Halaman

Senin, 29 Februari 2016

daya juang PG, mendaur ulang dosa politik Orba vs mengoplos ambisi politik Reformasi

daya juang PG, mendaur ulang dosa politik Orba vs mengoplos ambisi politik Reformasi

Sila ketiga Pancasila adalah ‘Persatuan Indonesia’, divisualkan dengan lambang pohon Beringin. Pohon beringin menjadi pohon pelindung, bagi siapa saja yang berteduh dibawah kerindangan daunnya. Alun-alun depan keraton kurang lengkap jika tidak ada pohon beringin. Spesies pohon beringin mengalami proses alami, sehingga ada yang menjadi tanaman hias karena warna daunnya, serta tak kurang yang dikerdilkan menjadi bonzai.

Sekber Golkar sejak diresmikan keberadaannya 20 Oktober 1964, di zaman Orde Lama, sampai sekarang telah mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan menjadi Partai Golongan Karya (PG), tetap memakai lambang pohon Beringin. Kuningisasi di era Orda Baru, membuktikan betapa Golkar identik dengan pemerintah. Golkar menjadi pabrik menteri, gubernur, bupati/walikota dan jabatan sebagai penyelenggara negara. Seolah Golkar mampu menyatukan Indonesia dengan status single mayority serta massa mengambang. Diikatnya bendera kertas kuning di tiang papan nama jalan, tiang listrik, sebagai tanda berkabung.

Ironis, kemampuan PG untuk mempraktikkan ‘Persatuan Indonesia’ semakin mengalami degradasi. Menyatukan diri sendiri saja sudah kalang kabut. Memangnya para pelaku dan pemain politik di internal PG, memang menunjukkan watak aslinya. Atau PG sengaja membuka diri bagi semua elemen masyarakat, tanpa ada persyaratan formal, persyaratan administrasi. Atau justru persyaratan tak tertulis yang menentukan. Mulai dari yang berani malu atau wani wirang, waton suloyo, wani mbengoké, édan tenan malah diandalkan menjadi kader utama PG. Rekam jejak oknum PG yang mampu ‘menyelesaikan kasus hukum tanpa hukum’, dielus-elus, digadang-gadang jadi puncak dan pucuk pimpinan PG. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar