Hari
Ibu dan generasi cabe-cabean
Setiap tanggal 22 desember, bangsa, negara dan
pemerintah Indonesia memperingati hari ibu. Acara seremonial kenegaraan sampai
tingkat tertentu yang masih peduli. Aspek historis menjadi bahan renungan
bersama. Substansi kekinian kiprah, kontribusi dan kinerja kaum ibu atau kaum
hawa pada umumnya, sudah masuk ranah dilematis maupun dikotomis.
Singkat kata, maraknya generasi cabe-cabean yang identik
dengan kaum hawa, perempuan, wanita, cewek atau sebutan lain, yang
digadang-gadang jadi generasi masa depan. Bukan tidak bersiap bersaing. Atau juga
bukan karena sudah kalah sebelum berlaga, bertanding dan adu potensi.
Ternyata faktor ajar, panutan di keluarga menjadi
penyubur lahirnya generasi cabe-cabean. Mereka sebagai bahan kajian popular,
sampai bisa ditentukan kategori, klasifikasi, strata dan kaidah ilmiah lainnya.
Ada yang bersinggungan dengan batasan penyakit masyarakat.
Di pondasi keluarga, pendidikan agama yang hanya
ala kadarnya diperparah pola hidup bangsa yang mengundang penjajahan dengan
segala bentuk masuk bebas visa ke Indonesia. Tamu yang diundang masuk lewat
kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Acara. Atraksi, adegan di layar
kaca menjadi media ampuh untuk mendegradasi jiwa dan raga anak bangsa.
Gaya hidup, gaul dan gengsi mereka yang sukses
dengam modal tampang, modal suara menjadi faktor pemacu dan pemicu untuk
menjadi pengekor.
Bukannya anak bangsa krisis panutan, idola atau
tokoh yang bisa mengantar generasi cabe-cabean ke masa depannya. Sistem politik
menambah formula karbitan untuk jalan pintas meraih sukses dunia. Kader jenggot,
numpang nama baik orangtua, modal warisan keluarga, serta seabreg kemudahan
menjadikan generasi cabe-cabean bisa-bisa bisa apatis, pesimis dengan jalan
hidupnya.
Jangan salahkan jika generasi cabe-cabean bangga
dengan dunianya, merasa mempunyai jati diri, harga diri dan bisa eksis dengan
komunitas senasib dan sepenanggungan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar