Halaman

Selasa, 23 Februari 2016

di sana bukan tempat beta menjadi kaya

di sana bukan tempat beta menjadi kaya 


Soal obyek wisata, Indonesia mengandalkan obyek wisata alam, kehidupan masyarakat, acara adat istiadat dan budaya, bangunan bersejarah, keunikan berbagai cita rasa penggoyang lidah, karya seni dan seabrek daya tarik maupun nilai jualnya. Pariwisata dikemas dalam tampilan industri, mau tak mau, mengedepankan komponen utama wisata dunia yaitu : sun, sand, and sex. Dampak negatifnya, walau belum pernah disurvei resmi, dapat diasumsikan lebih banyak, besar, dahsyat daripada dampak positifnya.

Memang dampak industri pariwisata mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat maupun menambah pendapatan asli daerah. Hasil inovasi kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, melalui berbagai bentuk fisik bangunan, khususnya pasca Proklamasi masih kalah bersaing dengan manca negara. Sehingga tak ada yang layak dijadikan obyek wisata mancanegara, kecuali wisatawan nusantara.

Menyoal kekayaan dan keindahan alam, oleh pihak asing ada yang mendaulat sebagai sepotong surga, selembar nirwana di dunia. Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai obyek jarahan negara maju, negara adikuasa.

Di balik semua kejadian di atas, bayangkan masih terjadi dan akan terjadi sesuai cupilkan lagu “di sana tempat lahir beta” telah mengalami proses adaptasi dengan lingkungan, menjadi :

Ketika petani Nusantara memandang luas dan suburnya tanaman padi, menghijau, menguning, dalam hati berdendang “di sana bukan tempat beta menjadi kaya”. Petani gurem maupun buruh tani hanya sebatas berakrab dengan tanaman. Bertanggung jawab pada semua proses, agar padi tetap tumbuh, tegak sampai panen. Soal tata niaga atau manfaat ekonomis sudah ada pihak tertentu yang menanganinya, sudah ada pihak yang lebih “bertanggung jawab”.

 Ketika nelayan Nusantara menatap bangga luas dan terbukanya lautan, betapa berbagai makhluk, fauna air mendirikan sistem kehidupan bersama dalam air. Kegundahan  hati saat sulit melaut, diselingi lantunan “di sana bukan tempat beta menjadi kaya”. Nelayan tradisional berjibaku melawan ombak menjaring ikan. Kalah bersaing dengan nelayan asing yang datang menyedot ikan laut. Teknologi pemanfaatan tenaga surya untuk membuat ikan asin. Soal alih kekayaan isi laut menjadi kekayaan isi dompet, bukan hak mereka. Nelayan dengan pekerjaan basah kuyupnya, tidak menajdikan dirinya “basah”.

Ketika pekerja/buruh Nusantara berbaris rapi memasuki atau keluar bangunan industri, menjaga roda industri tetap berputar 24 jam, dengan semangat agar asap dapur tetap mengepul, diimbangi senandung “di sana bukan tempat beta menjadi kaya”. Pemerintah semakin memanjakan investor asing karena dipandang cakap dan layak, termasuk mendapat upah yang sebesar-besarnya. Sehingga daya juang pekerja/buruh hanya sebatas modal fisik, modal tenaga, modal otot saja, dengan upah minimalis, seekonomis mungkin.

Ketika kawanan wakil rakyat Nusantara duduk manis dalam sidang, terkantuk-kantuk karena siang malam memikirkan nasib rakyat. Santai saat bahas fungsi legislasi, kecuali ada pasal komersial dan menerima pesanan khusus. Tampak garang, bergairah, menggelora saat debat anggaran, kalah adu mulut, siap adu lutut. Fungsi pengawasan dilakukan sampai ke dapil di luar negeri, dalam bentuk kunker, plesiran keluarga. Ketika mereka memandang rakyat berbagai strata, kasta, klas yang diwakilinya, bibir mencibir sambil berguman “di sana bukan tempat beta menjadi kaya”. Wajar, karena wakil rakyat mempunyai berbagi sumber penghasilan, pendapatan yang resmi dan sah menurut peraturan perundang-undangan. Duduk diam manis saja argo Rp tetap jalan, bertambah. Apalagi yang pandai-pandai memanfaatkan waktu luang selama satu periode.

Ketika saya menulis olah kata ini . . . . .[HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar