Halaman

Kamis, 11 Februari 2016

tragedi Reformasi, perubahan terjadi hanya pada pergantian elit politik

tragedi Reformasi, perubahan terjadi hanya pada pergantian elit politik

Aktual dan faktual jika didaulat bahwa Reformasi dimulai dan berhasil nyata, terukur dari puncaknya. Dari klimaksnya. Ketika saat 21 Mei 1998, secara resmi presiden RI kedua, penguasa tunggal Orde Baru, Suharto, resmi menyatakan diri mundur dari jabatan presiden. Dikenal dengan isitilah babakan léngsér kedaton. Kran demokrasi menganga luas dan lebar. Kehidupan politik bak kuda liar lepas dari pingitan. Orang berpolitik sebebas-bebasnya, seolah tanpa batas. Tanpa norma.

Oknum Reformis melihat celah kesempatan, bahwa jabatan presiden menjadi hak milik dan jatah ketua umum partai politik. Minimal, oknum Reformis merasa berhak mendapat jatah sebagai pucuk pimpinan trias politica. Anak bangsa yang haus kuasa, serta merta tanpa pikir panjang, mendirikan partai politik bak jamur di musim hujan. Berhala Reformasi yang dipuja, disanjung adalah 3K (kuasa, kuat, kaya). Memang prestasi Reformasi adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat yang mempunyai hak pilih. Dipraktikkan sejak tahun 2004.

Jika Revolusi tak akan memakan anak kandung sendiri, maka Reformasi tega menjegal kawan main politik. Berbagai dalih, alasan maka pemilu dipercepat menjadi tahun 1999. MPR menjadi alat demokrasi yang memilih, mengangkat sekaligus “membanting” K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI keempat. Gus Dur sebagai korban politik ala Reformasi. Gus Dur diberhentikan melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR) tanggal 23 Juli 2001 dengan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 tentang “Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia  K.H. Abdurrahman Wahid”, karena telah mengeluarkan maklumat (dekrit) pembubaran MPR/DPR. 

Pemberhentian Gus Dur oleh MPR murni akibat pertarungan politik dan rekayasa politik yang berpusar di atas hukum. Walau gaduh politik berbasis kasus korupsi Bulog dan Brunei. Bahwa Gus Dur “kalah” dalam pertarungan antar elit politik,  fakta politik yang tak terelakkan dan tak bisa diabaikan oleh sejarah. Fakta geger politik ini menjadi cikal bakal bagaimana berpolitik secara santun. Takdir selanjutnya mengatakan bahwa menerawang daya pengabdian kawanan parpolis yang sedang kontrak politik sebagai penyelenggara negara, jangan memakai kaca mata moral. Jangan memakai skala masyarakat beradab.

Indonesia menjadi negara multipartai, dengan dampak dan ekses yang serba multi. Terbukti, selama dua periode 2004-2009 dan 2009-2014, dengan satu presiden, SBY, terjadi partai oposisi. Oposisi banci, oposisi setengah hati, oposisi pecundang. Tepatnya, memakai istilah kondang, oknum pelaku dan pemain politik akan “suka melihat lawan politik susah”, dan/atau “susah menonoton lawan politik suka”. Jangan heran, jika Revolusi didukung pengorbanan pahlawan tanpa nama, maka Reformasi mencetak petualang politik banyak jabatan, rangkap jabatan.

Puncak keserakahan politik terjadi di periode 2014-2019, sebagai era mégakasus dan mégatéga, muncul praktik presiden senior. Parpol jebolan Orde Baru mengalami degradasi kepemimpinan, kader dan orientasi politik. Di tingkat provinsi, kabupaten/kota, sejalan dengan semangat otonomi daerah, muncul dinasti politik sebagai penguasa dan penyelenggara daerah secara turun-temurun. Pemerintah sibuk dengan urusan salah orang dan salah urus.

Sejarah membuktikan, perubahan mendasar pada rakyat, diukur jika rakyat bersedia menerima dampak MEA, dampak pasar bebas dunia. Rakyat dininabobokan oleh budaya asing yang masuk tanpa karantina. Daya guna dan hasil guna kemajuan TIK menjadikan rakyat terbuai merasa sebagai bangsa dan negara modern.

Setiap lima tahun sekali, bangsa Indonesia disuguhi atraksi perang tanding antar parpol. Rebutan jatah kursi wakil rakyat, kepala daerah sampai kepala negara. Provinsi bertambah sibuk dengan jalur cepat DPD.

Ada benarnya, bahkan bisa disesuaikan dengan kondisi politik terkini, yang tersurat di Kamus Tesaurus Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, ternyata ada lawan kata (ant=antonim) dari kata ‘rakyat’, yaitu :
priayi n adiwangsa, aristokrat, bangsawan, darah biru, menak, ningrat, permasan; ant rakyat.

     Jangan diartikan bahwa elit politik sebagai lawan kata ‘rakyat’. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar