Halaman

Sabtu, 13 Februari 2016

LGBT Nusantara, antara penyakit masyarakat dan keberpihakan Pemerintah

LGBT Nusantara, antara penyakit masyarakat dan keberpihakan Pemerintah

Singkat cerita, karena kasusnya belum dan tak akan selesai, saya coba memahami apa itu ‘penyakit masyarakat’. Apakah disebabkan oleh virus. Obat apa yang mujarab, manjur, cespleng dan tersedia di warung terdekat atau harus pesan secara online. Apakah kementerian kesehatan atau bahkan DPR sudah memberi peringatan dini akan bahaya ‘penyakit masyarakat’.

Ternyata ‘penyakit masyarakat’ menjadi bidang garap aparat keamanan, tepatnya Polisi. Bisa kita simak UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fokus pada penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.


Jika ada yang mempersoalkan tindak perilaku LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di Indonesia yang sedang naik daun, bak mendapat angin surga, seperti melawan arus. Arus budaya asing masuk bebas tanpa karantina, kemerdekaan memproklamirkan dan memamerkan jati diri, ditunjang kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, semakin memperkuat eksistensinya.

Ketika LGBT menjadi gaya hidup, gaul dan gengsi generasi muda, tak ayal gema, gaungnya – walau tanpa promo – merasuk sampai pojok kota dan sudut desa, menembus sampai ujung kota dan pinggir desa. Justru pemberitaan yang over dosis, tidak proporsional, menjadi promo gratis, menjadi kampanye gratis.

Artinya, LGBT tidak masuk kategori ‘penyakit masyarakat’, terlebih bagian dari HAM.

Lain Polri, lain halnya dengan daya tanggap pemerintah kabupaten/kota. Semisal dengan ditetapkan Perda Kabupaten Demak Nomor 2 tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat di Kabupaten Demak. Fokus pada Pasal 1 ayat 8 dan ayat 9, disuratkan :
8.     Penyakit masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan masyarakat dan merugikan masyarakat yang tidak sesuai dengan norma agama dan adat istiadat serta kesusilaan.
9.     Penanggulangan adalah serangkaian perbuatan atau tindakan untuk mencegah, merintangi, menolak, melarang dan memberantas sehingga tidak terjadi perilaku yang dikategorikan penyakit masyarakat.

Perda Kab Demak ini memang tidak mengacu pada UU 2/2002. Salah satu faktor pertimbangannya adalah bahwa penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan atau meresahkan masyarakat dan dapat merugikan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan gejolak sosial di Kabupaten Demak yang pada akhirnya dapat mengancam keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Peribahasa “lain lubuk, lain ikan”, di luar pulau Jawa, tepatnya di pulau Sumatera, telah ditetapkan Perda Kabupaten Kerinci Nomor 18 tahun 2012 tentang Pemberatasan Penyakit Masyarakat. Fokus pada Pasal 1 ayat 9 dan ayat 10, disuratkan :
9.     Penyakit masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan masyarakat dan merugikan masyarakat yang tidak sesuai dengan norma agama dan adat istiadat serta tata krama kesopanan.
10.   Pemberantasan adalah serangkaian perbuatan atau tindakan untuk mencegah, merintangi, menolak, melarang dan memberantas sehingga tidak terjadi perilaku yang dikategorikan penyakit masyarakat.

Perda Kab Kerinci ini juga tidak mengacu pada UU 2/2002. Salah satu faktor pertimbangannya adalah bahwa penyakit masyarakat merupakan hal atau perbuatan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan masyarakat dan dapat merugikan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan gejolak sosial di masyarakat yang pada akhirnya dapat mengancam ketentraman hidup bermasyarakat.

AYO PEMBACA.
Mengandalkan Pemerintah, Polri dan perangkat negara lainnya, isu LGBT semakin dibahas malah semakin bernas. Malah mendapat hati dan kursi. Apalagi menyangkut kepentingan dan konspirasi internasional, posisi Indonesia selain tidak mempunyai posisi tawar, juga tak dianggap.

Seminar luar biasa, atau bahkan fatwa semua agama, tak akan mempan membendung tumbuh kembangnya tindakan perlilaku LGBT.

Justru, kita serahkan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengambil langkah antisipatif dan langkah nyata lainnya. Penanggulangan/pemberantasan LGBT tidak bisa digeneralisir, kendati masuk kategori penyakit dunia, penyakit masyarakat internasional. Harus dilakukan serentak dari bawah. Pemerintah sudah super sibuk mengatur perilaku penyimpangan politik dan kehilangan orientasi politik Nusantara. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar