Halaman

Senin, 15 Februari 2016

menakar energi negatif koalisi partai pendukung pemerintah (KP3)

menakar energi negatif koalisi partai pendukung pemerintah (KP3)

Sudah kehendak, suratan dan takdir sejarah, bahwa nasib perjalanan hidup bangsa dan negara Indonesia seolah di tangan ambisi dan energi partai politik (parpol). Negara maju pun sistem demokrasinya melibatkan parpol dalam memilih presiden atau kepala negaranya. Kampanye politik di Indonesia sebagai negara berkembang tentu jangan disamakan dengan sistem kampanye di negara maju atau minimal sudah ratusan tahun merdeka, sudah melahirkan puluhan presiden. Yang disebutkan terakhir, bukan jaminan sebagai negara demokratis.

Indonesia diproklamirkan karena sudah mempunyai sistem demokrasi yang menentukan bentuk praktik berpolitik. Sejauh ini berpolitik hanya mengandalkan pendekatan dari atas saja, yaitu merebut kekuasaan secara konstitusional, legal sesuai pasal hukum buatan ‘otak politik’ manusia. Berhala Reformasi yang didaulat dengan sebutan 3K (kuasa, kuat, kaya) semakin masif dan mengakar di kawanan parpolis Nusantara. Parpol menjadi kendaraan multiguna, multiefek, multimanfaat untuk mewujudkan berhala Reformasi 3K sampai tingkat unsur utama dari pembentuk negara, yaitu daerah. Khususnya daerah kabupaten/kota.

Koalisi atau sebutan lain dari gabungan, asosiasi parpol, di tingkat daerah, semakin menyuburkan dan memakmurkan praktik parpol menjadi perusahaan keluarga. Tumbuh kembangya dinasti keluarga dalam sistem politik yang bisa dan mampu mendikte terselenggaranya pemilihan kepala daerah. Sejarah lima tahunan ke depan, siapa yang akan berkuasa atau menjadi penguasa tunggal di daerah, bisa direkayasa sejak awal. Pihak yang ingin pesan jabatan, harus pandai-pandai membaca politik lokal. Harus pandai-pandai membawakan diri di suhu politik yang fluktuatif. Mengandalkan janji kampanye, walau atraktif, provokatif dan serba menjanjikan akan kalah pamor dengan politik uang. Tak kurang pentingnya, harus pandai-pandai jangan sampai dijegal, dibegal di tengah jalan. Kalau dipanggil dan berurusan dengan KPK, sudah ada aturan mainnya.

Dikisahkan, entah ide siapa, entah bisikan setan macam apa, di periode 2014-2019 yang diwarnai perseteruan antar koalisi, yaitu KMP dengan KIH, semakin menjadi-jadi. Agaknya ambisi politik belum tersalurkan, karena banyaknya tukang tadah berkeliaran di dalam istana presiden, muncul gagasan mendeklarasikan koalisi partai pendukung pemerintah (KP3).

Walhasil, ambisi politik KP3 belum bisa dilacak, disidik apalagi dijaring dengan survei tanpa surevi, walau berbayar atau ada pesanan khusus. Bisa jadi kawanan parpolis yang masuk jebakan dan jeratan KP3 tidak tahu konsep ambisi politiknya. Tindakan dan kejadian perkara politik lebih laju dibanding angan-angan dan ambisi politik. Kaca mata politik hanya melihat bagaimana aman sampai batas akhir perode 2014-2019.

Jadi, perilaku politik komplotan KP3 . . . nyaris lupa, bagaimana nasib parpol di luar KP3. Apakah mereka otomatis menjadi lawan politik KP3, yang artinya tidak mendukung pemerintah, baik bahasa hukum maupun bahasa politik. Kembali ke syahwat politi KP3, apa yang diucapkan, apa tindakan yang dilakukan bukan sebagai prosedur, proses. produk dari kinerja hati. Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada di dalam hatinya. Bahasa politik memang bebas pidana Bung! [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar