Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang sudah dirancang bangun mengandalkan
rasa persatuan dan kesatuan bangsa, modal dasar cinta tanah air, diperkokoh
pondasi Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat Indonesia yang serba multi, di satu
sisi sebagai potensi populasi yang layak tanding plus bonus demografi. Di sisi
yang lain ketika SARA bukan menjadi sumber konflik, bukan sebagai akar masalah
berbangsa dan bernegara, justru keberadaan multipartai, fanatisme partai, loyal
dan total mengabdi kepada partai, sudah sampai titik kulminasi, menjelma
menjadi fungsi sumber segala sumber konflik. Tepatnya, partai sebagai pemacu
dan pemicu munculnya virus konflik.
Perjalanan
panjang NKRI secara demokratis diformat dalam periode lima tahunan. Panjang
angan-angan menjadikan banyak anak bangsa mampu menjadi pilot. Merasa dirinya
paling layak, cakap, mampu, pantas, patut, bahkan merasa paling sempurna
menjadi kepala negara. Terlebih jika mengandalkan syarat administrasi yang
mengutamakan rekam jejak sebagai ketua umum partai politik. Pengalaman sebagai
presiden, wakil presiden, pembantu presiden dan sejenisnya terbukti tak manjur
diterapkan, digunakan. Malah terbukti pengalaman sebagai kepala kota, kepala
provinsi meningkat dan berakhir sebagai kepala negara.
Perjalanan
lima tahunan NKRI, awak pesawat lebih mengandalkan bisikan dari pintu masuknya
setan. Bahkan tanpa campur tangan setan, keserakahan politik sudah
dipraktikkan. Aroma irama konflik politik menjadi menu utama penyelenggara
negara selama lima tahun. Media massa hanya membeberkan fakta seadanya saja. Kenyataan
kejadian perkara di lapangan lebih nyata bisa membikin rakyat semaput berdiri.
Perjalanan
lima tahunan NKRI, liwat musim kemarau, sulit air, air menjadi komoditas langka,
mendadak awak pesawat mencari pintu taubat. Penumpang berebut tegakkan sholat
istisqa’. Indonesia darurat air. Begitu melintas di kota akrab hujan,
kedatangan air yang melimpah sampai tak tertampung. Antar daerah saling
menyalahkan. Aklamasi menyalahkan Pemerintah yang tak tanggap. Paling umum,
sampah dijadikan kambing hitam biang banjir. Hujan selalu tak merata, rakyat
hanya kegelontor hujan janji politik. Rakyat menjadi penonoton setia melihat
kawanan parpolis melayang di angan-angan politiknya. Dibawah komando, kendali,
ketiak . . . [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar