Halaman

Selasa, 16 Februari 2016

menakar kadar pe-revolusi mental Nusantara, pancasilais vs reformis

menakar kadar pe-revolusi mental Nusantara, pancasilais vs reformis

Konon, menurut sinyalemen para pemerhati sejarah, di éra mégatéga yang sesak, padat, masif dengan berbagai elemen mégakasus, semangkin susah bahkan nyaris langka didapatkan, diperoleh, ditemui sosok pancasilais. Terlebih yang memakai embel-embel pancasilais sejati, pancasilais paripurna, ataupun pancasilais cespleng. Kendati anak SD hafal lagu ‘Garuda Pancasila’.

Konon, pelaku dan pemain politik, baik yang sedang nangkring dan nongkrong sebagai penyelenggara negara ataupun yang sedang antri, mereka malu dan tahu diri untuk tidak mau disebut sebagai pancasilais. Mereka merasa terbebani siang malam dengan beban moral jika dibilang pancasilais. Sangkaan, dakwaan, tuduhan sebagai reformis, mereka pun tak sanggup untuk menyandangnya. Apalagi dengan embel-embel sebagai reformis tanpa pamrih, reformis pro-rakyat. Kalau dibilang reformis aji mumpung vs mumpung aji, mereka pada umumnya tidak bisa menolak dalam hati. Dan inilah satu-satunya mereka seolah menggunakan hati. Kesehariannya mengandalkan syahwat politik.

Konon, pe-revolusi mental se Nusantara, diaduk jadi satu dalam satu wadah atau ditarik kesimpulan ke atas, sampai masuk kategori, strata, kasta, kadar negarawan, malah semakin jauh. Padahal, kawanan parpolis sampai ada yang beranak-pinak sarat dengan rekam jejak yang sulit dibandingi, yang susah disandingi apalagi ditandingi. Mereka tampaknya gemar berjubel disekitar “kue nasional”, cenderung suka berkutat diseputar “gula Nusantara”. Fokus dan konsentrasi mereka pada hajat pesta demokrasi nasional maupun daerah, waspada bancakan kursi, singgasana, tahta.

Konon, hasil survei sejarah semangkin membuktikan, kadar pe-revolusi mental walau wis édan tenan, tetep ora keduman”, tetap eksis, berkibar dan berani malu.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar