Halaman

Minggu, 21 Februari 2016

Revisi UU KPK, Kebutuhan Hukum vs Kepentingan Penguasa

Revisi UU KPK, Kebutuhan Hukum vs Kepentingan Penguasa

Sejak ditetapkannya UU 30/2002 tentang “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, khususnya Pasal 2, yaitu ada Komisi yang dibentuk dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK, kemanfaatan utama yang diharapkan adalah terwujudnya Penyelenggara Negara yang bersih (adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya).

Ironisnya, banyak pihak yang tersinggung dengan berbagai dalih yang malah membuktikan bahwa tindak pidana korupsi (tipikor) sebagai mata pencaharian konstitusional, resmi, legal dan “direstui” tetapi “tidak diketahui” oleh pucuk pimpinan. Dapat dilakuksan secara kolektif kolegial. Beragamnya instansi yang menjadi langganan KPK, menjadikan KPK malah sebagai musuh bersama. KPK sebagai penghalang, minimal batu sandungan jalannya Revolusi Mental.

UU merupakan produk kolaborasi DPR dengan Pemerintah. Jika materi, substansi ataupun nilai hukum sudah ketinggalan zaman, memang patut ditinjau ulang. UU KPK seolah kalah cepat dengan modus operandi pemain dan pelaku tipikor. Bak Densus 88 selalu kalah lihai dengan teroris. Agar UU KPK tidak menjadi senjata makan tuan, tidak menjadi bumerang, tidak menjadi alat jerat yang akan menjerat leher sendiri, tak heran jika DPR memanfaatkan dengan optimal hak kelengkapan legislasinya untuk merevisi.

Yang mendasar, jika terjadi perubahan UUD 1945, berdampak pada UU yang mengacunya, mengikutinya, maka UU dimaksud dapat direvisi atau menetapkan UU baru dengan judul tetap.

Nilai hukum pun bukan harga mati, karena harus dipadukan dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Apalagi jika materi, substansi diminimalisir, atau tepatnya mengkebiri daya cegah tangkal KPK, sama saja memberi peluang bagi calon tipikor. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar