menakar energi negatif koalisi partai
pendukung pemerintah (KP3)
Sudah kehendak,
suratan dan takdir sejarah, bahwa nasib perjalanan hidup bangsa dan negara Indonesia
seolah di tangan ambisi dan energi partai politik (parpol). Negara maju pun
sistem demokrasinya melibatkan parpol dalam memilih presiden atau kepala
negaranya. Kampanye politik di Indonesia sebagai negara berkembang tentu jangan
disamakan dengan sistem kampanye di negara maju atau minimal sudah ratusan
tahun merdeka, sudah melahirkan puluhan presiden. Yang disebutkan terakhir,
bukan jaminan sebagai negara demokratis.
Indonesia
diproklamirkan karena sudah mempunyai sistem demokrasi yang menentukan bentuk
praktik berpolitik. Sejauh ini berpolitik hanya mengandalkan pendekatan dari
atas saja, yaitu merebut kekuasaan secara konstitusional, legal sesuai pasal
hukum buatan ‘otak politik’ manusia. Berhala Reformasi yang didaulat dengan
sebutan 3K (kuasa, kuat, kaya) semakin masif dan mengakar di kawanan parpolis
Nusantara. Parpol menjadi kendaraan multiguna, multiefek, multimanfaat untuk
mewujudkan berhala Reformasi 3K sampai tingkat unsur utama dari pembentuk
negara, yaitu daerah. Khususnya daerah kabupaten/kota.
Koalisi atau sebutan
lain dari gabungan, asosiasi parpol, di tingkat daerah, semakin menyuburkan dan
memakmurkan praktik parpol menjadi perusahaan keluarga. Tumbuh kembangya
dinasti keluarga dalam sistem politik yang bisa dan mampu mendikte
terselenggaranya pemilihan kepala daerah. Sejarah lima tahunan ke depan, siapa
yang akan berkuasa atau menjadi penguasa tunggal di daerah, bisa direkayasa sejak
awal. Pihak yang ingin pesan jabatan, harus pandai-pandai membaca politik
lokal. Harus pandai-pandai membawakan diri di suhu politik yang fluktuatif.
Mengandalkan janji kampanye, walau atraktif, provokatif dan serba menjanjikan
akan kalah pamor dengan politik uang. Tak kurang pentingnya, harus
pandai-pandai jangan sampai dijegal, dibegal di tengah jalan. Kalau dipanggil
dan berurusan dengan KPK, sudah ada aturan mainnya.
Dikisahkan, entah ide
siapa, entah bisikan setan macam apa, di periode 2014-2019 yang diwarnai
perseteruan antar koalisi, yaitu KMP dengan KIH, semakin menjadi-jadi. Agaknya ambisi
politik belum tersalurkan, karena banyaknya tukang tadah berkeliaran di dalam
istana presiden, muncul gagasan mendeklarasikan koalisi partai pendukung
pemerintah (KP3).
Walhasil, ambisi politik
KP3 belum bisa dilacak, disidik apalagi dijaring dengan survei tanpa surevi,
walau berbayar atau ada pesanan khusus. Bisa jadi kawanan parpolis yang masuk
jebakan dan jeratan KP3 tidak tahu konsep ambisi politiknya. Tindakan dan
kejadian perkara politik lebih laju dibanding angan-angan dan ambisi politik. Kaca
mata politik hanya melihat bagaimana aman sampai batas akhir perode 2014-2019.
Jadi, perilaku
politik komplotan KP3 . . . nyaris lupa, bagaimana nasib parpol di luar KP3.
Apakah mereka otomatis menjadi lawan politik KP3, yang artinya tidak mendukung
pemerintah, baik bahasa hukum maupun bahasa politik. Kembali ke syahwat politi
KP3, apa yang diucapkan, apa tindakan yang dilakukan bukan sebagai prosedur, proses.
produk dari kinerja hati. Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada
di dalam hatinya. Bahasa politik memang bebas pidana Bung! [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar