tipikor, hak konstitusional
penyelenggara negara
Sudah kehendak, suratan dan takdir sejarah, bahwa nasib
perjalanan hidup bangsa dan negara Indonesia seolah di tangan ambisi dan energi
partai politik (parpol). Biaya politik, mahar politik, NPWP (nomer piro wani
piro), atau sebutan lainnya, bukannya tanpa dampak, bahkan multi efek.
Perjalanan hidup dan babakan kehidupan bangsa, negara dan masyarakat
Indonesia, sejak tahun 2004 ketika presiden dipilih langsung oleh rakyat serta
foto wakil rakyat ditusuk langsung oleh pemilih pada saat pilpres dan pileg, demokrasi
Indonesia sudah tidak remang-remang, tersegmentasi dalam periode lima tahunan.
Tak salah jika rangkaian sejarah diramu, dirakit, diformat serta dibentuk, ditentukan
oleh kinerja, kontribusi dan kiprah partai politik peserta pesta demokrasi.
Bahasa
politik katanya sebagai bahasa diplomasi. Bahasa basa-basi. Bahasa dewa. Bahasa
awang-awang. Demokrasi bersifat dinamis, sehingga selalu terjadi perubahan.
Antara rumusan di atas kertas, beda jauh dengan kejadian perkara di lapangan.
Bahasa politik melahirkan janji politik yang secara moral tidak bisa dikenai
sanksi apapun, tidak bisa dipidana.
Petarung di
industri, panggung, syahwat politik hanya mempunyai satu niat dan tekad yaitu
siap menang. Berbagai rintisan dilakoni, baik yang instan atau mulai menapak
dari kompetisi klas kampung. Dinasti politik menjadikan persaingan sebagai
arisan politik. Kalkulasi politik di tingkat pusat, pasca pemilu legislatif 9
April 2014 terlebih pasca pilpres 9 Juli 2014, tanpa survei pun sudah bisa
ditebak akan terjadi koalisi antar parpol pemegang komando di parlemen,
pembagian komisi di DPR, yang sesuai suratan sejarah politik akan berakhir
dengan korupsi.
Skala, kadar,
posisi, porporsi, komposisi politik apa yang sedang beredar di éra mégatéga, fase mégakasus ini, apakah politik kebangsaan, politik kerakyatan,
politik nasionalisme, atau politik pesanan bandar pesta demokrasi 2014,
khususnya konspirasi legal internasional. Dampaknya malah membuktikan, hal-hal
yang menjadi musuh rakyat (belum masuk kategori menggerogoti dari dalam), malah
menjadi bagian resmi dari pemerintah, atau jangan-jangan malah bagian tak resmi dari
“kebijakan pemerintah” sebagai upaya mencapai asas berkehidupan yang layak. Khususnya dan terutama tindak pidana korupsi (tipikor)
Benang merah demokrasi sejak
tahun 2004, dengan jelas menunjukkan praktik politik kekuasaan. Pemain dan
pelaku lama, yang haus kekuasaan, tanpa sungkan, tanpa malu, tanpa tedeng aling-aling,
maju lagi, maju lagi, maju lagi. Tokoh dan sosok muda, pendatang, ternyata
tidak tahan godaan dan rajuan dunia, mereka terjegal dan terjagal pasal tipikor
atau tindak pidana lainnya. Ada yang baru muncul menikmati kursi empuk wakil
rakyat, kepala daerah atau bagian dari penyelenggara negara, tahu-tahu terkena
operasi tangkap tangan atau kegebuk gada KPK setelah pasca periodenya.
Pelaku
tipikor dari kalangan penyelenggara negara yang notabene suruhan parpol, oknum
kawanan elit dan pejabat partai, atau pihak tertentu yang merupakan
perpanjangan tangan kepentingan partai, tidak
masuk kategori dosa politik. Politik sebagai cara, taktik, strategi
maupun modus operandi bersifat netral sekaligus steril dari sanksi yuridis.
Dosa politik hanya diterapkan pada sanksi loyalitas anggota partai kepada
kebijakan partai.
Langkah
kedepan Jokowi-JK, khususnya Jokowi, sangat tergantung restu jurus
pengharu-rasa, atau asal masih di koridor garis komando, kendali, kontrol
bandar politik non-lokal. Politik santun, senyum akting yang dipraktikkan
pelaku politik hanya untuk membungkus agar tipikor naik derajat menjadi politik
bina usaha, politik galang dana, politik jaring Rp. Sangat dimungkinkan
dilakukan oleh pengurus parpol yang rangkap jabatan di penyelenggara negara,
sehingga ada benang merahnya.
Kerasukan, kerakusan pelaku politik
untuk mengkuras
APBN/APBD merupakan bagian integral dari kebijakan partai politik, jelas bukan
dosa politik. Bisa-bisa bisa menjadi lagu wajib. UU KPK bersifat dinamis,
jangan sampai menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang, menjerat leher
sendiri. Muatan UU KPK harus mampu mengakomodir kepentingan politik, selera
politik serta sebagai sabuk pengaman oknum penyelengara negara yang sedang
melakoni kontrak politik lima tahun.
Indonesia boleh bangga, mungkin
menjadi satu-satunya negara di ASEAN, terjadi konflik Cicak vs Buaya secara
serial, bersambung antar periode. Bayangkan, aparat keamanan, hamba hukum
merasa risih dengan adanya KPK. Bukannya menempatkan diri secara terpadu, sistematis,
sinergis dalam ranah penegakan hukum. Bisa-bisa, bahka bisa terjadi bahwa
tipikor menjadi soko guru Revolusi Mental.
Bukan
berarti (pimpinan) KPK seperiode 2015-2019 hasil uji kepatutan dan kelayakan oleh
DPR RI menjadi kawan seiring, teman seperjuangan, sahabat sependeritaan, kolega
senasib sepenanggungan dengan kawanan parpolis berlabel koalisi partai
pendukung pemerintah (KP3) atau dikenal dengan sebutan koalisi pro-pemerintah.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar