Halaman

Rabu, 03 Februari 2016

tantangan internal ekonomi poros maritim, pasar tradisional vs parpol konvensional

tantangan internal ekonomi poros maritim, pasar tradisional vs parpol konvensional

Daulat, derajat, harkat, martabat yang disandang oleh rakyat, tidak menjadikannya mudah tergiur rayuan politik. Rakyat yang bukan pelaku, pemain, pe-wayang politik, mempunyai posisi bebas, dinamis, sentral dan strategis. Kenapa bisa berhal demikian? Kondisi ekstrim di kutub lain, betapa Pemerintah, pihak berwajib, hamba hukum, arapat pertahanan dan keamanan acap kelabakan menghadapi ulah oknum atau pergerakan bukan oleh kelompok.

Apakah sudah ciri bahwa pergerakan perorangan bisa berdampak nyata.
Ataukah seperti gerakan emansipasi yang dipelopori oleh ibu kita Kartini, dengan modal berkirim surat.
Akankah sejarah berulang, pergerakan secara massal, sporadis, acak, ada sutradara,  dalang, bandar seintelektual apapun, mudah ditumpas, mudah dibaca.

Ditengarai apa dan siapa perorangan, mulai dari yang ahli meramu, meracik, bahan peledak berbagai versi; mahir merakit, menempa senjata api klas pandai besi; piawai mengoplos racun multiguna dan multisasaran; terampil mengelola lalu lintas narkoba dari balik jeruji; ulung  mendayagunakan pengawet, pewarna dan perasa berbahaya ke dalam makanan/minuman; lihai mengeduk, mengeruk, menumpuk uang negara/daerah - menjadikan seolah mereka susah disidik, diselidik, dilacak, diperkarakan sampai tuntas. Ujung-ujungnya media massa mendapat berita berbasis wacana bukti vs bukti wacana. Media menjadi peradilan tak resmi sebelum meja hijau digelar. Media mendapat bahan baku yang siap disajikan sesuai selera, kepentingan sponsor.

Jangan lupa Bung! Media massa paling unggul, super kawakan, sangat karatan, top bangkotan  soal aduk-mengaduk, udak-mengudak emosi dan enerji pendengar/ penonton/ pembaca. Merekayasa fakta aktual, memanipulasi berita, mencampuradukkan perkara, memelintir masalah.

Kapan menyentuh substansi pasar tradisional.

Dikatakan bahwa urusan téték bengék pasar tradisonal menjadi tanggung jawab, wewenang pemerintah kabupaten/kota. Remaja ibukota provinsi yang kaya ikan laut, lebih bergensi, gaul, gaya hidup makan di restoran cepat saji, restoran junk food. Orang lain provinsi, beda pulau, kalau datang justru menikmati ikan bakar. Ironis lagi, pedagang ikan bakar bukan dari penduduk lokal, pribumi. Datang dari suku lain.

Pemerintah kabupaten/kota demi PAD, membiarkan toko modern tumbuh bak jamur di musim hujan. Tumbuh subur, tak mau berjauhan. Beda nama toko, isi sama. Toko modern serba ada, urusan dapur sampai isi rumah tersedia. Harus berani punya uang baru boleh mampir.

Nyaris lupa, apa yang disebut poros maritim.

Sebagai bahan kampanye presiden diwujudkan liwat program/kegiatan  selama lima tahun, 2015-2019. Terbukti dengan adanya proyek kereta api cepat Bandung-Jakarta. Penyelenggara negara, khususnya dari Koalisi Partai Pro-Pemerintah, berkepentingan untuk mensukseskannya, diikat dengan kontrak politik. Itu saja yang saya ketahui.

Ada apa dengan parpol konvensional. Memang ada parpol syari’ah.

Kawanan parpolis hanya memikirkan dirinya sendiri, agar selamat sampai tujuan dalam perjalanan satu periode. Jangan sampai diturunkan di tengah jalan. Jangan sampai digugat sebelum jatuh tempo. Pola pikir inilah yang menjadikan mereka tidak bisa total mendukung Pemerintah. Kalau menggerogoti dari dalam memang sudah dari sono-nya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar