Halaman

Jumat, 23 Desember 2016

pendidikan politik atau revolusi mental, tekan angka korupsi Nusantara



pendidikan politik atau revolusi mental, tekan angka korupsi Nusantara

Sedekat ini, pihak berwajib, dalam hal ini, khususnya Kepolisian Republik Idonesia (polri) belum melansir, merilis ataupun menebarkan “fatwa” baik yang bersifat spontan maupun hasil pengamatan intelijen bahwasanya apakah pendidikan politik atau revolusi mental yang paling berjasa menekan angka korupsi.

Apakah karena pelaku korup adalah pemain baru, bukan penjahat kambuhan, apalagi tidak masuk DPO. Polri mengalami kesulitan untuk melacak cikal bakal koruptor. Pokoknya, jauh praktik dengan kedigdayaan Polri memberantas teroris.

 Masih hangat dan tetap hangat di ingatan diri kita, betapa perbedaan sekaligus persamaan antara koruptor dengan teroris. Jika diadakan lomba, kompetisi, untuk mencari figure, sosok, profil yang paling top, tenar, apakah tokoh koruptor yang elegan atau sosok teroris yang misterius. Atau anak didik setingkat SD, dievaluasi siapa saja tokoh, sosok yang paling banyak dihafal. Tak ada kaitannya dengan pendangdut lokal. Apakah muncul nama orang yang gemar tampil di media TV atau malah pesohor olah raga.

Ironis, di media massa, manusia Indonesia yang jadi pecundang, penista agama, malah terdongkrak akibat pemberitaan sentimen yang melalui porsi kode etik jurnalistik.

Berkat napi koruptor, lapas, rutan atau sebutan lainnya, bisa berubah menjadi bak hotel berbintang, minimal melati plus. Napi koruptor tidak bisa bersaing dengan produktivitas dan profesionalisme bandar narkoba, walau sama-sama sebagai sumber penghasilan petugas penjara. Minimal pengusaha media massa kecipratan rezeki liwat tayang ulang kasus korupsi yang melibatkan partai yang sedang berkuasa.

Maaf kawan, kenapa tulisan ini malah kemana-mana.

Kembali ke judul.

Pendidikan politik ditujukan kepada pelaku, pegiat, pemain, perkerja, pesuruh partai yang katanya melek politik. Mereka perlu mengantongi sertifikat pendidikan politik, agar tidak menyimpang secara sadar, terstruktur, masif, berkelanjutan. Rakyat yang pada umumnya masuk kategori buta politik biasanya adem ayem, sepi ing pamrih rame ing gawe. 

Lepas dari kondisi aktual dan faktual yang menimpa para wakil rakyat, kepala daerah  selama era Reformasi, selain kontrak politik, dibutuhkan juga pendidikan politik. Justru karena tidak buta politik, para wakil rakyat, kepala daerah sebagai orang parti, bisa bergerak bebas di antara pasal-pasal hukum, bermanuver layaknya pembalap liar, memanfaatkan kelengahan sistem di eksekutif. Kalau perlu mengkadali hukum.

Mengcau kaitan Polri dengan KPK yang melahirkan Buaya vs Cicak, sebagai indikasi peran Polri dalam memberantas korupsi. Jangan tidak bilang kalau di internal Polri sebagai kawasan bebas korupsi. Kalau terdeteksi rekening gendut milik angota Polri, itu hanya oknum.

Seolah menyadari kredibilitasnya digoyang dalam pemberantasan korupsi, tepatnya saudara dekatnya yaitu pungutan liar (pungli), Polri dalam beberapa kesempatan menegaskan akan juga melakukan pembersihan ke dalam.

Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menginstruksikan seluruh kepala polda segera membentuk tim Operasi Pemberantasan Pungli (OPP). Tito menjelaskan, OPP akan fokus memberantas pungli di setiap instansi pemerintah, termasuk kepolisian.

Bagaimana dengan nasib revolusi mental andalan Jokowi-JK. Di atas kertas memang menjadi ramuan ajaib, resep ampuh, rumus mujarab, formula manjur yang dampaknya diharapkan mental penyelenggara negara menjadi berperilaku anti-korupsi. Praktiknya, ingat pariwara lama : “ahh teori”.

Orang partai lupa, kalau pihak yang suka menjegal langkah Jokowi bukan dari lawan politiknya, atau beda koalisi. Terbukti, pihak yang tega menjerumsukan malah datang dari bolo dw, konco dw. Langkah catur politik Jokowi menyusun jejaring pengaman, bisa-bisa bisa menjadi bom waktu, jebakan dan bumerang. Daya tarik kursi kekuasaan, menjadikan semakin nyata adagium “tak ada kawan sejati dan tak ada lawan abadi”. Terlebih jika ideologi Nusantara adalah fungsi Rupiah.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar