menakar kadar pe-revolusi mental Nusantara, pancasilais
vs reformis
Konon, menurut sinyalemen
para pemerhati sejarah, di éra mégatéga yang sesak, padat, masif dengan berbagai elemen mégakasus, semangkin susah bahkan nyaris langka didapatkan, diperoleh,
ditemui sosok pancasilais. Terlebih yang memakai embel-embel pancasilais
sejati, pancasilais paripurna, ataupun pancasilais cespleng. Kendati anak SD
hafal lagu ‘Garuda Pancasila’.
Konon, pelaku dan pemain politik, baik yang sedang nangkring dan nongkrong
sebagai penyelenggara negara ataupun yang sedang antri, mereka malu dan tahu
diri untuk tidak mau disebut sebagai pancasilais. Mereka merasa terbebani siang
malam dengan beban moral jika dibilang pancasilais. Sangkaan, dakwaan, tuduhan
sebagai reformis, mereka pun tak sanggup untuk menyandangnya. Apalagi dengan
embel-embel sebagai reformis tanpa pamrih, reformis pro-rakyat. Kalau dibilang reformis aji mumpung vs mumpung
aji, mereka pada umumnya tidak bisa menolak dalam hati. Dan inilah
satu-satunya mereka seolah menggunakan hati. Kesehariannya mengandalkan syahwat
politik.
Konon, pe-revolusi mental se Nusantara, diaduk jadi satu dalam satu wadah
atau ditarik kesimpulan ke atas, sampai masuk kategori, strata, kasta, kadar
negarawan, malah semakin jauh. Padahal, kawanan parpolis sampai ada yang beranak-pinak
sarat dengan rekam jejak yang sulit dibandingi, yang susah disandingi apalagi ditandingi.
Mereka tampaknya gemar berjubel disekitar “kue nasional”, cenderung suka berkutat
diseputar “gula Nusantara”. Fokus dan konsentrasi mereka pada hajat pesta
demokrasi nasional maupun daerah, waspada bancakan kursi, singgasana, tahta.
Konon, hasil survei sejarah semangkin membuktikan, kadar pe-revolusi mental
walau “wis édan tenan, tetep ora keduman”, tetap eksis, berkibar
dan berani malu.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar