meraih sisa mimpi demokrasi
Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, menjelaskan lema ‘dekorasi’
sebagai berikut :
demokrasi /démokrasi/ n Pol 1 (bentuk atau
sistem) pemerintahan yg segenap rakyat turut serta memerintah dng perantaraan wakil-wakilnya;
pemerintahan rakyat; 2 gagasan atau pandangan hidup yg mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yg sama bagi semua warga negara.
Walhasil,
terbukti nyata terang-benderang bahwa makna demokrasi hanya bisa dicerna dengan
bahasa politik. Posisi rakyat maupun warga negara tampak sebagai unsur
pembentuk demokrasi.
Bahasa
politik katanya sebagai bahasa diplomasi. Bahasa basa-basi. Bahasa dewa. Bahasa
awang-awang. Demokrasi bersifat dinamis, sehingga selalu terjadi perubahan. Antara
rumusan di atas kertas, beda jauh dengan kejadian perkara di lapangan. Bahasa
politik melahirkan janji politik yang secara moral tidak bisa dikenai sanksi
apapun, tidak bisa dipidana.
Apa yang dimaksud dengan ‘rakyat’? Iseng saya buka Kamus Tesaurus Pusat
Bahasa, Depdiknas 2008, ternyata ada lawan kata (ant=antonim) dari kata
‘rakyat’, yaitu :
priayi
n adiwangsa,
aristokrat, bangsawan, darah biru, menak, ningrat, permasan; ant
rakyat.
Kamus
Tesaurus mengartikan lema ‘demokrasi’ hanya dengan satu pengertian, yaitu :
demokrasi n kerakyatan
Terwujudnya,
tegaknya praktik demokrasi, tergantung otak, nalar, logika politik yang merasuki
pelaku demokrasi Indonesia. Pelaku demokrasi didominasi kawanan parpolis yang
sedang magang sebagai penyelenggara negara selama satu periode, sesebentar lima
tahun. Demokrasi memang bukan harga mati, tetapi Indonesia tetap wajib
menegakkan demokrasi versi manapun.
Penentuan
juara umum pada pesta demokrasi hanya mengandalkan jumlah, banyaknya,
kuantitas, bukan pada kualitas. Masih ingat coretan kata asu gedhé menang kerahé, tegesé wong gedhé lan nduwé panguwasa menang kuwasané.
Akhirnya, demokrasi
hanya menjadi permainan politik penguasa. Rakyat hanya sebagai obyek demokrasi.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar