Halaman

Rabu, 24 Februari 2016

jurusan ilmu politik vs jurus politik ilmu putih/hitam

jurusan ilmu politik vs jurus politik ilmu putih/hitam

Tidak ada sekolah presiden. Sekolah jenderal, sekolah camat, ada di Indonesia. Fungsi lapas/rutan bisa menjadi lembaga peningkatan kapasitas warga binaan. Bisa disulap jadi hotel berbintang. Bisa jadi pabrik, transaksi, markas komando, dan kegiatan aman terkendali lainnya.

Sekolah olah raga, bahkan setingkat fakultas, bukan sekedar mencetak olah ragawan atau allit. Ada sekolah untuk mencetak calon pebulu tangkis, ahli sepak bola. Ada sekolah menjadi artis beken.

Pemain dan pelaku politik Nusantara, untuk bisa tampil di panggung dirintis mulai dari bawah. Menjadi aktitivis partai politik, pengurus papan bawah, ditekuni sampai berkibar. Nasib mujur, karena faktor keturunan, atau bisa sebagai penyandang dana, donatur, investor.

Kita simak yang dimaksud dengan Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (UU 2/2011). Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu, dilakukan dalam bentuk antara lain pendidikan politik bagi Pemilih, wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU  (Pasal 246 dan 247 UU 8/2012). Pendidikan politik bagi Pemilih, tidak dirinci apa maksud, makna, manfaat, dan tata caranya. Kondisi ini senasib dengan faktor pertimbangan penetapan UU yaitu untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota (Pasal 51 UU 8/2012) tidak mengindikasikan syarat menuju kualifikasi aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab.

Setiap lima tahun sekali, melalui pileg dan pilpres, Pemilih tinggal mencoblos foto yang diketahuinya bisa diharapkan, minimal mampu merealisasikan, membuktikan janji kampanyenya.

Pendidikan politik seumur hidup atau selama kontrak politik, ditujukan pada yang melek politik, agar tidak menyimpang secara sadar, terstruktur, masif, berkelanjutan. Masyarakat, penduduk, warga negara buta politik biasanya adem ayem, sepi ing pamrih, rame ing gawe, tuwo ning dalan, mati ning pangkon. 

Lepas dari kondisi aktual dan faktual yang menimpa para wakil rakyat selama era Reformasi, selain kontrak politik, dibutuhkan juga pendidikan politik. Justru karena tidak buta politik, atau melek politik hidup-hidup, para wakil rakyat bisa bergerak bebas di antara pasal-pasal hukum, bermanuver layaknya pembalap liar, memanfaatkan kelengahan sistem di eksekutif.

Jujur saja, para kawanan parpolis di di éra mégatéga yang sesak, padat, masif dengan berbagai elemen mégakasus, baik yang menggunakan ilmu KP3 atau mengandalkan ilmu “lawan politik”, berharap bisa berlenggak-lenggok sampai batas waktu dan berhenti di akhir tujuan. Tidak disemprit KPK atau terjerat, terjebak kasus atau bernasib apes. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar