Revisi UU KPK, Kebutuhan Hukum vs
Kepentingan Penguasa
Sejak ditetapkannya UU 30/2002 tentang “Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi”, khususnya Pasal 2, yaitu ada Komisi yang dibentuk
dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK,
kemanfaatan utama yang diharapkan adalah terwujudnya Penyelenggara
Negara yang bersih (adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum
penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme,
serta perbuatan tercela lainnya).
Ironisnya, banyak pihak yang
tersinggung dengan berbagai dalih yang malah membuktikan bahwa tindak pidana
korupsi (tipikor) sebagai mata pencaharian konstitusional, resmi, legal dan “direstui”
tetapi “tidak diketahui” oleh pucuk pimpinan. Dapat dilakuksan secara kolektif
kolegial. Beragamnya instansi yang menjadi langganan KPK, menjadikan KPK malah
sebagai musuh bersama. KPK sebagai penghalang, minimal batu sandungan jalannya
Revolusi Mental.
UU merupakan produk kolaborasi DPR
dengan Pemerintah. Jika materi, substansi ataupun nilai hukum sudah ketinggalan
zaman, memang patut ditinjau ulang. UU KPK seolah kalah cepat dengan modus
operandi pemain dan pelaku tipikor. Bak Densus 88 selalu kalah lihai dengan
teroris. Agar UU KPK tidak menjadi senjata makan tuan, tidak menjadi bumerang,
tidak menjadi alat jerat yang akan menjerat leher sendiri, tak heran jika DPR
memanfaatkan dengan optimal hak kelengkapan legislasinya untuk merevisi.
Yang mendasar, jika terjadi perubahan
UUD 1945, berdampak pada UU yang mengacunya, mengikutinya, maka UU dimaksud
dapat direvisi atau menetapkan UU baru dengan judul tetap.
Nilai hukum pun bukan harga mati,
karena harus dipadukan dengan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Apalagi jika materi, substansi diminimalisir, atau tepatnya
mengkebiri daya cegah tangkal KPK, sama saja memberi peluang bagi calon tipikor.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar