Korupsi, Efek Domino Cinta Dunia
Pelaku
perilaku koruptif, bisa menimpa siapa saja, di mana saja, kapan saja. Apa yang
dimaksud korupsi dari aspek yuridis formal atau hukum Indonesia, memang sudah
ada yang baku, mendasar dan sisanya bersifat dinamis, fluktuatif dan tergantung
kebijakan penguasa.
Pelaku
tindak pidana korupsi, memang didominasi pejabat birokrasi, pejabat politik
serta korporasi. Atau pihak yang main uang
APBN/APBD, yang merugikan negara dalam berbagai bentuk dan dampaknya.
Faktor
penyebab korupsi, secara formal menjadi dua besar. Pertama, untuk menjadi
pemimpin, harus memenuhi syarat pertama dan utama yang tersirat yaitu calon pemimpin harus
bermodal uang. Kendati masih berlaku pemeo “menteri di Indonesia, jadi menteri
baru kaya”. Beda dengan negara lain, yang tidak masuk kategori negara sedang
berkembang, yaitu seorang warga negara dengan pengalaman, kekayaan, rekam
jejaknya, baru bisa menduduki jabatan menteri.
Faktor penyebab pertama korupsi, sebagai
satu sisi, ini umumnya “berlaku” di sistem negara multipartai. Pelaku, pemain,
pegiat, pekerja politik, jika ingin namanya bisa dicalonkan sebagai wakil
rakyat, kepala daerah, bahkan kepala negara harus bisa melakukan ritual
politik. Mulai menyediakan upeti politik, biaya politik, mahar politik atau
bagian dari praktik politik transaksional.
Jadi, setelah ybs dengan gemilang bisa
sampai dilantik dan disumpah sebagai pejabat negara, maka argo hutang politik
sudah berlaku resmi.
Faktor penyebab kedua korupsi, sebagai sisi
lainnya, ini karena dipakai rumus ekonomi terkait gaji, upah, honor,
penghasilan. Yaitu : rumus 3:5:11. Artinya, gaji 3 juta Rp per bulan, pas untuk
hidup sederhana. Dinaikkan menjadi 5 juta Rp perbulan, cukup hidup layak. Ekonomi
negara menggembirakan, gaji ditingkatkann menjadi 11 juta Rp per bulan, malah
kurang untuk gaya hidup.
Pukul rata, akibat mengejar jabatan,
kekuasan atau yang masuk kategori takhta, harta, dan jelita – serta atau karena
terjebak semboyan bahwa uang bukan segala-galanya, tetapi uang adalah untuk segala-galanya,
walhasil dapat disimpulkan bahwa manusiawi jika manusia cinta dunia, senang
dengan kenikmatan dunia. Mereka masuk pusaran nujum dan sekaligus kutuk korupsi,
bukan karena tak berilmu atau tak berpengetahuan. Bukan pula karena seolah
mereka dilahirkan memang untuk korupsi. Bukan pula akibat bakat bawaan atau
dari sono-nya. Bukan pula akibat atau
sebagai korban kebijakan partai atau kebijakan penguasa, yang secara legal
memberi peluang dan kesempatan bagi pecandu uang negara.
Kita bisa mengacu penggalan hadist yang diriwayatkan
oleh Thauban r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “(Setelah aku wafat,
setelah lama aku tinggalkan, umat Islam akan . . . )
karena cinta akan dunia dan
takut akan kematian.”
Dua penyakit
cinta dunia dan takut kematian, merupakan penyakit al-Wahn yang akan menimpa
umat Islam. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar