andai Pemerintah mencurigai dan memata-matai Pesantren
(bak menepuk air di dulang terpercik wajah sendiri)
(bak menepuk air di dulang terpercik wajah sendiri)
Penjajah Belanda menyebut
pejuang Indonesia dengan ungkapan kata ‘ekstremis’. Dikenal
pula kata ‘inlander’, ‘kowé rakyat wong bodoh!’ Puluhan tahun
pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, mental priyayi masih melekat di penguasa atau
penyelenggara negara. Pemerintah seolah membuat beteng pemisah dengan rakyat. Artinya,
bagaimana Pemerintah memberlakukan rakyat, memposisikan rakyat dalam setiap
urusan, perkara dan kejadian. Ironisnya jika sampai terjadi Pemerintah
mencurigai sekaligus memata-matai rakyatnya.
Pemerintah tegak dan
didominasi oleh dampak politik kekuasaan. Pihak atau oknum yang ahli
menyanjung, yang mahir menjilat, yang lihai memikat, yang terampil merayu, yang
unggul memuja, yang ulung memuji, atau hasrat gila hormat dipenuhi, dianggap
pengikut setia. Siap menerima limpahan dan luapan bonus. Virus ini menyebabkan
muncul dan praktiknya Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (KP3). Jajaran yang
pro-pemerintah selama periode 2014-2019 bak sedang panen, memetik hasil jerih
payahnya. Pengorbanannya tak sia-sia, berbuah lezat, nikmat.
Nasib berbeda yang
menimpa pihak yang dianggap tak sejalan dengan skenario dan kebijakan
Pemerintah. Antar periode, sejak zaman Orde Baru, Pemerintah tak kehabisan akal
menerapkan berbagai versi stigma kepada ‘lawan politik’, bagi pihak yang
dianggap berseberangan, beda kutub. Terlebih jika Pemerintah wajib dan taat
menjalankan kebijakan internasional.
Tak bisa dibayangkan, jika pola pendidikan yang
memadukan ilmu formal dengan ilmu agama, di Pesantren atau sebutan lainnya, dicurigai
sekaligus dimata-matai. Pemerintah dengan ringan tangan membakukan stigma
ekstremis atau radikalis kepada pihak Pesantren. Stigma biang teroris. Padahal
banyak oknum anak bangsa yang terang-terangan menantang Pemerintah. Karena
rekam jejaknya, seolah Pemerintah mati kutu. Rongrongan dari ‘orang dalam’, orang
kepercayaan partai, ring 1 Pemerintah, pemain lama, penyandang dana, tak kalah
dahsyatnya, menjadi santapan empuk media massa. Tidak bisa dipidanakan, karena
kurang bukti. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar