ketika
korupsi sebagai tindak pidana, maka kolusi dan nepotisme sebagai tindak politik
Mengacu UU RI 28/1999
tentang “Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan
Nepoisme”, melalui Pasal 1 menjelaskan :
Dalam Undang-undang ini
yang dimaksud dengan :
1.
Penyelengga Negara adalah Pejabat Negara
yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain
yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Penyelenggara Negara yang bersih adalah
Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan
bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela
lainnya.
3.
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi.
4.
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama
secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara
Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
5.
Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara
Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Langkah nyata berikutnya
adalah dengan ditetapkannya UU 30/2002 tentang “Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi”. Komisi yang dibentuk dengan sebutan Komisi Pemberantasan
Korupsi atau disingkat menjadi KPK.
Singkat kata, bahwa Pejabat
Negara dalam sistem demokrasi dan pemerintahan secara de facto dan de
jure adalah mereka kawanan parpolis peserta pesta demokrasi, semisal pileg,
pilpres dan pilkada. Kontrak politik lima tahun menjadikan mereka seolah
terbatas ruang gerak dan daya juangnya.
Untuk mendapatkan tiket
masuk sebagai penyelenggara negara, bukan dibagi gratis atau disediakan di toko
terdekat maupun bisa pesan secara online. Akhirnya, untuk bisa kembali
modal biaya politik untuk meraih kursi Pejabat Negara, masih ada celah bernama
kolusi dan nepotisme. Dalam praktiknya, kolusi dan nepotisme, adalah saudara
kandung korupsi, menjadi satu ikatan keluarga bertajuk KKN.
Bentuk praktik modus
operandi kolusi oleh kawanan parpolis yang sedang nangkring dan nongkrong
sebagai Pejabat Negara adalah dengan melakukan permufakatan atau kerja sama secara melawan
hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak
lain yang tidak merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara – tetapi menguntungkan
bagi parpolnya.
Bentuk praktik modus
operandi nepotisme oleh kawanan parpolis yang sedang nangkring dan nongkrong
sebagai Pejabat Negara adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang tidak
menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara – tetapi menguntungkan bagi parpolnya.
Pelaku tipikor dari kalangan
penyelenggara negara yang notabene suruhan parpol, oknum kawanan elit dan
pejabat teras partai, atau pihak tertentu yang merupakan perpanjangan tangan kepentingan
partai, tidak masuk kategori dosa
politik. Politik sebagai cara, taktik, strategi maupun modus operandi bersifat
netral sekaligus steril dari sanksi yuridis. Dosa politik hanya diterapkan pada
sanksi loyalitas anggota partai kepada kebijakan partai.
Akhirnya,
sinyalemen wong Jawa yaitu “Asu gedhé menang kerahé” (tegesé wong gedhé lan nduwé panguwasa menang
kuwasané). Terbukti dan ternyata nyata-nyata sekali nyatanya
di éra mégatéga yang sarat dengan berbagai mégakasus. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar