jadikan KPK musuh bersama (penyelenggara negara)
Apa
kata dunia! cuplikan jargon
pariwara yang menjadi andalan Indonesia sebagai patokan untuk menjaga imej, mempertahankan
citra, membangun gengsi di mata dunia. Investor asing hengkang
dari Nusantara gara-gara pekerja/buruh punya agenda tetap, terbuka yaitu melakukan
unjuk rasa dan unjuk raga. Bangga karena harga BBM masih murah dibanding negara
lain. Akhirnya, semua tadi menjadi faktor penentu penetapan kebijakan
pemerintah. Membuka diri terhadap arus masuk TKA. Budaya asing, termasuk
perilaku LGBT, nyelonong masuk tanpa permisi.
Soal peringkat sebagai negara berkorupsi, tidak jadi
soal. Hanya masalah survei, bisa dilawan dengan survei tandingan. Pelaku
tipikor menjadi tamu istimewa di rumah tahanan, atau apa pun sebutannya,
menjadi tamu VVIP. Koruptor di negara lain bisa potong kepala, minimal potong
tangan. Koruptor di Indonesia potong masa tahananya. Jangan disangkal kalau
koruptor tidak ada atau bahkan tidak banyak jasanya bagi kehidupan partai
politik pengusungnya.
Episode Buaya vs
Cicak semangkin membuktikan bahwa KPK sebagai musuh hukum. Sebagai awal
dilakukannya babad orang secara institusional, konstitusional, legal dengan
dasar semangat kolektif kolegial. Semangkin mendudukkan daripada pelaku korup
sebagai pahlawan ideologi. Toh negara tak akan bangkrut atau pembangunan
menjadi mangkrak. Idem di daerah provinsi maupun sampai tingkat kelurahan/desa.
Kalau bukan institusi melalui pimpinan KPK yang
diobok-obok, Plan B adalah dengan memberi wewenang lebih akan tugas dan fungsi
KPK. Walhasil terjadi revisi UU 30/2002 tentang “Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” yang dikenal dengan sebutan KPK.
Fakta bahwa
operasi tangkap tangan oleh KPK, selain menurunkan martabat Indonesia di mata
dunia, juga bukan sikap etis, seperti menangkap basah pasangan bukan suami
isteri sedang berlaku mesum di losmen klas melati oleh Satpol PP. Atau oknum
penyelenggara di tunggu apesnya atau ditunggu jatuh temponya baru “digerebek” oleh KPK.
Tidak ada alasan
yuridis formal UU KPK perlu ditinjau ulang atau disempurnakan sesuai
perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum, khususnya dampak dari perubahan UUD
1945.
Indonesia sebagai
bangsa timur yang sarat dengan budaya adiluhung, memang harus “mikul sing
duwur, mendem sing jero”atau menghargai penyelenggara
negara yang sedang sibuk menyelesaikan masa bhaktinya. Jangan diotak-atik,
dikorek-korek boroknya. Beri kesempatan sampai ada pengganti atau penerusnya.
Apa
kata Ketua DPR RI!
Begini ceritanya :
Senin,
22 Februari 2016, 11:57 WIB
Ketua DPR:
Hak Ketua KPK Jika Ingin Mundur
Red:
Esthi Maharani
Republika/Agung
Supriyanto
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR Ade
Komaruddin mengatakan institusinya menghormati sikap pimpinan KPK terkait
rencana revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Ia hanya menegaskan revisi
itu tidak akan melenceng dari empat poin yang disepakati.
"Itu hak beliau (Ketua KPK Agus Rahardjo mengancam mundur), tentu kami hormati sikap beliau tersebut," katanya, Senin (22/2).
Dia mengatakan sikap Ketua KPK merupakan hak pribadi yang bersangkutan, namun ia mengingatkan revisi UU KPK tidak akan melenceng dari empat poin yaitu dibentuknya dewan pengawas KPK, mengeluarkan SP3, mengangkat penyelidik, penyidik dan penuntut umum, serta pengaturan penyadapan oleh KPK.
Menurut dia, empat poin itu sebenarnya sudah disetujui oleh DPR, pemerintah dan institusi KPK untuk dimasukkan dalam revisi UU KPK.
"Saya yakini revisi tidak akan melenceng dari yang diniatkan semua yaitu tidak lebih lebih atau kurang yaitu 4 hal, baik dari pemerintah maupun DPR, maupun institusi KPK," ujarnya.
Dia mengatakan, dua kali Rapat Pimpinan Fraksi pengganti Badan Musyawarah DPR sepakat merevisi UU KPK untuk penguatan institusi KPK, bukan melemahkan.
Dia menilai draf revisi UU KPK yang ada saat ini bukan kesepakatan pemerintah dengan DPR namun pemerintah dengan KPK dan itu bisa saja ada perubahan redaksional, termasuk substansi.
"Kalau tidak sesuai dengan empat poin itu tidak dilanjutkan maka tidak masalah. Besok (Selasa, 23/2) itu kan diketuk inisiatif dan itu ruu, bukan uu sendiri, pembahasan UU itu dilakukan Presiden dengan DPR," katanya.
(Baca juga: Bahas Revisi UU,
Ketua KPK Temui
Jokowi)
Sumber
: antara
ARTINYA
Komentar atau ucapan oknum Ketua DPR, pasti keluar dari
proses dan kendali hati. Rekam jejak sebagai kader tulen partai golkar, jangan
dipolitisasi atau dijadikan bahan dialog, diskusi, debat di acara, adegan,
atraksi layar kaca berbayar.
Di balik bahasa tutur, bahasa lisan oknum Ketua DPR sudah
menyuratkan dan menyiratkan Indonesia tidak perlu jaga imej di mata dunia.
Bahkan Indonesia mampu membuat mahzab baru dalam berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Indonesia sudah tidak bisa didikte lagi oleh kekuatan dan
kepentingan asing.
Indonesia sebagai bangsa besar harus mampu menghargai
jasa para pahlawannya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar