Halaman

Minggu, 07 Februari 2016

bagimu partai jiwa raga kami

bagimu partai jiwa raga kami

Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (UU 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa).

Kamus Bahasa indonesia, Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, pada lema :
komunitas n Sas kesatuan yg terdiri dr individu-individu; masyarakat;
-- maya komunitas yg anggotanya saling berkomunikasi melalui internet

Kamus Tesaurus, Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, pada lema :
komunitas n komune, masyarakat, peguyuban, populasi, publik.

Seolah, dengan jiwa yang sehat, seseorang dianggap memenuhi syarat  bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Apakah seorang individu berjuang sampai akhir hayat, hanya sebatas bernilai memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Komunitas terkecil adalah lingkungan tempat tinggal. Adab bertetangga telah dirumuskan dalam ajaran agama Islam. Menukkan eksistensi tetangga, pada tataran dan tatanan tertentu, bisa dianggap lebih baik daripada suadara tetapi jauh domisilinya. Apalagi jarang silaturahmi.

Bangsa merupakan komunitas besar, keluarga besar negara. Semua elemen masyarakat, unsur bangsa ada di dalamnya. Akumulasi dari keberagaman SARA.

Apakah totok ukur, sehingga keberhasilan pekerjaan, perjuangan, pengabdian seorang individu bermanfaat bagi lingkungan tempat tinggalnya. Hebatnya lagi bagi bangsa dan negara.

Kehebatan seseorang, dalam kesendiriannya, tanpa publikasi, tanpa tayangan lansung media masa berbayar, tanpa liputan sebagai acara utama di jam tayang utama, akankah bisa berkibar, bisa ternama.

Revolusi melahirkan ‘pahlawan tanpa nama’.
Reformasi mencetak ‘petualang banyak jabatan’.

Celakanya, untuk menjadi dan mampu berkontribusi bagi bangsa dan negara, mau tak mau, rela tak rela, ihklas tak ikhlas, harus melalui jalur partai politik. Jangan heran, jalur perjuangan, pengabdian melalui parpol merupakan mata pencaharian multimanfaat, multiguna. Sesuai pepatah tentang daya guna dan hasil guna , yaitu “sekali keruk dua tiga keturunan terkecukupi”. Tak heran, banyak anak bangsa rela mati-matian berjibaku di jalur politik. Bahkan rela bernasib tragis, karir politik berakhir menjadi warga binaan lapas atau rutan.

“Bangunlah jiwanya bangunlah badannya”, sekelumit lagu kebangsaan Indonesia Raya, menyuratkan dan menyiratkan bahwa jauh sebelum Proklamasi, jauh sebelum negara dibentuk, jiwa bangsa dan rakyat harus dibangun terlebih dahulu.

Di era Reformasi, pemerintah melalui perubahan kedua UUD 1945, menetapkan Pasal 28E ayat (3) : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”  Pasal ini mujarab sebagai pertimbangan pertama dalam menetapkan UU tentang partai poltik (parpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas).

Sejarah mencatat, begitu kran demokrasi terbuka deras, menjelang Pemilu 1999, warga negara mendirikan parpol dengan tujuan pertama dan utama adalah agar bisa ikut pesta demokrasi. Indonesia menjelma menjadi negara dengan sistem multi partai. Keberadaan parpol dalam legislatif mendominasi kesimbangan dan sinerji trias politika. Sejak 2004 ketika pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, modus operandi parpol semakin jauh dari semboyan pro-rakyat.

Petarung di industri, panggung, syahwat politik hanya mempunyai satu niat dan tekad yaitu siap menang. Berbagai rintisan dilakoni, baik yang instan atau mulai menapak dari kompetisi klas kampung. Dinasti politik menjadikan persaingan sebagai arisan politik. Kalkulasi politik di tingkat pusat, pasca pemilu legislatif 9 April 2014 terlebih pasca pilpres 9 Juli 2014, tanpa survei pun sudah bisa ditebak akan terjadi koalisi antar parpol pemegang komando di parlemen, pembagian komisi di DPR, yang sesuai suratan sejarah politik akan berakhir dengan korupsi.

Periode 2004-2009 dan 2009-2014, parpol yang ketua umumnya kalah unggul di pilpres, lebih senang menjadi oposisi. Tidak mau jatah kursi sebagai pembantu presiden, tetapi getol mengejar kursi gubernur dan bupati/walikota. Padahal gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Kondisi ini membuktikan bahwa pendidikan politik sangat perlu bagi yang melek politik. Ormas Islam yang sudah mempunyai kapling, yang seharusnya mengurus kepentingan umat, malah ikut-ikut berpolitik.

Jiwa, roh dan akal merupakan potensi internal yang membentuk jati diri manusia, yang menentukan kadar akhlak sesorang. Ketiganya merupakan faktor bawaan anak Adam yang membedakan dirinya dengan makhluk hidup lainnya, walau sama-sama ciptaan Allah.

Ketiga kesatuan potensi internal manusia memiliki kebutuhan dan asupan gizi masing-masing. Jiwa perlu nutrisi berupa keinginan (syahwat). Sementara roh butuh nutrisi berupa keyakinan (iman). Akal perlu nutrisi berupa ilmu pengetahuan (informasi).

Sinerji jiwa dan roh adalah potensi yang tidak boleh saling mendominasi, karena keduanya bisa saling melemahkan. Saat jiwa (an-nafs) mendominasi, kerja tubuh cuma memenuhi panggilan syahwat saja, sehingga roh mengering. Ketika roh (ar-ruh) terlalu dominan, orang yang bersangkutan maunya mengisi waktunya  dengan serba ibadah. Akibatnya, jiwa menjadi korban karena hasratnya tidak kunjung terpenuhi, walau untuk urusan yang mubah/halal sekalipun.

Posisi, peran dan potensi akal, dalam hal memilih dan memilah  informasi yang diterimanya melalui indera mata dan telinga. Kinerja akal yang harus dominan. Karena semakin kuat akal seseorang, akan menentukan proses berpikir, berucap dan bertindak. Pasalnya, daya akal dapat meluruskan jiwa yang cenderung tertarik gravitasi bumi (kenikmatan duniawi). Ikhwal akal dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Qaaf (50) : 37] :  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”

Mengacu jumlah dan banyaknya penduduk, Indonesia menjadi bangsa besar di dunia. Karena syahwat politik menjadikan jiwa bangsa ini kerdil atau minimalis, dalam arti jiwa ingin menang yang dominan. Tidak kebagian kursi sebagai wakil rakyat di daerah maupun di pusat, perwakilan daerah, kepala daerah apalagi kepala negara, memilih untuk melakukan pemekaran wilayah. Memproklamirkan provinsi baru karena bobot politik yang bicara, yang menjadi faktor penentu, bukan karena kebutuhan nyata dan kemampuan nyata rakyat.

Selain revolusi mental, bangsa ini sangat membutuhkan taubat nasional, agar tidak lebih parah dibanding periode sebelum 2014-2019, katanya. Periode 2014-2019 sebagai ajang pertarungan frontal antara partai pro-pemerintah dengan yang bukan, dikenal dengan lawan politik.

Partai Politik telah membuka jalan dan peluang bagi dirinya untuk lebih mampu memperjuangkan cita-citanya. Belum puas dengan kemanfaatan, eksistensi, keberadaan UU 2/2008, terbitlah UU 2/2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Bersyukur, peradaban politik di atas kertas telah dibakukan, disuratkan. Artinya di UU 2/2011 tidak ada perubahan redaksi maupun susbtansi dari pasal yang mengatur Tujuan Partai Politik.

Frasa, nomenklatur “memperjuangkan cita-cita Partai Politik” seolah tidak bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis, hanya dalam bahasa politik. Apa tolok ukurnya. Bagaimana cara membuktikannya.

Apakah cita-cita Partai Politik tercapai jika oknum ketua umumnya  berhasil menjadi kepala negara, liwat pesta demokrasi lima tahun sekali.

Apakah cita-cita Partai Politik terwujud jika ada anggotanya menapat jatah kursi sebagai wakil rakyat, baik di tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi apalagi di tingkat pusat atau sebagai anggota terhormat DPR RI.

Apakah cita-cita Partai Politik tergapai jika ada kader terbaiknya  mampu meraih jabatan kepala daerah, baik sebagai bupati/walikota atau sebagai gubernur.

Apakah cita-cita Partai Politik terbukti jika elite partai, loyalis kepada ketum, kader jenggot, pemodal atau sebutan heroik lainnya mendapat jatah sebagai pembantu presiden.

Rakyat semakin bingung bin bengong, apakah di éra mégakasus, mégatéga cita-cita puluhan Partai Politik telah tercapai. [HaeN]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar