Halaman

Kamis, 04 Februari 2016

Indonesia Tanpa Pintu Darurat

Indonesia Tanpa Pintu Darurat

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang sudah dirancang bangun mengandalkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, modal dasar cinta tanah air, diperkokoh pondasi Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat Indonesia yang serba multi, di satu sisi sebagai potensi populasi yang layak tanding plus bonus demografi. Di sisi yang lain ketika SARA bukan menjadi sumber konflik, bukan sebagai akar masalah berbangsa dan bernegara, justru keberadaan multipartai, fanatisme partai, loyal dan total mengabdi kepada partai, sudah sampai titik kulminasi, menjelma menjadi fungsi sumber segala sumber konflik. Tepatnya, partai sebagai pemacu dan pemicu munculnya virus konflik.

Perjalanan panjang NKRI secara demokratis diformat dalam periode lima tahunan. Panjang angan-angan menjadikan banyak anak bangsa mampu menjadi pilot. Merasa dirinya paling layak, cakap, mampu, pantas, patut, bahkan merasa paling sempurna menjadi kepala negara. Terlebih jika mengandalkan syarat administrasi yang mengutamakan rekam jejak sebagai ketua umum partai politik. Pengalaman sebagai presiden, wakil presiden, pembantu presiden dan sejenisnya terbukti tak manjur diterapkan, digunakan. Malah terbukti pengalaman sebagai kepala kota, kepala provinsi meningkat dan berakhir sebagai kepala negara.

Perjalanan lima tahunan NKRI, awak pesawat lebih mengandalkan bisikan dari pintu masuknya setan. Bahkan tanpa campur tangan setan, keserakahan politik sudah dipraktikkan. Aroma irama konflik politik menjadi menu utama penyelenggara negara selama lima tahun. Media massa hanya membeberkan fakta seadanya saja. Kenyataan kejadian perkara di lapangan lebih nyata bisa membikin rakyat semaput berdiri.

Perjalanan lima tahunan NKRI, liwat musim kemarau, sulit air, air menjadi komoditas langka, mendadak awak pesawat mencari pintu taubat. Penumpang berebut tegakkan sholat istisqa’. Indonesia darurat air. Begitu melintas di kota akrab hujan, kedatangan air yang melimpah sampai tak tertampung. Antar daerah saling menyalahkan. Aklamasi menyalahkan Pemerintah yang tak tanggap. Paling umum, sampah dijadikan kambing hitam biang banjir. Hujan selalu tak merata, rakyat hanya kegelontor hujan janji politik. Rakyat menjadi penonoton setia melihat kawanan parpolis melayang di angan-angan politiknya. Dibawah komando, kendali, ketiak . . . [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar