LGBT Nusantara, antara penyakit masyarakat dan keberpihakan Pemerintah
Singkat cerita, karena kasusnya belum dan tak akan selesai,
saya coba memahami apa itu ‘penyakit masyarakat’. Apakah disebabkan oleh virus.
Obat apa yang mujarab, manjur, cespleng dan tersedia di warung terdekat atau
harus pesan secara online. Apakah kementerian kesehatan atau bahkan DPR
sudah memberi peringatan dini akan bahaya ‘penyakit masyarakat’.
Ternyata ‘penyakit
masyarakat’ menjadi bidang garap aparat keamanan, tepatnya Polisi. Bisa kita
simak UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fokus pada penjelasan
Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang
dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan
pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika,
pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan
liar.
Jika
ada yang mempersoalkan tindak perilaku
LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di
Indonesia yang sedang naik daun, bak mendapat angin surga, seperti melawan
arus. Arus budaya asing masuk bebas tanpa karantina, kemerdekaan
memproklamirkan dan memamerkan jati diri, ditunjang kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, semakin memperkuat eksistensinya.
Ketika LGBT menjadi gaya hidup, gaul dan gengsi generasi
muda, tak ayal gema, gaungnya – walau tanpa promo – merasuk sampai pojok kota
dan sudut desa, menembus sampai ujung kota dan pinggir desa. Justru pemberitaan
yang over dosis, tidak proporsional, menjadi promo gratis, menjadi kampanye
gratis.
Artinya, LGBT tidak masuk kategori ‘penyakit masyarakat’, terlebih
bagian dari HAM.
Lain Polri, lain halnya dengan daya tanggap pemerintah
kabupaten/kota. Semisal dengan ditetapkan Perda Kabupaten Demak Nomor 2 tahun 2015 tentang Penanggulangan
Penyakit Masyarakat di Kabupaten Demak. Fokus pada Pasal 1 ayat 8 dan ayat 9,
disuratkan :
8.
Penyakit
masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan masyarakat dan
merugikan masyarakat yang tidak sesuai dengan norma agama dan adat istiadat
serta kesusilaan.
9.
Penanggulangan
adalah serangkaian perbuatan atau tindakan untuk mencegah, merintangi, menolak,
melarang dan memberantas sehingga tidak terjadi perilaku yang dikategorikan
penyakit masyarakat.
Perda Kab Demak ini memang
tidak mengacu pada UU 2/2002. Salah satu faktor pertimbangannya adalah bahwa penyakit masyarakat merupakan perbuatan
yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan atau meresahkan
masyarakat dan dapat merugikan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan gejolak
sosial di Kabupaten Demak yang pada akhirnya dapat mengancam keamanan dan
ketertiban di masyarakat.
Peribahasa “lain lubuk, lain ikan”, di luar pulau Jawa,
tepatnya di pulau Sumatera, telah ditetapkan Perda Kabupaten Kerinci Nomor 18 tahun 2012 tentang
Pemberatasan Penyakit Masyarakat. Fokus pada Pasal 1 ayat 9 dan ayat 10,
disuratkan :
9.
Penyakit
masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan masyarakat dan
merugikan masyarakat yang tidak sesuai dengan norma agama dan adat istiadat
serta tata krama kesopanan.
10.
Pemberantasan
adalah serangkaian perbuatan atau tindakan untuk mencegah, merintangi, menolak,
melarang dan memberantas sehingga tidak terjadi perilaku yang dikategorikan
penyakit masyarakat.
Perda Kab Kerinci ini
juga tidak mengacu pada UU 2/2002. Salah satu faktor pertimbangannya adalah bahwa penyakit masyarakat merupakan hal atau
perbuatan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan
masyarakat atau meresahkan masyarakat dan dapat merugikan masyarakat, sehingga
dapat menimbulkan gejolak sosial di masyarakat yang pada akhirnya dapat mengancam
ketentraman hidup bermasyarakat.
AYO PEMBACA.
Mengandalkan Pemerintah, Polri dan perangkat negara
lainnya, isu LGBT semakin dibahas malah semakin bernas. Malah mendapat hati dan
kursi. Apalagi menyangkut kepentingan dan konspirasi internasional, posisi
Indonesia selain tidak mempunyai posisi tawar, juga tak dianggap.
Seminar luar biasa, atau bahkan fatwa semua agama, tak
akan mempan membendung tumbuh kembangnya tindakan perlilaku LGBT.
Justru, kita serahkan kepada pemerintah kabupaten/kota
untuk mengambil langkah antisipatif dan langkah nyata lainnya. Penanggulangan/pemberantasan
LGBT tidak bisa digeneralisir, kendati masuk kategori penyakit dunia, penyakit
masyarakat internasional. Harus dilakukan serentak dari bawah. Pemerintah sudah
super sibuk mengatur perilaku penyimpangan politik dan kehilangan orientasi
politik Nusantara. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar