Halaman

Sabtu, 06 Februari 2016

jangan latah dan salah kaprah ucap lafadz istighfar

jangan latah dan salah kaprah ucap lafadz istighfar

Abang pedagang sayur keliling, tanpa diminta bercerita, tepatnya menggerutu. Masalahnya, ada saja ibu-ibu tanya harga. Dijawab sekian, malah beristighfar. Bang sayur bingung, seolah sebut harga menjadikan dirinya menjadi penyebab dosa calon pembeli. Barang dagangan diborong dari pasar tradisional, disortir dalam ikatan, dijajakan keliling. Ambil untung ala kadarnya, untuk modal belanja hari berikutnya.  Itulah ibu-ibu, katanya. Kita akui, justru terkadang ibu-ibu rumah tangga, yang ahli dapur, sibuk urus kelaurga, saat belanja di si abang, terjadi interaksi dengan pendatang. Ada yang ketawa-ketiwi.

Lain cerita dengan teman, yang suami isteri bekerja. Berangkat bersama. Pernah, sang suami menegur isterinya selama peralanan diam saja. “Sedang dzikir”, jawab isterinya. Motor menyalib, injak rem mendadak, tak sengaja liwat lubang, serta merta sang isteri ber-istighfar. Saat jumpa dengan saya, sang suami juga menggerutu, menganalisa singkat, kenapa orang latah ucap istighfar. Apa tidak ada kendali, kontrol otak dan saraf. Secara otomatis meluncur, sebagai reaksi spontan. Apakah saat dzikir harus fokus, tidak boleh diselingi sambil ngobrol.

Dua kejadian di atas, saya anggap hal yang lumrah, bagaimana individu menjalankan syariat Islam. Kalau ditilik soal kapan, untuk apa mengucap istighfar, saya kira mungkin sebagai kebiasaan yang bersangkutan.

Namun, kasus berkembang. Lain orang namun pengalamannya tak jauh beda. Ironisnya, soal isteri juga, jika ditanya dan kebetulan sibuk. Reaksi pertama dan spontan adalah ucap istighfar. Karena sudah terbiasa, namun tetap bikin heran sang suami. Ternyata, mempraktikkan agama harus punya, harus pakai ilmu.

Walhasil, tiga kasus di atas, benang merahnya adalah melakukan ucap lisan istighfar. Akankah hal relijius, jika salah diterapkan, malah membuat orang lain menjadi tidak nyaman. Ucapan religi, jika digunakan pada waktu dan tempat yang tidak tepat, bisa memancing reaksi emosi yang diajak bicara. Lepas apakah ucap istighfar sebagai reaksi spontan, ucap reflek, tergantung dari si pengucapnya.

Apakah berucap istighfar ada aturan mainnya. Secara teknis dan substansi, do’a, dzikir, shalawat memang bukan berkata atau berbicara. Soal menjaga fungsi lidah agar bersilat dengan santun, menjaga mulut untuk bertutur bukan asal bunyi,  menjaga suara dan irama bicara agar jangan seperti suara kaleng jatuh, ada rukunnya, ada adabnya. Bisa kita mulai dengan memaknai sambil menyimak firman Allah liwat [QS Qaaf  (50) : 18] : “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.”

Artinya, segala pikiran kita (terutama niat, minat, itikad), apa yang kita ucapkan, lisankan, terlebih semua kegiatan yang kita lakukan, bukannya tak berdampak, bukannya nantinya bukan sebagai ‘barang bukti otentik, orisinil’, yang akan dipertanggungjawabkan di mahkamah Allah.

Tidak perlu kita persolakan, apakan ucapan yang dicatat itu yang bernilai pahala atau yang bernilai dosa, atau termasuk ucapan yang mubah. Balasan pahala akan berlipat. Balasan dosa seimbang dengan perbuatan. Bagaimana kalau ucapan yang meluncur dari mulut kita, bersifat spontan, reflek dan reaktif. Bagaimana kalau saat kita mengeluh, merintih, meratap, mengaduh atau saat kita marah, tensi naik, menuruti emosi, perpancing, atau memang sudah adat, temperamen dari sono-nya, bagaimana dengan nasib ucap kita. Walau kandungan atau lafadz ucap seperti istighfar.

Memang, bahasa lisan adalah perwujudan konkrit, nyata dari kandungan isi hati, bahkan penampakkan kadar iman kita. Jika asupan, masukan substansi yang baik, melalu prosedur dan proses yang baik, keluarnya, produknya, in sya Allah, bermanfaat. Bermanfaat bagi yang empunya mulut, yang berucap, maupun bagi lawan bicara, orang lain, atau siapa pun yang ikut mendengarkannya. Wallahu a’lam. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar