pendidikan politik atau revolusi mental, tekan
angka korupsi Nusantara
Sedekat ini, pihak
berwajib, dalam hal ini, khususnya Kepolisian Republik Idonesia (polri) belum
melansir, merilis ataupun menebarkan “fatwa” – baik yang bersifat spontan maupun hasil pengamatan intelijen – bahwasanya apakah pendidikan politik
atau revolusi mental yang paling berjasa menekan angka korupsi.
Apakah karena
pelaku korup adalah pemain baru, bukan penjahat kambuhan, apalagi tidak masuk
DPO. Polri mengalami kesulitan untuk melacak cikal bakal koruptor. Pokoknya,
jauh praktik dengan kedigdayaan Polri memberantas teroris.
Masih hangat dan tetap hangat di ingatan diri
kita, betapa perbedaan sekaligus persamaan antara
koruptor dengan teroris. Jika diadakan lomba, kompetisi, untuk mencari figure,
sosok, profil yang paling top, tenar, apakah tokoh koruptor yang elegan atau sosok
teroris yang misterius. Atau anak didik setingkat SD, dievaluasi siapa saja
tokoh, sosok yang paling banyak dihafal. Tak ada kaitannya dengan pendangdut
lokal. Apakah muncul nama orang yang gemar tampil di media TV atau malah
pesohor olah raga.
Ironis, di media
massa, manusia Indonesia yang jadi pecundang, penista agama, malah terdongkrak
akibat pemberitaan sentimen yang melalui porsi kode etik jurnalistik.
Berkat napi
koruptor, lapas, rutan atau sebutan lainnya, bisa berubah menjadi bak hotel
berbintang, minimal melati plus. Napi koruptor tidak bisa bersaing dengan
produktivitas dan profesionalisme bandar narkoba, walau sama-sama sebagai
sumber penghasilan petugas penjara. Minimal pengusaha media massa kecipratan
rezeki liwat tayang ulang kasus korupsi yang melibatkan partai yang sedang
berkuasa.
Maaf kawan,
kenapa tulisan ini malah kemana-mana.
Kembali ke judul.
Pendidikan politik ditujukan kepada
pelaku, pegiat, pemain, perkerja, pesuruh partai yang katanya melek politik. Mereka
perlu mengantongi sertifikat pendidikan politik, agar tidak menyimpang secara
sadar, terstruktur, masif, berkelanjutan. Rakyat yang pada umumnya masuk
kategori buta politik biasanya adem ayem, sepi ing pamrih rame ing
gawe.
Lepas dari kondisi aktual dan
faktual yang menimpa para wakil rakyat, kepala daerah selama era Reformasi, selain kontrak politik,
dibutuhkan juga pendidikan politik. Justru karena tidak buta politik, para
wakil rakyat, kepala daerah sebagai orang parti, bisa bergerak bebas di antara
pasal-pasal hukum, bermanuver layaknya pembalap liar, memanfaatkan kelengahan
sistem di eksekutif. Kalau perlu mengkadali hukum.
Mengcau kaitan Polri dengan KPK yang melahirkan Buaya vs Cicak, sebagai
indikasi peran Polri dalam memberantas korupsi. Jangan tidak bilang kalau di
internal Polri sebagai kawasan bebas korupsi. Kalau terdeteksi rekening gendut
milik angota Polri, itu hanya oknum.
Seolah menyadari
kredibilitasnya digoyang dalam pemberantasan korupsi, tepatnya saudara dekatnya
yaitu pungutan liar (pungli), Polri dalam beberapa kesempatan menegaskan akan
juga melakukan pembersihan ke dalam.
Kepala Polri Jenderal
Tito Karnavian menginstruksikan seluruh kepala polda segera membentuk tim
Operasi Pemberantasan Pungli (OPP). Tito menjelaskan, OPP akan fokus
memberantas pungli di setiap instansi pemerintah, termasuk kepolisian.
Bagaimana dengan nasib
revolusi mental andalan Jokowi-JK. Di atas kertas memang menjadi ramuan ajaib,
resep ampuh, rumus mujarab, formula manjur yang dampaknya diharapkan mental
penyelenggara negara menjadi berperilaku anti-korupsi. Praktiknya, ingat
pariwara lama : “ahh teori”.
Orang partai lupa, kalau
pihak yang suka menjegal langkah Jokowi bukan dari lawan politiknya, atau beda
koalisi. Terbukti, pihak yang tega menjerumsukan malah datang dari bolo dw, konco dw. Langkah catur politik
Jokowi menyusun jejaring pengaman, bisa-bisa bisa menjadi bom waktu, jebakan
dan bumerang. Daya tarik kursi kekuasaan, menjadikan semakin nyata adagium “tak
ada kawan sejati dan tak ada lawan abadi”. Terlebih jika ideologi Nusantara
adalah fungsi Rupiah.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar