justru penguasa zalim
yang harus dibantu
Menghadapi fenomena alam maupun fenomena kehidupan, Islam sangat berhati-hati
dalam menyikapinya. Tidak sekedar melihat kejadian, peristiwa bahkan perkara
sebagai perihal sebab akibat, atau bersifat sebab dari suatu tingkah laku,
perilaku manusia. Hukum sebab, tidak otomatis walau memang ada saling keterkaitan
diterapkan pada semua proses alam maupun proses kehidupan manusia.
Mengimani akan adanya qadha' dan takdir Allah Subhanahu Wa Ta'ala, manusia
secara optimal menggunakan dalil aqli dan khususnya dalil naqli. Menghadapi bencana,
umat Islam tidak serta merta menggerutu, mencari kambing hitamnya atau bahkan menyalahkan
Allah karena berlaku tidak adil, pilih kasih. Umat Islam memahami yang tersurat
maupun yang tersirat dalam firman-Nya, mengacu terjemahan [QS An Nisaa' (4) :
79] : “Apa saja nikmat yang
kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.”
Apa itu ‘bencana’, lewat UU 2/2007 tentang Penanggulangan
Bencana, khususnya pada Pasal 1 ayat 1 dijelaskan : Bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bagaimana kiat manusia menghadapi
bencana, seperti tersurat dalam Pasal 1 ayat 9 : Mitigasi adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Artinya, manusia
dengan sadar diri melakukan ikhtiar untuk meminimalisasi dampak, efek maupun
akibat bencana.
Bagaimana jika
faktor manusia sebagai pemacu dan pemicu bencana. Tidak sekedar kerusakan
lingkungan hidup, bisa terjadi bencana terkait kehidupan berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat.
Secara de facto dan de jure, bangsa Indonesia dengan asas negara multipartai, menjadi
akrap, familier dan terbiasa dengan kejadian bencana politik, huru-hara
politik, gonjang-ganjing politik.
Siapa yang
mendapat suara terbanyak dalam pesta demokrasi, akan menjadi pemenang, menjadi
penguasa – mau tak mau akan berlaku banyak cara dan jalan menuju kursi
kekuasaan. Termasuk demi mewujudkan tujuan menghalalkan, melegalkan segala
modus operandi.
Periode praktik dan jam kerja pemenang
pesta demokrasi selama 5 (lima) tahun, menjadikan mereka harus pandai-pandai
memanfaatkan waktu tersebut. Jadi, setelah individu pemenang pesta
demokrasi dengan gemilang bisa sampai dilantik dan disumpah sebagai wakil
rakyat, kepala daerah bahkan kepala negara, maka argo hutang politik sudah
berlaku resmi.
Periode 2014-2019, fenomena
alam maupun fenomena kehidupan berjalan berdampingan. Singkat kata, berbagai
kejadian, peristiwa bahkan perkara akibat kinerja penguasa atau tepatnya kepala
negara. Rahasia umum kalau presiden ke-7 RI terjebak aturan main dan menu politik
parpol pengusungnya.
Apakah rakyat salah pilih atau pemerintah salah orang, tidak kita
persoalkan. Yang runyam, bangsa ini memasuki kondisi bahwa bagaimana pun rakyat
tetap berada di posisi yang salah. Rakyat, penduduk, warga negara, masyarakat,
bangsa Indonesia menjadi biang kerok, kambing hitam atas kemelut bangsa.
Prinsip sederhana penguasa adalah, rakyat yang harus menyesuaikan diri
dengan pemimpinnya, bukan pemimpin yang harus menyesuaikan diri dengan yang
dipimpin.
Walhasil, Indonesia terkini terjebak kondisi datangnya musibah bencana
akibat faktor manusia, yang masuk kategori firman-Nya, mengacu terjemahan [QS Al An'aam (6) : 129] : “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang
zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.”
Mengacu kata kunci “disebabkan apa yang mereka usahakan”, secara sempit bisa diartikan ketika rakyat yang mempunyai
hak pilih, ternyata yang mayoritas telah memilih pasangan presiden dan wakil
presidennya. Tentunya banyak faktor pertimbangan yang mereka cerna.
Masalahnya, apakah sekarang kita akan melakukan mitigasi
bencana politik, misal dengan melakukan reaksi secara massal. Ataukah “memanfaatkan”momentum
benacana alam sebagai pengalihan isu nasional. Ataukah kita, khususnya umat
Islam terjebak isu makar, karena mengkritisi pemerintah yang sah, legal dan
konstitusional.
Benar adanya, jika saat kita memadamkan bahaya kebakaran
antara lain jangan sampai api berkobar dan menjalar kemana-mana, mungkin dengan membangun barikade. Atau mengorbankan
sesuatu agar api tidak menjalar. Sampai-sampai orang lupa memadamkan sumber
kebakaran yaitu api.
Artinya, jika rakyat semakin membiarkan penguasa dalam
kemaksiatan dan kezaliman, sama artinya ikut bermain sesuai kadar dan porsinya.
Rasulullah SAW bersabda, “Tolonglah
saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.”
Wujud menolong orang yang zalim adalah mencegah dari
perbuatan zalimnya. Memadamkan api atau meminimalisasi dampak bencana langsung
ke sumbernya. Tentunya dengan adab atau tuntunan Islam dalam menasihati
penguasa. Kita yakini bersama
bahwa merubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban setiap muslim
sesuai dengan kemampuan diri. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar