Halaman

Sabtu, 06 Februari 2016

andai Pemerintah mencurigai dan memata-matai Pesantren (bak menepuk air di dulang terpercik wajah sendiri)

andai Pemerintah mencurigai dan memata-matai Pesantren 
(bak menepuk air di dulang terpercik wajah sendiri)

Penjajah Belanda menyebut pejuang Indonesia dengan ungkapan kata ‘ekstremis’. Dikenal pula kata ‘inlander’, ‘kowé rakyat wong bodoh!’ Puluhan tahun pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, mental priyayi masih melekat di penguasa atau penyelenggara negara. Pemerintah seolah membuat beteng pemisah dengan rakyat. Artinya, bagaimana Pemerintah memberlakukan rakyat, memposisikan rakyat dalam setiap urusan, perkara dan kejadian. Ironisnya jika sampai terjadi Pemerintah mencurigai sekaligus memata-matai rakyatnya.

Pemerintah tegak dan didominasi oleh dampak politik kekuasaan. Pihak atau oknum yang ahli menyanjung, yang mahir menjilat, yang lihai memikat, yang terampil merayu, yang unggul memuja, yang ulung memuji, atau hasrat gila hormat dipenuhi, dianggap pengikut setia. Siap menerima limpahan dan luapan bonus. Virus ini menyebabkan muncul dan praktiknya Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (KP3). Jajaran yang pro-pemerintah selama periode 2014-2019 bak sedang panen, memetik hasil jerih payahnya. Pengorbanannya tak sia-sia, berbuah lezat, nikmat.

Nasib berbeda yang menimpa pihak yang dianggap tak sejalan dengan skenario dan kebijakan Pemerintah. Antar periode, sejak zaman Orde Baru, Pemerintah tak kehabisan akal menerapkan berbagai versi stigma kepada ‘lawan politik’, bagi pihak yang dianggap berseberangan, beda kutub. Terlebih jika Pemerintah wajib dan taat menjalankan kebijakan internasional.

Tak bisa dibayangkan, jika pola pendidikan yang memadukan ilmu formal dengan ilmu agama, di Pesantren atau sebutan lainnya, dicurigai sekaligus dimata-matai. Pemerintah dengan ringan tangan membakukan stigma ekstremis atau radikalis kepada pihak Pesantren. Stigma biang teroris. Padahal banyak oknum anak bangsa yang terang-terangan menantang Pemerintah. Karena rekam jejaknya, seolah Pemerintah mati kutu. Rongrongan dari ‘orang dalam’, orang kepercayaan partai, ring 1 Pemerintah, pemain lama, penyandang dana, tak kalah dahsyatnya, menjadi santapan empuk media massa. Tidak bisa dipidanakan, karena kurang bukti. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar