa masyarakat dilarang membuat dan menyebarkan informasi yang bersifat
tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengundang kebencian.
Pihak yang bisa dijerat bukan hanya yang membuat, tapi
justru juga yang mendistribusikan dan mentransmisikannya. Jangan mudah menyebar
informasi yang bisa menimbulkan kebencian terhadap kelompok tertentu.
Sejauh ini, banyak pihak dengan kepentingan yang berlainan,
mempromosikan kinerja pemerintah periode 2014-2019. Disertai bumbu penyedap
rasa banding, sanding dan tanding dengan periode sebelumnya. Khususnya dengan 2
(dua) periode SBY.
Adanya kontradiksi antara “ilmu” pendidikan politik yang
sudah disandang penyelenggara negara dari orang politik dengan praktik nyata
pelaku, pemain, pegiat, pekerja partai – kendati sudah minum ramuan kuat, resep
tahan lama, racikan betah nangkring/nongkrong
: revolusi mental – tetap membikin rakyat trenyuh.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar