jinak-jinak demokrasi Nusantara
Andai penduduk
Indonesia yang sudah mengantongi KTP-el atau belum karena usia, diwawancarai
tenang apa itu ‘demokrasi’. Tanpa pikir panjang, tidak seperti seperti artis
yang pura-pura mikir, jawabannya bisa lebih dari satu. Kalau disuruh ulang agar
lebih terstruktur, jelas, agar bisa disimpulkan, malah jawabannya tak akan
sama.
Rata-rata
nasional, bukan hasil survei dan investigasi, bukan pula sebagai asumsi,
apalagi sebagai rekayasa politik, katakanlah masih ada rakyat masuk kategori
buta politik, buta ideologi, tetap tidak buta hati nurani. Rakyat sudah paham
mana yang termasuk “tong kosong nyaring bunyinya”, karena tong tersebut
sebagai pengganti bedug, drum, kentongan.
Adegan
pola ucap dan tingkah laku oknum pelaku,
pegiat, pekerja, petugas partai, yang ditayang ulang di berbagi media massa
berbayar, menjadikan rakyat mudah menentukan pemahaman.
Jangan
lupa kawan, Trump effect, yang mana, bilamana, dimana orang Amerika
ini dengan minim pengelaman politik, kelompok usia setengah baya, namun uang
kuasa, bisa terpilih menjadi presiden di negaranya. Kondisi semakin
menginspirasi pejuang politik Nusantara, khususnya yang lolos dan lulus dari
kawah Candradimuka Orde Baru.
Korban utama akibat petualang politik adalah jajaran
birokrasi atau kantornya pembantu presiden, yang bernomenklatur kementerian. Banyaknya
relawan yang antri, tak ayal ditetapkan berbagai komisi denga tugas dan fungsi
sebagai tandingan kementerian.
Kendati di periode 2014-2019 lembaga negara yang berifat
duplilasi, sudah dieliminer, dilebur ke induk semula. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar