Halaman

Jumat, 19 Februari 2016

tipikor, hak konstitusional penyelenggara negara

tipikor, hak konstitusional penyelenggara negara

Sudah kehendak, suratan dan takdir sejarah, bahwa nasib perjalanan hidup bangsa dan negara Indonesia seolah di tangan ambisi dan energi partai politik (parpol). Biaya politik, mahar politik, NPWP (nomer piro wani piro), atau sebutan lainnya, bukannya tanpa dampak, bahkan multi efek.

Perjalanan hidup dan babakan kehidupan bangsa, negara dan masyarakat Indonesia, sejak tahun 2004 ketika presiden dipilih langsung oleh rakyat serta foto wakil rakyat ditusuk langsung oleh pemilih pada saat pilpres dan pileg, demokrasi Indonesia sudah tidak remang-remang, tersegmentasi dalam periode lima tahunan. Tak salah jika rangkaian sejarah diramu, dirakit, diformat serta dibentuk, ditentukan oleh kinerja, kontribusi dan kiprah partai politik peserta pesta demokrasi.

Bahasa politik katanya sebagai bahasa diplomasi. Bahasa basa-basi. Bahasa dewa. Bahasa awang-awang. Demokrasi bersifat dinamis, sehingga selalu terjadi perubahan. Antara rumusan di atas kertas, beda jauh dengan kejadian perkara di lapangan. Bahasa politik melahirkan janji politik yang secara moral tidak bisa dikenai sanksi apapun, tidak bisa dipidana.

Petarung di industri, panggung, syahwat politik hanya mempunyai satu niat dan tekad yaitu siap menang. Berbagai rintisan dilakoni, baik yang instan atau mulai menapak dari kompetisi klas kampung. Dinasti politik menjadikan persaingan sebagai arisan politik. Kalkulasi politik di tingkat pusat, pasca pemilu legislatif 9 April 2014 terlebih pasca pilpres 9 Juli 2014, tanpa survei pun sudah bisa ditebak akan terjadi koalisi antar parpol pemegang komando di parlemen, pembagian komisi di DPR, yang sesuai suratan sejarah politik akan berakhir dengan korupsi.

Skala, kadar, posisi, porporsi, komposisi politik apa yang sedang beredar di  éra mégatéga, fase mégakasus ini, apakah politik kebangsaan, politik kerakyatan, politik nasionalisme, atau politik pesanan bandar pesta demokrasi 2014, khususnya konspirasi legal internasional. Dampaknya malah membuktikan, hal-hal yang menjadi musuh rakyat (belum masuk kategori menggerogoti dari dalam), malah menjadi bagian resmi dari pemerintah, atau jangan-jangan malah bagian tak resmi dari “kebijakan pemerintah” sebagai upaya mencapai asas berkehidupan yang layak. Khususnya dan terutama tindak pidana korupsi (tipikor)

Benang merah demokrasi sejak tahun 2004, dengan jelas menunjukkan praktik politik kekuasaan. Pemain dan pelaku lama, yang haus kekuasaan, tanpa sungkan, tanpa malu, tanpa tedeng aling-aling, maju lagi, maju lagi, maju lagi. Tokoh dan sosok muda, pendatang, ternyata tidak tahan godaan dan rajuan dunia, mereka terjegal dan terjagal pasal tipikor atau tindak pidana lainnya. Ada yang baru muncul menikmati kursi empuk wakil rakyat, kepala daerah atau bagian dari penyelenggara negara, tahu-tahu terkena operasi tangkap tangan atau kegebuk gada KPK setelah pasca periodenya.

Pelaku tipikor dari kalangan penyelenggara negara yang notabene suruhan parpol, oknum kawanan elit dan pejabat partai, atau pihak tertentu yang merupakan perpanjangan tangan kepentingan partai, tidak  masuk kategori dosa politik. Politik sebagai cara, taktik, strategi maupun modus operandi bersifat netral sekaligus steril dari sanksi yuridis. Dosa politik hanya diterapkan pada sanksi loyalitas anggota partai kepada kebijakan partai.

Langkah kedepan Jokowi-JK, khususnya Jokowi, sangat tergantung restu jurus pengharu-rasa, atau asal masih di koridor garis komando, kendali, kontrol bandar politik non-lokal. Politik santun, senyum akting yang dipraktikkan pelaku politik hanya untuk membungkus agar tipikor naik derajat menjadi politik bina usaha, politik galang dana, politik jaring Rp. Sangat dimungkinkan dilakukan oleh pengurus parpol yang rangkap jabatan di penyelenggara negara, sehingga ada benang merahnya.

Kerasukan, kerakusan pelaku politik untuk mengkuras APBN/APBD merupakan bagian integral dari kebijakan partai politik, jelas bukan dosa politik. Bisa-bisa bisa menjadi lagu wajib. UU KPK bersifat dinamis, jangan sampai menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang, menjerat leher sendiri. Muatan UU KPK harus mampu mengakomodir kepentingan politik, selera politik serta sebagai sabuk pengaman oknum penyelengara negara yang sedang melakoni kontrak politik lima tahun.

Indonesia boleh bangga, mungkin menjadi satu-satunya negara di ASEAN, terjadi konflik Cicak vs Buaya secara serial, bersambung antar periode. Bayangkan, aparat keamanan, hamba hukum merasa risih dengan adanya KPK. Bukannya menempatkan diri secara terpadu, sistematis, sinergis dalam ranah penegakan hukum. Bisa-bisa, bahka bisa terjadi bahwa tipikor menjadi soko guru Revolusi Mental.

Bukan berarti (pimpinan) KPK seperiode 2015-2019 hasil uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR RI menjadi kawan seiring, teman seperjuangan, sahabat sependeritaan, kolega senasib sepenanggungan dengan kawanan parpolis berlabel koalisi partai pendukung pemerintah (KP3) atau dikenal dengan sebutan koalisi pro-pemerintah.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar