rekayasa vs daur ulang rasa keadilan
masyarakat oleh wakil rakyat
Aparat hukum di Indonesia dalam menegakkan
hukum terdapat dua mahzab yang kontradiktif.
Mahzab pertama, hukum ditegakkan, dijalankan
sesuai dengan yang tersurat liwat pasal. Hukum Indonesia yang merupakan lanjutan
dari hukum kolonial Belanda, memang dikenal zakelijk (saklek, sikap
kaku/ketat). Hamba hukum menterjemahkan pasal hukum secara leterlek, kata demi
kata. Pasal hukum sebagai acuan utama, satu-satunya acuan sekaligus sebagai harga
mati. Ironis bin miris, peraturan dalam bentuk fisik/benda, misal rambu-rambu
lalu lintas, malah bisa sebagai alat penjebak. Sering kita dengar betapa tanda
larang masuk atau rambu verboden dijaga oleh pak Poltas dengan patuh sambil
berteduh.
Mahzab kedua, mulai dari penerapan
sampai memutuskan perkara, mempertimbangkan aspek lainnya. Hak asasi manusia
dalam arti sempit bisa menjadi batu sandungan. Asas kemanusiaan masih jadi
masukan yang mempengaruhi jalannya hukum. Hukum diterapkan secara fleksibel,
tidak sekedar berpatok pada akibat, tetapi juga mempertimbangkan faktor
penyebab.
Praktik di lapangan maupun di meja
hijau, asas hukum tidak pandang bulu, artinya tergantung siapa yang punya bulu,
ada siapa di balik bulu, atau nilai komersial sang bulu yang menjadi daya tarik.
Tajam ke bawah, tumpul ke atas, sudah biasa. Itulah hukum Indonesia.
Bangsa
Indonesia yang kental dengan adat dan budaya timur, khususnya yang dibentuk
dalam format feodal atau yang merasa berdarah biru atau karena merasa mewarisi
nama besar orang tuanya/anak ideologis, mempunyai karakter suka disanjung,
senang dipuji, gemar dipuja, hobi dijilat atau apa pun dari turunan ‘dininabobokan’. Daripada menunggu
orang lain tak kunjung memujinya, tak segan ybs memuja dan memuji dirinya
sendiri. Bahkan di depan orang banyak.
Akronim dari ‘hakim’ antara lain, dan tenar,
adalah ‘hubungi aku kalau ingin menang’. Fakta ini menyebabkan munculnya UU 48/2009
tentang “Kekuasaan Kehakiman” sebagai penyempurnaan UU 4/2004 yang tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ternyata, dalam menjalan
hukum, hakim punyai aturan main, sesuai Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009, yaitu :
Pasal 5
(1)
Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kata kunci atau frasa ‘rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat’, di luar pengadilan, bisa sebagai faktor
penentu dalam pengambilan kebijakan oleh Pemerintah. Bisa diplesetkan sebagai ‘tuntutan
penggemar’ maka tayangan tv swasta walau tak berbobot, malah menjadi favorit,
ditayangkan di jam utama. Pak Harto bisa bertahan jadi presiden karena ‘atas
keinginan rakyat’.
Oknum ketua umum DPR RI
2014-2019, Setya Novanto, terbelit kasus ‘papa minta saham’ atas desakan publik
melalui media daring, medsos atau sebutan lainnya, hanya diturunkan dari
jabatan. Tetap jadi wakil rakyat. Karena tidak ada kode etik penyelenggara
negara, maka tidak bisa dipidanakan.
De facto, ketua
RT yang langsung berhubungan dengan penduduk, dianggap cakap mengerahui apa
saja rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
De jure, atas
asas demokrasi dengan sistem suara mayoritas yang menentukan atau kepentingan
penguasa/pengusaha yang dominan, maka yang berhak secara yuridis formal
menentukan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, adalah wakil rakyat
(mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi dan terutama pusat).
Wakil rakyat memang
mengetahui betul apa itu rasa keadilan masyarakat, terutama saat kampanye, saat
suara rakyat dibutuhkan. Saat menjabat sebagai wakil rakyat, mau tak mau, harus
membawakan kebijakan partai politiknya. Ingat, parpol mempunyai senjata andalan,
senjata pamungkas bergelar hak recall.
Jika hak recall menjadi
andalan dan alat kendali partai politik, maka konsekuensi yuridisnya, hak
politik dan kewajiban sebagai anggota DPR sepanjang periode masa jabatannya
terpasung hidup-hidup. Jangan heran jika dibilang seolah kemandirian anggota
DPR yang sesuai dengan panggilan hati nuraninya menjadi hambar. Bahkan yang
muncul dominan malah syahwat politiknya. Apalagi menyuarakan aspirasi rakyat, tuntutan
rakyat, amanat penderitaan rakyat berbasis Trisakti dan Nawa Cita. Beban moral
atas kredibilitasnya sebagai pejabat publik, bukan masalah. Rakyat akan segera
melupakannya. Wakil rakyat yang tidak berakrab dengan awak media masa, bisa
tetap duduk manis sampai akhir jabatan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar