Ketika Allah Menggerakkan Hatiku
Saking murahnya olah raga jalan kaki, sehingga berjalan di trotoar
tidak nyaman. Bahkan berjalan di bahu jalan, samping got, bisa kesenggol spion
motor. Belum terhitung klakson motor yang mau menyalip.
Jalan kaki ada aturan mainnya, ada SOP, ada ilmunya. Bukan sekedar
melangkahkan kaki sejauh jarak tertentu. Bukan sekedar mengikuti ajakan kaki
tanpa tujuan yang jelas. Jalan kaki di pagi hari, udara belum berpolusi dan
terkontaminasi asap knalpot, debu, menguatkan fungsi dan kinerja jantung serta
paru-paru. Jalan siang meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh, melawan terik
matahari.
Saya sebagai pejalan kaki jarak sedang (5 s.d 10 km) untuk menuju
lokasi berbagai keperluan, banyak pengalaman yang terserap, terekam dan menjadi
bahan evaluasi dan masukan ke langkah berikutnya.
Menghindari kejenuhan saat jalan kaki, saya coba dengan berdo’a,
dzikir atau shalawat. Semua langkah sambil mengatur nafas liwat hidung. Sambil
jalan melatih kepekaan adab berlalu lintas, mempelajari pola perilaku pengguna
jalan. Tak jarang di persimpangan jalan, pejalan kaki mau liwat saja susah.
Sore itu, saya jalan kaki zig-zag di komplek tempat tinggal. Hitung-hitung
kalau sampai gerbang masuk komplek sudah 1 km. Sampai depan perumahan, iseng
menyeberang ke ATM di dalam toko. Seperti ada yang menggerakan hati, ambil uang
biru, selembar saja. Pulang cepat, semakin sore jelang senja. Pas sampai rumah,
ada tetangga menunggu beberapa rumah. Saya sampai rumah langsung mendekat.
Omong punya omong, beliau (jauh lebih tua dari saya) mau pinjam uang buat beli
air. Menyebutkan jumlah dan pas sesuai dengan uang yang baru saja saya ambil di
ATM. Artinya uang di dompet belum sempat masuk rumah.
Sore dihari berbeda tentunya, rutintas jalan sore, karena belum
sempat jalan pagi ataupun jalan siang, sesuai anjuran dosis sehari sekali. Kaki
mengajak ke toko yang sama, cuma ambil Rp, tidak belanja. Kali ini ambil 2
lembar uang biru. Bergegas pulang karena jelang maghrib dan mendung. Beberapa
menit usai tutup pintu kamar tamu, ada suara salam. Tetangga datang, aktivis
masjid, tepatnya marbot. Sudah akrab sebagai tetangga maupun di masjid, ybs mau
pinjam uang, gas habis tidak terbeli. Alhamdulillah, terjawab sudah teka-teki
hati, mengapa harus tarik tunai 2 lembar uang biru. Segera uang saya serahkan,
bukan pinjaman, bagi rezeki.
Karena semua langkahku dan tindakanku atas kehendak-Nya.
Bersyukur, memang saya tidak pegang uang, bukan tidak punya uang.
Butuh, tinggal angkat kaki ke ATM terdekat, minimal p.p 2 km lebih.
Membayangkan, ada orang butuh uang harus tunggu gajian. Terpaksa cari pinjaman
atau hutangan. Kalau jumlah relatif kecil bisa ke tetangga. Kalau jumlah cukup
besar? Atau kalau kedatangan tukang tagih hutang, tukang kredit.
Bukan berarti saya tak pernah, saat butuh uang, harus tunggu
pensiun di awal bulan berikutnya.
Jalan kaki walau saya lakukan dengan cepat, pokoknya bukan jalan santai,
jika ada suku cadang tercecer saya pungut. Tak terkecuali uang logam, yang
sudah tak berbentuk tetap diambil. Bersyukur bisa dapat uang logam seribu
rupiah.
Pagi
itu saya jalan kaki di jalan raya rute ke kantor saat masih dinas. Entah nuansa
apa yang merasuki dan bergejolak dipikiran. Persediaan beras khusus manula sekali
tanak tidak cukup. Berjalan seperti tidak berjalan, seolah kaki tidak menapak.
Terasa lelah, balik kanan menyeberang jalan, pulang. Langkah tetap cepat, nafas
tetap teratur. Tinggal melangkah kaki pulang. Kepala menunduk menatap matahari
pagi. Tiba-tiba mata tertuju pada lipatan kecil kertas biru. Iseng kuambil. Selembar
uang biru. Bersyukur, sambil mata waspada, siapa tahu jebakan. Sebelum sampai
komplek, mampir pasar. Terbelilah beras khus manula. Hati tersenyum dan
bersyukur. Besok bisa tanak beras “temuan”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar