tragedi
Reformasi, perubahan terjadi hanya pada pergantian elit politik
Aktual dan faktual jika didaulat bahwa Reformasi
dimulai dan berhasil nyata, terukur dari puncaknya. Dari klimaksnya. Ketika
saat 21 Mei 1998, secara resmi presiden RI kedua, penguasa tunggal Orde Baru,
Suharto, resmi menyatakan diri mundur dari jabatan presiden. Dikenal dengan
isitilah babakan léngsér kedaton.
Kran demokrasi menganga luas dan lebar. Kehidupan politik bak kuda liar lepas
dari pingitan. Orang berpolitik sebebas-bebasnya, seolah tanpa batas. Tanpa
norma.
Oknum Reformis melihat celah kesempatan, bahwa jabatan
presiden menjadi hak milik dan jatah ketua umum partai politik. Minimal, oknum
Reformis merasa berhak mendapat jatah sebagai pucuk pimpinan trias politica.
Anak bangsa yang haus kuasa, serta merta tanpa pikir panjang, mendirikan partai
politik bak jamur di musim hujan. Berhala Reformasi yang dipuja, disanjung
adalah 3K (kuasa, kuat, kaya). Memang prestasi Reformasi adalah presiden
dipilih langsung oleh rakyat yang mempunyai hak pilih. Dipraktikkan sejak tahun
2004.
Jika Revolusi tak akan memakan anak kandung sendiri, maka
Reformasi tega menjegal kawan main politik. Berbagai dalih, alasan maka pemilu dipercepat menjadi tahun
1999. MPR menjadi alat demokrasi yang memilih, mengangkat sekaligus
“membanting” K.H.
Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI keempat. Gus Dur sebagai korban politik
ala Reformasi. Gus Dur
diberhentikan melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR)
tanggal 23 Juli 2001 dengan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 tentang
“Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia
K.H. Abdurrahman Wahid”, karena telah mengeluarkan
maklumat (dekrit) pembubaran MPR/DPR.
Pemberhentian Gus Dur oleh MPR murni
akibat pertarungan politik dan rekayasa politik yang berpusar di atas hukum. Walau
gaduh politik berbasis kasus korupsi Bulog dan Brunei. Bahwa Gus Dur “kalah”
dalam pertarungan antar elit politik, fakta politik yang tak terelakkan dan tak bisa
diabaikan oleh sejarah. Fakta geger politik ini menjadi cikal bakal
bagaimana berpolitik secara santun. Takdir selanjutnya mengatakan bahwa
menerawang daya pengabdian kawanan parpolis yang sedang kontrak politik sebagai
penyelenggara negara, jangan memakai kaca mata moral. Jangan memakai skala
masyarakat beradab.
Indonesia menjadi negara
multipartai, dengan dampak dan ekses yang serba multi. Terbukti, selama dua
periode 2004-2009 dan 2009-2014, dengan satu presiden, SBY, terjadi partai
oposisi. Oposisi banci, oposisi setengah hati, oposisi pecundang. Tepatnya,
memakai istilah kondang, oknum pelaku dan pemain politik akan “suka melihat
lawan politik susah”, dan/atau “susah menonoton lawan politik suka”. Jangan
heran, jika Revolusi didukung pengorbanan pahlawan tanpa nama, maka Reformasi
mencetak petualang politik banyak jabatan, rangkap jabatan.
Puncak keserakahan politik
terjadi di periode 2014-2019, sebagai era mégakasus dan mégatéga, muncul praktik presiden senior. Parpol jebolan Orde
Baru mengalami degradasi kepemimpinan, kader dan orientasi politik. Di tingkat
provinsi, kabupaten/kota, sejalan dengan semangat otonomi daerah, muncul
dinasti politik sebagai penguasa dan penyelenggara daerah secara turun-temurun.
Pemerintah sibuk dengan urusan salah orang dan salah urus.
Sejarah membuktikan, perubahan mendasar pada rakyat,
diukur jika rakyat bersedia menerima dampak MEA, dampak pasar bebas dunia.
Rakyat dininabobokan oleh budaya asing yang masuk tanpa karantina. Daya guna
dan hasil guna kemajuan TIK menjadikan rakyat terbuai merasa sebagai bangsa dan
negara modern.
Setiap lima tahun sekali, bangsa Indonesia disuguhi
atraksi perang tanding antar parpol. Rebutan jatah kursi wakil rakyat, kepala
daerah sampai kepala negara. Provinsi bertambah sibuk dengan jalur cepat DPD.
Ada benarnya, bahkan bisa disesuaikan dengan kondisi
politik terkini, yang tersurat di Kamus Tesaurus Pusat Bahasa, Depdiknas 2008,
ternyata ada lawan kata (ant=antonim) dari kata ‘rakyat’, yaitu :
priayi n adiwangsa, aristokrat,
bangsawan, darah biru, menak, ningrat, permasan; ant rakyat.
Jangan diartikan bahwa elit politik sebagai
lawan kata ‘rakyat’. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar