Halaman

Selasa, 27 Desember 2016

jangankan tepuk tangan, senyum pun 'kutak punya



jangankan tepuk tangan, senyum pun 'kutak punya

Kendati sejarah milik penguasa, lazim didominasi fakta yang baik-baik saja plus berbagai kejadian yang benar dan betul. Sewaktu kita sekarang ini sedang mengalami masa penguasa periode 2014-2019, mana saja, apa saja yang layak, patut, senonoh ditayangkan, disajikan. Mana yang diterakan dengan tinta emas, serta mana yang masuk kategori sejarah yang digores dengan tinta hitam.

Tim pencari fakta, tim perumus berbagai kejadian perkara, tim survei pendukung kinerja pemerintah, mau tak mau mereka akan perang batin. Sebagai anak bangsa yang masih makan nasi, mata batin, kata hati sudah bisa membedakan mana emas, mana loyang. Mana yang orisinal, mana yang imitasi. Mana yang karbitan, mana yang sejati.

Keculai kalau yang masuk penyusun sejarah terdampak aliran rajatéga, mégatéga. Mosok zaman sekarang masih ada faham ABS (asal bapak senang). Yang jelas, orientasi perjuangan, pengabdian kawanan parpolis, mantan militer adalah meraih, meraup berkah berhala reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya).

Pasca Reformasi 21 Mei 1998, sosok yang mampu tampil gemilang dalam kategori pemimpin nasional, atau ketokohan yang nyaris paripurna  berkat jasa  dan rekayasa media massa  malah menampilkan sosok koruptor yang murah senyum. Maksud hati mau menohok sang penguasa pemerintah, namun efek dominonya malah mengangkat derajat sang tipikor dengan tampilan gratis, berulang, dramatis di media layar kaca. Hanya artis yang menganggap awak media sebagai sahabat yang mampu membuat hitam putih “nasib”nya. Memanfaatkan bencana untuk mendongkrak popularitas diri. Mengolah bencana menjadi pengorbit nilai jualnya. Memaksakan ketenaran dengan menari di atas duka nestapa anak bangsa.

Tidak hanya sang koruptor menjadi warga negara terhormat. Pihak lain, penyelenggara negara yang populer karena melawan arus, membuat keonaran dengan gaya, ucap dan tingkah lakunya secara asas demokratis  menjadi figur atau sosok tokoh yang dicari.

Ironis memang jika pembawa risalah kebenaran akan dilindas oleh kaki tangan penguasa yang mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara. Yang penting tidak korupsi. Rakyat lupa ybs hanya sekedar pelaksanan konspirasi internasional yang gudang uang. Mereka tidak mencuwil APBN/APBD, sudah ada jatah dari sang majikan, atau ada dukungan dana khusus. Mboh sopo mbah.

Jadi, ternyata saya sudah tidak bisa tersenyum lagi menyaksikan “sejarah” di depan mata. Mau diapakan sisa senyum kita. Wallahu a’lam bisshawab.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar