jangan latah dan salah kaprah ucap
lafadz istighfar
Abang pedagang sayur
keliling, tanpa diminta bercerita, tepatnya menggerutu. Masalahnya, ada saja
ibu-ibu tanya harga. Dijawab sekian, malah beristighfar. Bang sayur bingung,
seolah sebut harga menjadikan dirinya menjadi penyebab dosa calon pembeli. Barang
dagangan diborong dari pasar tradisional, disortir dalam ikatan, dijajakan
keliling. Ambil untung ala kadarnya, untuk modal belanja hari berikutnya. Itulah ibu-ibu, katanya. Kita akui, justru
terkadang ibu-ibu rumah tangga, yang ahli dapur, sibuk urus kelaurga, saat
belanja di si abang, terjadi interaksi dengan pendatang. Ada yang
ketawa-ketiwi.
Lain cerita dengan teman,
yang suami isteri bekerja. Berangkat bersama. Pernah, sang suami menegur
isterinya selama peralanan diam saja. “Sedang dzikir”, jawab isterinya. Motor
menyalib, injak rem mendadak, tak sengaja liwat lubang, serta merta sang isteri
ber-istighfar. Saat jumpa dengan saya, sang suami juga menggerutu, menganalisa
singkat, kenapa orang latah ucap istighfar. Apa tidak ada kendali, kontrol otak
dan saraf. Secara otomatis meluncur, sebagai reaksi spontan. Apakah saat dzikir
harus fokus, tidak boleh diselingi sambil ngobrol.
Dua kejadian di atas, saya
anggap hal yang lumrah, bagaimana individu menjalankan syariat Islam. Kalau
ditilik soal kapan, untuk apa mengucap istighfar, saya kira mungkin sebagai
kebiasaan yang bersangkutan.
Namun, kasus berkembang. Lain
orang namun pengalamannya tak jauh beda. Ironisnya, soal isteri juga, jika
ditanya dan kebetulan sibuk. Reaksi pertama dan spontan adalah ucap istighfar.
Karena sudah terbiasa, namun tetap bikin heran sang suami. Ternyata,
mempraktikkan agama harus punya, harus pakai ilmu.
Walhasil, tiga kasus di
atas, benang merahnya adalah melakukan ucap lisan istighfar. Akankah hal
relijius, jika salah diterapkan, malah membuat orang lain menjadi tidak nyaman.
Ucapan religi, jika digunakan pada waktu dan tempat yang tidak tepat, bisa
memancing reaksi emosi yang diajak bicara. Lepas apakah ucap istighfar sebagai
reaksi spontan, ucap reflek, tergantung dari si pengucapnya.
Apakah berucap istighfar ada
aturan mainnya. Secara teknis dan substansi, do’a, dzikir, shalawat memang bukan
berkata atau berbicara. Soal menjaga fungsi lidah agar bersilat dengan santun,
menjaga mulut untuk bertutur bukan asal bunyi, menjaga suara dan irama bicara agar jangan
seperti suara kaleng jatuh, ada rukunnya, ada adabnya. Bisa kita mulai dengan
memaknai sambil menyimak firman Allah liwat [QS Qaaf
(50) : 18] : “Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.”
Artinya,
segala pikiran kita (terutama niat, minat, itikad), apa yang kita ucapkan, lisankan,
terlebih semua kegiatan yang kita lakukan, bukannya tak berdampak, bukannya
nantinya bukan sebagai ‘barang bukti otentik, orisinil’, yang akan dipertanggungjawabkan
di mahkamah Allah.
Tidak
perlu kita persolakan, apakan ucapan yang dicatat itu yang bernilai pahala atau
yang bernilai dosa, atau termasuk ucapan yang mubah. Balasan pahala akan
berlipat. Balasan dosa seimbang dengan perbuatan. Bagaimana kalau ucapan yang meluncur
dari mulut kita, bersifat spontan, reflek dan reaktif. Bagaimana kalau saat
kita mengeluh, merintih, meratap, mengaduh atau saat kita marah, tensi naik,
menuruti emosi, perpancing, atau memang sudah adat, temperamen dari sono-nya,
bagaimana dengan nasib ucap kita. Walau kandungan atau lafadz ucap seperti
istighfar.
Memang,
bahasa lisan adalah perwujudan konkrit, nyata dari kandungan isi hati, bahkan
penampakkan kadar iman kita. Jika asupan, masukan substansi yang baik, melalu prosedur
dan proses yang baik, keluarnya, produknya, in sya Allah, bermanfaat.
Bermanfaat bagi yang empunya mulut, yang berucap, maupun bagi lawan bicara, orang
lain, atau siapa pun yang ikut mendengarkannya. Wallahu a’lam. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar