daya juang
PG, mendaur ulang dosa politik Orba vs mengoplos ambisi politik Reformasi
Sila ketiga Pancasila adalah ‘Persatuan
Indonesia’, divisualkan dengan lambang pohon Beringin. Pohon beringin menjadi
pohon pelindung, bagi siapa saja yang berteduh dibawah kerindangan daunnya. Alun-alun
depan keraton kurang lengkap jika tidak ada pohon beringin. Spesies pohon
beringin mengalami proses alami, sehingga ada yang menjadi tanaman hias karena
warna daunnya, serta tak kurang yang dikerdilkan menjadi bonzai.
Sekber Golkar sejak diresmikan
keberadaannya 20 Oktober 1964, di zaman Orde Lama, sampai sekarang telah mengalami
penyesuaian diri dengan lingkungan menjadi Partai Golongan Karya (PG), tetap
memakai lambang pohon Beringin. Kuningisasi di era Orda Baru, membuktikan
betapa Golkar identik dengan pemerintah. Golkar menjadi pabrik menteri,
gubernur, bupati/walikota dan jabatan sebagai penyelenggara negara. Seolah
Golkar mampu menyatukan Indonesia dengan status single mayority serta
massa mengambang. Diikatnya bendera kertas kuning di tiang papan nama jalan,
tiang listrik, sebagai tanda berkabung.
Ironis, kemampuan PG untuk
mempraktikkan ‘Persatuan Indonesia’ semakin mengalami degradasi. Menyatukan
diri sendiri saja sudah kalang kabut. Memangnya para pelaku dan pemain politik
di internal PG, memang menunjukkan watak aslinya. Atau PG sengaja membuka diri
bagi semua elemen masyarakat, tanpa ada persyaratan formal, persyaratan administrasi.
Atau justru persyaratan tak tertulis yang menentukan. Mulai dari yang berani
malu atau wani wirang, waton suloyo, wani mbengoké, édan tenan malah
diandalkan menjadi kader utama PG. Rekam jejak oknum PG yang mampu ‘menyelesaikan kasus hukum tanpa hukum’,
dielus-elus, digadang-gadang jadi puncak dan pucuk pimpinan PG. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar