jurusan ilmu politik
vs jurus politik ilmu putih/hitam
Tidak ada sekolah presiden. Sekolah jenderal, sekolah
camat, ada di Indonesia. Fungsi lapas/rutan bisa menjadi lembaga peningkatan
kapasitas warga binaan. Bisa disulap jadi hotel berbintang. Bisa jadi pabrik,
transaksi, markas komando, dan kegiatan aman terkendali lainnya.
Sekolah olah raga, bahkan setingkat fakultas, bukan
sekedar mencetak olah ragawan atau allit. Ada sekolah untuk mencetak calon
pebulu tangkis, ahli sepak bola. Ada sekolah menjadi artis beken.
Pemain dan pelaku politik Nusantara, untuk bisa tampil
di panggung dirintis mulai dari bawah. Menjadi aktitivis partai politik,
pengurus papan bawah, ditekuni sampai berkibar. Nasib mujur, karena faktor
keturunan, atau bisa sebagai penyandang dana, donatur, investor.
Kita simak
yang dimaksud dengan Pendidikan
Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak,
kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (UU 2/2011). Partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu, dilakukan dalam bentuk antara lain
pendidikan politik bagi Pemilih, wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU
(Pasal 246 dan 247 UU 8/2012). Pendidikan politik bagi Pemilih, tidak dirinci
apa maksud, makna, manfaat, dan tata caranya. Kondisi ini senasib dengan faktor
pertimbangan penetapan UU yaitu untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif,
berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/ Kota (Pasal 51 UU 8/2012) tidak mengindikasikan syarat
menuju kualifikasi aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab.
Setiap lima tahun sekali, melalui pileg dan pilpres,
Pemilih tinggal mencoblos foto yang diketahuinya bisa diharapkan, minimal mampu
merealisasikan, membuktikan janji kampanyenya.
Pendidikan politik seumur hidup atau selama kontrak
politik, ditujukan pada yang melek politik, agar tidak menyimpang secara sadar,
terstruktur, masif, berkelanjutan. Masyarakat, penduduk, warga negara buta
politik biasanya adem ayem, sepi ing pamrih, rame ing gawe, tuwo ning dalan,
mati ning pangkon.
Lepas dari kondisi aktual dan faktual yang menimpa
para wakil rakyat selama era Reformasi, selain kontrak politik, dibutuhkan juga
pendidikan politik. Justru karena tidak buta politik, atau melek politik
hidup-hidup, para wakil rakyat bisa bergerak bebas di antara pasal-pasal hukum,
bermanuver layaknya pembalap liar, memanfaatkan kelengahan sistem di eksekutif.
Jujur saja, para kawanan parpolis di di éra mégatéga yang sesak, padat, masif dengan berbagai elemen mégakasus, baik yang menggunakan ilmu KP3 atau mengandalkan ilmu “lawan
politik”, berharap bisa berlenggak-lenggok sampai batas waktu dan berhenti di akhir
tujuan. Tidak disemprit KPK atau terjerat, terjebak kasus atau bernasib apes.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar