bagimu partai jiwa raga kami
Kesehatan
Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya (UU 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa).
Kamus Bahasa indonesia, Pusat Bahasa,
Depdiknas 2008, pada lema :
komunitas
n Sas kesatuan yg terdiri dr individu-individu;
masyarakat;
--
maya komunitas yg anggotanya saling berkomunikasi melalui internet
Kamus Tesaurus, Pusat Bahasa, Depdiknas 2008,
pada lema :
komunitas
n komune, masyarakat, peguyuban, populasi,
publik.
Seolah,
dengan jiwa yang sehat, seseorang dianggap memenuhi syarat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya.
Apakah
seorang individu berjuang sampai akhir hayat, hanya sebatas bernilai memberikan
kontribusi untuk komunitasnya. Komunitas terkecil adalah lingkungan tempat
tinggal. Adab bertetangga telah dirumuskan dalam ajaran agama Islam. Menukkan
eksistensi tetangga, pada tataran dan tatanan tertentu, bisa dianggap lebih
baik daripada suadara tetapi jauh domisilinya. Apalagi jarang silaturahmi.
Bangsa
merupakan komunitas besar, keluarga besar negara. Semua elemen masyarakat,
unsur bangsa ada di dalamnya. Akumulasi dari keberagaman SARA.
Apakah
totok ukur, sehingga keberhasilan pekerjaan, perjuangan, pengabdian seorang
individu bermanfaat bagi lingkungan tempat tinggalnya. Hebatnya lagi bagi
bangsa dan negara.
Kehebatan
seseorang, dalam kesendiriannya, tanpa publikasi, tanpa tayangan lansung media
masa berbayar, tanpa liputan sebagai acara utama di jam tayang utama, akankah
bisa berkibar, bisa ternama.
Revolusi
melahirkan ‘pahlawan tanpa nama’.
Reformasi
mencetak ‘petualang banyak
jabatan’.
Celakanya,
untuk menjadi dan mampu berkontribusi bagi bangsa dan negara, mau tak mau, rela
tak rela, ihklas tak ikhlas, harus melalui jalur partai politik. Jangan heran,
jalur perjuangan, pengabdian melalui parpol merupakan mata pencaharian
multimanfaat, multiguna. Sesuai pepatah tentang daya guna dan hasil guna ,
yaitu “sekali
keruk dua tiga keturunan terkecukupi”. Tak heran, banyak anak bangsa rela
mati-matian berjibaku di jalur politik. Bahkan rela bernasib tragis, karir
politik berakhir menjadi warga binaan lapas atau rutan.
“Bangunlah
jiwanya bangunlah badannya”, sekelumit
lagu kebangsaan Indonesia Raya, menyuratkan dan menyiratkan bahwa jauh sebelum
Proklamasi, jauh sebelum negara dibentuk, jiwa bangsa dan rakyat harus dibangun
terlebih dahulu.
Di era Reformasi, pemerintah melalui perubahan
kedua UUD 1945, menetapkan Pasal 28E ayat (3) : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat.” Pasal ini
mujarab sebagai pertimbangan pertama dalam menetapkan UU tentang partai poltik
(parpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas).
Sejarah
mencatat, begitu kran demokrasi terbuka deras, menjelang Pemilu 1999, warga
negara mendirikan parpol dengan tujuan pertama dan utama adalah agar bisa ikut
pesta demokrasi. Indonesia menjelma menjadi negara dengan sistem multi partai.
Keberadaan parpol dalam legislatif mendominasi kesimbangan dan sinerji trias
politika. Sejak 2004 ketika pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat,
modus operandi parpol semakin jauh dari semboyan pro-rakyat.
Petarung di industri,
panggung, syahwat politik hanya mempunyai satu niat dan tekad yaitu siap
menang. Berbagai rintisan dilakoni, baik yang instan atau mulai menapak dari
kompetisi klas kampung. Dinasti politik menjadikan persaingan sebagai arisan
politik. Kalkulasi politik di tingkat pusat, pasca pemilu legislatif 9 April
2014 terlebih pasca pilpres 9 Juli 2014, tanpa survei pun sudah bisa ditebak
akan terjadi koalisi antar parpol pemegang komando di parlemen, pembagian
komisi di DPR, yang sesuai suratan sejarah politik akan berakhir dengan
korupsi.
Periode 2004-2009
dan 2009-2014, parpol yang ketua umumnya kalah unggul di pilpres, lebih senang
menjadi oposisi. Tidak mau jatah kursi sebagai pembantu presiden, tetapi getol
mengejar kursi gubernur dan bupati/walikota. Padahal gubernur adalah
perpanjangan tangan pemerintah pusat. Kondisi ini membuktikan bahwa pendidikan
politik sangat perlu bagi yang melek politik. Ormas Islam yang sudah mempunyai
kapling, yang seharusnya mengurus kepentingan umat, malah ikut-ikut berpolitik.
Jiwa, roh dan akal
merupakan potensi internal yang membentuk jati diri manusia, yang menentukan
kadar akhlak sesorang. Ketiganya merupakan faktor bawaan anak Adam yang
membedakan dirinya dengan makhluk hidup lainnya, walau sama-sama ciptaan Allah.
Ketiga kesatuan potensi internal manusia memiliki kebutuhan dan asupan gizi
masing-masing. Jiwa perlu nutrisi berupa keinginan (syahwat). Sementara roh butuh
nutrisi berupa keyakinan (iman). Akal perlu nutrisi berupa ilmu pengetahuan
(informasi).
Sinerji jiwa dan roh adalah potensi yang tidak boleh saling mendominasi,
karena keduanya bisa saling melemahkan. Saat jiwa (an-nafs) mendominasi,
kerja tubuh cuma memenuhi panggilan syahwat saja, sehingga roh mengering.
Ketika roh (ar-ruh) terlalu dominan, orang yang bersangkutan maunya
mengisi waktunya dengan serba ibadah.
Akibatnya, jiwa menjadi korban karena hasratnya tidak kunjung terpenuhi, walau untuk
urusan yang mubah/halal sekalipun.
Posisi, peran dan potensi akal, dalam hal memilih dan memilah informasi yang diterimanya melalui indera
mata dan telinga. Kinerja akal yang harus dominan. Karena semakin kuat akal
seseorang, akan menentukan proses berpikir, berucap dan bertindak. Pasalnya,
daya akal dapat meluruskan jiwa yang cenderung tertarik gravitasi bumi
(kenikmatan duniawi). Ikhwal akal dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Qaaf (50) : 37] : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”
Mengacu
jumlah dan banyaknya penduduk, Indonesia menjadi bangsa besar di dunia. Karena
syahwat politik menjadikan jiwa bangsa ini kerdil atau minimalis, dalam arti
jiwa ingin menang yang dominan. Tidak kebagian kursi sebagai wakil rakyat di
daerah maupun di pusat, perwakilan daerah, kepala daerah apalagi kepala negara,
memilih untuk melakukan pemekaran wilayah. Memproklamirkan provinsi baru karena
bobot politik yang bicara, yang menjadi faktor penentu, bukan karena kebutuhan
nyata dan kemampuan nyata rakyat.
Selain
revolusi mental, bangsa ini sangat membutuhkan taubat nasional, agar tidak
lebih parah dibanding periode sebelum 2014-2019, katanya. Periode 2014-2019
sebagai ajang pertarungan frontal antara partai pro-pemerintah dengan yang
bukan, dikenal dengan lawan politik.
Partai
Politik telah membuka jalan dan peluang bagi dirinya untuk lebih mampu
memperjuangkan cita-citanya. Belum puas dengan kemanfaatan, eksistensi,
keberadaan UU 2/2008, terbitlah UU 2/2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Bersyukur, peradaban politik di atas
kertas telah dibakukan, disuratkan. Artinya di UU 2/2011 tidak ada perubahan
redaksi maupun susbtansi dari pasal yang mengatur Tujuan Partai Politik.
Frasa,
nomenklatur “memperjuangkan cita-cita
Partai Politik” seolah tidak bisa dipertanggungjawabkan
secara yuridis, hanya dalam bahasa politik. Apa tolok ukurnya. Bagaimana cara
membuktikannya.
Apakah
cita-cita Partai Politik tercapai
jika oknum ketua umumnya berhasil
menjadi kepala negara, liwat pesta demokrasi lima tahun sekali.
Apakah
cita-cita Partai Politik terwujud
jika ada anggotanya menapat jatah kursi sebagai wakil rakyat, baik di tingkat
kabupaten/kota, tingkat provinsi apalagi di tingkat pusat atau sebagai anggota
terhormat DPR RI.
Apakah
cita-cita Partai Politik tergapai
jika ada kader terbaiknya mampu meraih
jabatan kepala daerah, baik sebagai bupati/walikota atau sebagai gubernur.
Apakah
cita-cita Partai Politik terbukti
jika elite partai, loyalis kepada ketum, kader jenggot, pemodal atau sebutan heroik
lainnya mendapat jatah sebagai pembantu presiden.
Rakyat semakin bingung bin bengong, apakah di éra mégakasus, mégatéga cita-cita puluhan Partai Politik telah tercapai. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar