Halaman

Minggu, 18 Desember 2016

Korupsi, Efek Domino Cinta Dunia



Korupsi, Efek Domino Cinta Dunia

Pelaku perilaku koruptif, bisa menimpa siapa saja, di mana saja, kapan saja. Apa yang dimaksud korupsi dari aspek yuridis formal atau hukum Indonesia, memang sudah ada yang baku, mendasar dan sisanya bersifat dinamis, fluktuatif dan tergantung kebijakan penguasa.

Pelaku tindak pidana korupsi, memang didominasi pejabat birokrasi, pejabat politik serta korporasi. Atau pihak yang main uang  APBN/APBD, yang merugikan negara dalam berbagai bentuk dan dampaknya.

Faktor penyebab korupsi, secara formal menjadi dua besar. Pertama, untuk menjadi pemimpin, harus memenuhi syarat pertama dan utama yang tersirat yaitu calon pemimpin harus bermodal uang. Kendati masih berlaku pemeo “menteri di Indonesia, jadi menteri baru kaya”. Beda dengan negara lain, yang tidak masuk kategori negara sedang berkembang, yaitu seorang warga negara dengan pengalaman, kekayaan, rekam jejaknya, baru bisa menduduki jabatan menteri.

Faktor penyebab pertama korupsi, sebagai satu sisi, ini umumnya “berlaku” di sistem negara multipartai. Pelaku, pemain, pegiat, pekerja politik, jika ingin namanya bisa dicalonkan sebagai wakil rakyat, kepala daerah, bahkan kepala negara harus bisa melakukan ritual politik. Mulai menyediakan upeti politik, biaya politik, mahar politik atau bagian dari praktik politik transaksional.

Jadi, setelah ybs dengan gemilang bisa sampai dilantik dan disumpah sebagai pejabat negara, maka argo hutang politik sudah berlaku resmi.

Faktor penyebab kedua korupsi, sebagai sisi lainnya, ini karena dipakai rumus ekonomi terkait gaji, upah, honor, penghasilan. Yaitu : rumus 3:5:11. Artinya, gaji 3 juta Rp per bulan, pas untuk hidup sederhana. Dinaikkan menjadi 5 juta Rp perbulan, cukup hidup layak. Ekonomi negara menggembirakan, gaji ditingkatkann menjadi 11 juta Rp per bulan, malah kurang untuk gaya hidup.

Pukul rata, akibat mengejar jabatan, kekuasan atau yang masuk kategori takhta, harta, dan jelita – serta atau karena terjebak semboyan bahwa uang bukan segala-galanya, tetapi uang adalah untuk segala-galanya, walhasil dapat disimpulkan bahwa manusiawi jika manusia cinta dunia, senang dengan kenikmatan dunia. Mereka masuk pusaran nujum dan sekaligus kutuk korupsi, bukan karena tak berilmu atau tak berpengetahuan. Bukan pula karena seolah mereka dilahirkan memang untuk korupsi. Bukan pula akibat bakat bawaan atau dari sono-nya. Bukan pula akibat atau sebagai korban kebijakan partai atau kebijakan penguasa, yang secara legal memberi peluang dan kesempatan bagi pecandu uang negara.

Kita bisa mengacu penggalan  hadist yang diriwayatkan oleh Thauban r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “(Setelah aku wafat, setelah lama aku tinggalkan, umat Islam akan . . . ) karena cinta akan dunia dan takut akan kematian.”

Dua penyakit cinta dunia dan takut kematian, merupakan penyakit al-Wahn yang akan menimpa umat Islam. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar