koalisi partai pendukung
pemerintah, makar konstitusional vs begal kursi legal
Saya bukan ahli tata negara, tata politik, tapi tak
buta tata kata. Makanya, begitu mau menggunakan kata ‘makar’, harus
berhati-hati, waspada dan was-was. Apa arti sebuah kata. Memakai huruf yang ada
di kata ‘makar’, disusun acak tapi dalam batasan mempunyai arti, menghasilkan
beberapa kata, yaitu : i. diawali huruf ‘m’ : marka, marak. ii. diawali huruf
‘k’ : kamar, karam, karma, krama. Mungkin, kata ‘makar’ dan produk olahan
hurufnya, ternyata mengandung pengertian yang saling menguatkan. Coba saja
pembaca otak-atik bahasa. Kalau disusun menjadi akar kata, tersusun kalimat dalam
satu alenia :
“Makar yang dilakukan
secara tak sadar oleh kawanan parpolis Nusantara, walau masih patuh marka jalan politik, marak dilakukan selama
satu periode. Pemakar ada yang praktik di dalam kamar untuk sepakat tidak
sepakat. Pemakar larut dan karam dalam syahwat
politik kekuasaan. Mereka tak percaya adanya karma politik. Apalagi
memahami filosofi tata krama politik.”
Pendukung Pemerintah utawa Pro-Pemerintah? Bukan
masalah. Cuma wajib kita ingat bahwa Pemerintah
pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Demokrasi
Indonesia memandang Presiden sebagai sosok dan figur orang, tongkrongan
manusia. Bukan lembaga. Apalagi presiden 2014-2019 cuma petugas, kurir, suruhan,
buruh partai.
Demokrasi
Indonesia tidak mengenal oposisi, oposisi setengah hati, oposisi banci, tidak
menerapkan asas presiden senior. Celaka, dalam praktiknya menjadi legal.
Demokrasi
Indonesia membakukan hakikat politik adalah modus operandi merebut kekuasaan
secara konstitusional, legal, sesuai pasal dan halal.
Jadi,
yang tidak pro-pemerintah, otomatis yuridis menjadi anti-pemerintah. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar