Halaman

Minggu, 21 Februari 2016

rekayasa vs daur ulang rasa keadilan masyarakat oleh wakil rakyat

rekayasa vs daur ulang rasa keadilan masyarakat oleh wakil rakyat

Aparat hukum di Indonesia dalam menegakkan hukum terdapat dua mahzab yang kontradiktif.

Mahzab pertama, hukum ditegakkan, dijalankan sesuai dengan yang tersurat liwat pasal. Hukum Indonesia yang merupakan lanjutan dari hukum kolonial Belanda, memang dikenal zakelijk (saklek, sikap kaku/ketat). Hamba hukum menterjemahkan pasal hukum secara leterlek, kata demi kata. Pasal hukum sebagai acuan utama, satu-satunya acuan sekaligus sebagai harga mati. Ironis bin miris, peraturan dalam bentuk fisik/benda, misal rambu-rambu lalu lintas, malah bisa sebagai alat penjebak. Sering kita dengar betapa tanda larang masuk atau rambu verboden dijaga oleh pak Poltas dengan patuh sambil berteduh.

Mahzab kedua, mulai dari penerapan sampai memutuskan perkara, mempertimbangkan aspek lainnya. Hak asasi manusia dalam arti sempit bisa menjadi batu sandungan. Asas kemanusiaan masih jadi masukan yang mempengaruhi jalannya hukum. Hukum diterapkan secara fleksibel, tidak sekedar berpatok pada akibat, tetapi juga mempertimbangkan faktor penyebab.

Praktik di lapangan maupun di meja hijau, asas hukum tidak pandang bulu, artinya tergantung siapa yang punya bulu, ada siapa di balik bulu, atau nilai komersial sang bulu yang menjadi daya tarik. Tajam ke bawah, tumpul ke atas, sudah biasa. Itulah hukum Indonesia.

Bangsa Indonesia yang kental dengan adat dan budaya timur, khususnya yang dibentuk dalam format feodal atau yang merasa berdarah biru atau karena merasa mewarisi nama besar orang tuanya/anak ideologis, mempunyai karakter suka disanjung, senang dipuji, gemar dipuja, hobi dijilat atau apa pun dari turunan ‘dininabobokan’. Daripada menunggu orang lain tak kunjung memujinya, tak segan ybs memuja dan memuji dirinya sendiri. Bahkan di depan orang banyak.

Akronim dari ‘hakim’ antara lain, dan tenar, adalah ‘hubungi aku kalau ingin menang’. Fakta ini menyebabkan munculnya UU 48/2009 tentang “Kekuasaan Kehakiman” sebagai penyempurnaan UU 4/2004 yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ternyata, dalam menjalan hukum, hakim punyai aturan main, sesuai Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009, yaitu :
Pasal 5
(1)       Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

 Kata kunci atau frasa ‘rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat’, di luar pengadilan, bisa sebagai faktor penentu dalam pengambilan kebijakan oleh Pemerintah. Bisa diplesetkan sebagai ‘tuntutan penggemar’ maka tayangan tv swasta walau tak berbobot, malah menjadi favorit, ditayangkan di jam utama. Pak Harto bisa bertahan jadi presiden karena ‘atas keinginan rakyat’.

Oknum ketua umum DPR RI 2014-2019, Setya Novanto, terbelit kasus ‘papa minta saham’ atas desakan publik melalui media daring, medsos atau sebutan lainnya, hanya diturunkan dari jabatan. Tetap jadi wakil rakyat. Karena tidak ada kode etik penyelenggara negara, maka tidak bisa dipidanakan.

De facto, ketua RT yang langsung berhubungan dengan penduduk, dianggap cakap mengerahui apa saja rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

De jure, atas asas demokrasi dengan sistem suara mayoritas yang menentukan atau kepentingan penguasa/pengusaha yang dominan, maka yang berhak secara yuridis formal menentukan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, adalah wakil rakyat (mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi dan terutama pusat).

Wakil rakyat memang mengetahui betul apa itu rasa keadilan masyarakat, terutama saat kampanye, saat suara rakyat dibutuhkan. Saat menjabat sebagai wakil rakyat, mau tak mau, harus membawakan kebijakan partai politiknya. Ingat, parpol mempunyai senjata andalan, senjata pamungkas bergelar hak recall.

Jika hak recall menjadi andalan dan alat kendali partai politik, maka konsekuensi yuridisnya, hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR sepanjang periode masa jabatannya terpasung hidup-hidup. Jangan heran jika dibilang seolah kemandirian anggota DPR yang sesuai dengan panggilan hati nuraninya menjadi hambar. Bahkan yang muncul dominan malah syahwat politiknya.  Apalagi menyuarakan aspirasi rakyat, tuntutan rakyat, amanat penderitaan rakyat berbasis Trisakti dan Nawa Cita. Beban moral atas kredibilitasnya sebagai pejabat publik, bukan masalah. Rakyat akan segera melupakannya. Wakil rakyat yang tidak berakrab dengan awak media masa, bisa tetap duduk manis sampai akhir jabatan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar