Halaman

Rabu, 03 Februari 2016

Ketika Allah Menggerakkan Hatiku

Ketika Allah Menggerakkan Hatiku

Saking murahnya olah raga jalan kaki, sehingga berjalan di trotoar tidak nyaman. Bahkan berjalan di bahu jalan, samping got, bisa kesenggol spion motor. Belum terhitung klakson motor yang mau menyalip.

Jalan kaki ada aturan mainnya, ada SOP, ada ilmunya. Bukan sekedar melangkahkan kaki sejauh jarak tertentu. Bukan sekedar mengikuti ajakan kaki tanpa tujuan yang jelas. Jalan kaki di pagi hari, udara belum berpolusi dan terkontaminasi asap knalpot, debu, menguatkan fungsi dan kinerja jantung serta paru-paru. Jalan siang meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh, melawan terik matahari.

Saya sebagai pejalan kaki jarak sedang (5 s.d 10 km) untuk menuju lokasi berbagai keperluan, banyak pengalaman yang terserap, terekam dan menjadi bahan evaluasi dan masukan ke langkah berikutnya.

Menghindari kejenuhan saat jalan kaki, saya coba dengan berdo’a, dzikir atau shalawat. Semua langkah sambil mengatur nafas liwat hidung. Sambil jalan melatih kepekaan adab berlalu lintas, mempelajari pola perilaku pengguna jalan. Tak jarang di persimpangan jalan, pejalan kaki mau liwat saja susah.

Sore itu, saya jalan kaki zig-zag di komplek tempat tinggal. Hitung-hitung kalau sampai gerbang masuk komplek sudah 1 km. Sampai depan perumahan, iseng menyeberang ke ATM di dalam toko. Seperti ada yang menggerakan hati, ambil uang biru, selembar saja. Pulang cepat, semakin sore jelang senja. Pas sampai rumah, ada tetangga menunggu beberapa rumah. Saya sampai rumah langsung mendekat. Omong punya omong, beliau (jauh lebih tua dari saya) mau pinjam uang buat beli air. Menyebutkan jumlah dan pas sesuai dengan uang yang baru saja saya ambil di ATM. Artinya uang di dompet belum sempat masuk rumah.

Sore dihari berbeda tentunya, rutintas jalan sore, karena belum sempat jalan pagi ataupun jalan siang, sesuai anjuran dosis sehari sekali. Kaki mengajak ke toko yang sama, cuma ambil Rp, tidak belanja. Kali ini ambil 2 lembar uang biru. Bergegas pulang karena jelang maghrib dan mendung. Beberapa menit usai tutup pintu kamar tamu, ada suara salam. Tetangga datang, aktivis masjid, tepatnya marbot. Sudah akrab sebagai tetangga maupun di masjid, ybs mau pinjam uang, gas habis tidak terbeli. Alhamdulillah, terjawab sudah teka-teki hati, mengapa harus tarik tunai 2 lembar uang biru. Segera uang saya serahkan, bukan pinjaman, bagi rezeki.

Karena semua langkahku dan tindakanku atas kehendak-Nya.

Bersyukur, memang saya tidak pegang uang, bukan tidak punya uang. Butuh, tinggal angkat kaki ke ATM terdekat, minimal p.p 2 km lebih. Membayangkan, ada orang butuh uang harus tunggu gajian. Terpaksa cari pinjaman atau hutangan. Kalau jumlah relatif kecil bisa ke tetangga. Kalau jumlah cukup besar? Atau kalau kedatangan tukang tagih hutang, tukang kredit.

Bukan berarti saya tak pernah, saat butuh uang, harus tunggu pensiun di awal bulan berikutnya.

Jalan kaki walau saya lakukan dengan cepat, pokoknya bukan jalan santai, jika ada suku cadang tercecer saya pungut. Tak terkecuali uang logam, yang sudah tak berbentuk tetap diambil. Bersyukur bisa dapat uang logam seribu rupiah.

Pagi itu saya jalan kaki di jalan raya rute ke kantor saat masih dinas. Entah nuansa apa yang merasuki dan bergejolak dipikiran. Persediaan beras khusus manula sekali tanak tidak cukup. Berjalan seperti tidak berjalan, seolah kaki tidak menapak. Terasa lelah, balik kanan menyeberang jalan, pulang. Langkah tetap cepat, nafas tetap teratur. Tinggal melangkah kaki pulang. Kepala menunduk menatap matahari pagi. Tiba-tiba mata tertuju pada lipatan kecil kertas biru. Iseng kuambil. Selembar uang biru. Bersyukur, sambil mata waspada, siapa tahu jebakan. Sebelum sampai komplek, mampir pasar. Terbelilah beras khus manula. Hati tersenyum dan bersyukur. Besok bisa tanak beras “temuan”. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar