Halaman

Senin, 19 Desember 2016

justru penguasa zalim yang harus dibantu



justru penguasa zalim yang harus dibantu

Menghadapi fenomena alam maupun fenomena kehidupan, Islam sangat berhati-hati dalam menyikapinya. Tidak sekedar melihat kejadian, peristiwa bahkan perkara sebagai perihal sebab akibat, atau bersifat sebab dari suatu tingkah laku, perilaku manusia. Hukum sebab, tidak otomatis walau memang ada saling keterkaitan diterapkan pada semua proses alam maupun proses kehidupan manusia.

Mengimani akan adanya   qadha' dan takdir Allah Subhanahu Wa Ta'ala, manusia secara optimal menggunakan dalil aqli dan khususnya dalil naqli. Menghadapi bencana, umat Islam tidak serta merta menggerutu, mencari kambing hitamnya atau bahkan menyalahkan Allah karena berlaku tidak adil, pilih kasih. Umat Islam memahami yang tersurat maupun yang tersirat dalam firman-Nya, mengacu terjemahan [QS An Nisaa' (4) : 79] : “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.”

Apa itu ‘bencana’, lewat UU 2/2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya pada Pasal 1 ayat 1 dijelaskan : Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bagaimana kiat manusia menghadapi bencana, seperti tersurat dalam Pasal 1 ayat 9 : Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Artinya, manusia dengan sadar diri melakukan ikhtiar untuk meminimalisasi dampak, efek maupun akibat bencana.

Bagaimana jika faktor manusia sebagai pemacu dan pemicu bencana. Tidak sekedar kerusakan lingkungan hidup, bisa terjadi bencana terkait kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Secara de facto dan de jure, bangsa Indonesia dengan asas negara multipartai, menjadi akrap, familier dan terbiasa dengan kejadian bencana politik, huru-hara politik, gonjang-ganjing politik.

Siapa yang mendapat suara terbanyak dalam pesta demokrasi, akan menjadi pemenang, menjadi penguasa – mau tak mau akan berlaku banyak cara dan jalan menuju kursi kekuasaan. Termasuk demi mewujudkan tujuan menghalalkan, melegalkan segala modus operandi.

Periode praktik dan jam kerja pemenang pesta demokrasi selama 5 (lima) tahun, menjadikan mereka harus pandai-pandai memanfaatkan waktu tersebut. Jadi, setelah individu pemenang pesta demokrasi dengan gemilang bisa sampai dilantik dan disumpah sebagai wakil rakyat, kepala daerah bahkan kepala negara, maka argo hutang politik sudah berlaku resmi.

Periode 2014-2019, fenomena alam maupun fenomena kehidupan berjalan berdampingan. Singkat kata, berbagai kejadian, peristiwa bahkan perkara akibat kinerja penguasa atau tepatnya kepala negara. Rahasia umum kalau presiden ke-7 RI terjebak aturan main dan menu politik parpol pengusungnya.

Apakah rakyat salah pilih atau pemerintah salah orang, tidak kita persoalkan. Yang runyam, bangsa ini memasuki kondisi bahwa bagaimana pun rakyat tetap berada di posisi yang salah. Rakyat, penduduk, warga negara, masyarakat, bangsa Indonesia menjadi biang kerok, kambing hitam atas kemelut bangsa.

Prinsip sederhana penguasa adalah, rakyat yang harus menyesuaikan diri dengan pemimpinnya, bukan pemimpin yang harus menyesuaikan diri dengan yang dipimpin.

Walhasil, Indonesia terkini terjebak kondisi datangnya musibah bencana akibat faktor manusia, yang masuk kategori firman-Nya, mengacu terjemahan [QS Al An'aam (6) : 129] : “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.”

Mengacu kata kunci “disebabkan apa yang mereka usahakan”, secara sempit bisa diartikan ketika rakyat yang mempunyai hak pilih, ternyata yang mayoritas telah memilih pasangan presiden dan wakil presidennya. Tentunya banyak faktor pertimbangan yang mereka cerna.

Masalahnya, apakah sekarang kita akan melakukan mitigasi bencana politik, misal dengan melakukan reaksi secara massal. Ataukah “memanfaatkan”momentum benacana alam sebagai pengalihan isu nasional. Ataukah kita, khususnya umat Islam terjebak isu makar, karena mengkritisi pemerintah yang sah, legal dan konstitusional.

Benar adanya, jika saat kita memadamkan bahaya kebakaran antara lain jangan sampai api berkobar dan menjalar kemana-mana, mungkin  dengan membangun barikade. Atau mengorbankan sesuatu agar api tidak menjalar. Sampai-sampai orang lupa memadamkan sumber kebakaran yaitu api.

Artinya, jika rakyat semakin membiarkan penguasa dalam kemaksiatan dan kezaliman, sama artinya ikut bermain sesuai kadar dan porsinya. Rasulullah SAW bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.”

Wujud menolong orang yang zalim adalah mencegah dari perbuatan zalimnya. Memadamkan api atau meminimalisasi dampak bencana langsung ke sumbernya. Tentunya dengan adab atau tuntunan Islam dalam menasihati penguasa. Kita yakini bersama bahwa merubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuan diri. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar