perilaku LGBT, dampak ketidakterpaduan antara pendidikan umum
dengan pendidikan agama
Perilaku
LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di
Indonesia bak mendapat angin surga. Arus budaya asing masuk bebas tanpa karantina,
kemerdekaan memproklamirkan dan memamerkan jati diri, ditunjang kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi, semakin memperkuat eksistensinya.
Ketika LGBT menjadi
gaya hidup, gaul dan gengsi generasi muda, tak ayal gema, gaungnya – walau tanpa
promo – merasuk sampai pojok kota dan sudut desa, menembus sampai ujung kota
dan pinggir desa. Justru pemberitaan yang over dosis, tidak proporsional, menjadi
promo gratis, menjadi kampanye gratis.
Anak didik setingkat
Sekolah Dasar, dengan naluri kesetiakawanan, dipacu dan dipicu tayangan
sinetron layar kaca, sudah mempraktikkan apa yang disebut pacaran. Pertumbuhan
biologis anak di zaman makanan serba instan, sajian serba cepat, seolah
mendahului kodratnya. Puncaknya, saat di dunia kampus, gerakan LGBT bisa-bisa
menjadi Dharma keempat.
Pemerintah,
khususnya yang peduli pendidikan, baru mengambil tindakan setelah kebakaran
jenggot. Organisasi kemasyarakatan, partai politik yang berlabel Islam,
ternyata lebih mahir dalam membuat pernyataan. Bahkan menggulirkan fatwa.
Sementara pada waktu yang bersamaan, cikal bakal pelaku LGBT sudah antri. Rumah
tinggal, keluarga yang digadang-gadang menjadi sekolah pertama, madrasah awal,
bagi pendidikan umum maupun pendidikan agama, tidak ampuh. Orang tua membiarkan
anaknya tumbuh kembang secara alami.
Ditarik garis ke
atas, terdapat ketidakterpaduan antara kebijakan, konsep dan implementasi dalam pendidikan
yang berbasis multi-kultural atau yang serba multi. Seolah pendidikan agama diserahkan
kepada ahlinya. Bukan kewajiban utama pemerintah. Sedangkan pendidikan formal,
pendidikan formal dilaksanakan setinggi mungkin, melalui menara gading, sampai
ke negeri Cina. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar