Halaman

Sabtu, 20 Februari 2016

ketika korupsi sebagai tindak pidana, maka kolusi dan nepotisme sebagai tindak politik

ketika korupsi sebagai tindak pidana, maka kolusi dan nepotisme sebagai tindak politik

Mengacu UU RI 28/1999 tentang “Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepoisme”, melalui Pasal 1 menjelaskan :
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.       Penyelengga Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.       Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3.       Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
4.       Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
5.       Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Langkah nyata berikutnya adalah dengan ditetapkannya UU 30/2002 tentang “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Komisi yang dibentuk dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK.

Singkat kata, bahwa Pejabat Negara dalam sistem demokrasi dan pemerintahan secara de facto dan de jure adalah mereka kawanan parpolis peserta pesta demokrasi, semisal pileg, pilpres dan pilkada. Kontrak politik lima tahun menjadikan mereka seolah terbatas ruang gerak dan daya juangnya.

Untuk mendapatkan tiket masuk sebagai penyelenggara negara, bukan dibagi gratis atau disediakan di toko terdekat maupun bisa pesan secara online. Akhirnya, untuk bisa kembali modal biaya politik untuk meraih kursi Pejabat Negara, masih ada celah bernama kolusi dan nepotisme. Dalam praktiknya, kolusi dan nepotisme, adalah saudara kandung korupsi, menjadi satu ikatan keluarga bertajuk KKN.

Bentuk praktik modus operandi kolusi oleh kawanan parpolis yang sedang nangkring dan nongkrong sebagai Pejabat Negara adalah dengan melakukan permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang tidak merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara – tetapi menguntungkan bagi parpolnya.

Bentuk praktik modus operandi nepotisme oleh kawanan parpolis yang sedang nangkring dan nongkrong sebagai Pejabat Negara adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang tidak menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara – tetapi menguntungkan bagi parpolnya.

Pelaku tipikor dari kalangan penyelenggara negara yang notabene suruhan parpol, oknum kawanan elit dan pejabat teras partai, atau pihak tertentu yang merupakan perpanjangan tangan kepentingan partai, tidak  masuk kategori dosa politik. Politik sebagai cara, taktik, strategi maupun modus operandi bersifat netral sekaligus steril dari sanksi yuridis. Dosa politik hanya diterapkan pada sanksi loyalitas anggota partai kepada kebijakan partai.

Akhirnya, sinyalemen wong Jawa yaitu “Asu gedhé menang kerahé (tegesé wong gedhé lan nduwé panguwasa menang kuwasané). Terbukti dan ternyata nyata-nyata sekali nyatanya di éra mégatéga yang sarat dengan berbagai mégakasus. [HaeN] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar