Halaman

Minggu, 12 Juni 2016

trio bencana politik Nusantara



trio bencana politik Nusantara

Setiap tanggal 1 Juni bangsa Indonesia memperingati hari kelahiran Pancasila. Dasar negara ini telah teruji kesaktiannya liwat kudeta, makar, pemberontakan G30S PKI. Pancasila sakti selama Suharto sebagai penguasa tunggal Orde Baru. Sekarang, berkat perjuangan MPR, Pancasila naik strata, kasta, peringkat menjadi 4 Pilar berbangsa dan bernegara.

Pemberontakan PKI tercatat dalam sejarah yaitu pertama. pada tanggal 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Kedua, 30 September 1965 di Jakarta dan Yogyakarta.

Akankah ideologi komunisme sudah musnah, sirna, menyublim di muka bumi Ibu Pertiwi, ditelan waktu, dilindas zaman. Negara produsen komunis sudah terpecah-belah menjadi beberapa negara. Tidak seorangpun mengira negara Uni Soviet yang merupakan negara super power dapat pecah dan musnah dalam sekejap. Negara yang dulunya disegani dan menjadi tumpuan kekuatan Fakta Pertahanan Warsawa di Eropa tersebut, di awal tahun 1990 akhirnya terpecah menjadi 15 negara merdeka. Demikian juga negara Yugoslavia yang pada akhirnya terpecah menjadi lima negara (berbagai sumber).

Ternyata, terdapat beberapa faktor penyubur paham komunisme yang berkembang di Indonesia. Bencana politik yang akrab dengan negara, rakyat menjadi kebal dan familiar dengan perilaku para pelaku, pemain, pekerja politik. Mulai dari ketua umum, petinggi partai sampai kroco, begundal, bolo dupaknya. Berikut, walau bukan urutan nomer, ada baiknya kite renungi akan :

PERTAMA, bahaya laten komunis

Mudahnya saja, saya tayangkan berita :

“Amien Rais : Ada Kebohongan Nasional Tutupi Kebangkitan Komunisme”
Jumat, 10 Juni 2016, 17:37 WIB
Rep: Andrian Saputra/ Red: Bayu Hermawan
Tahta Aidilla/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Mantan Ketua MPR Amien Rais menilai ada kebohongan yang sedang dilakukan untuk menutupi kebangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Amien melihat PKI tengah menyusun berbagai cara untuk berusaha bangkit kembali di Indonesia.

"Ada kebohongan nasional yang secara sistematik itu dibuat oleh tokoh kita. Mereka bilang komunisme sudah usang, tidak usah ditakuti, sudah tidak ada di mana-mana. Orang seperti ini sangat tidak bertanggung jawab, pura-pura bodoh," katanya, di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Jumat (10/6) sore.

Berbagai cara dilakukan PKI untuk bangkit kembali. Kata Amien, saat ini komunis tengah berupaya terlebih dulu menghancurkan akhlak bangsa dengan menjadikan hak asasi manusia (HAM) sebagai tameng.

"Belum lagi pornografi, narkoba, menggiatkan juga itu kita sudah terjebak dengan komunisme kultural," ujarnya.

Lebih lanjut ia meminta agar pemerintah bersikap tegas terhadap upaya segelintir orang yang ingin menghidupkan PKI. Mantan Ketua Umum PAN itu pun mengendus ada pemimpin-pemimpin yang mempunyai jabatan dan posisi tinggi di pemerintahan menjadi motor untuk kebangkitan PKI.

"Saya ingin menarik perhatian kepada teman-teman saya yang berkuasa, jangan main-main dengan komunisme. Orang yang berkata negara harus minta maaf pada PKI harus dimintai pertanggungjawaban. Ironisnya, ada yang memimpin negeri ini, posisinya pun tinggi, mari kita cari tahu bersama," jelas mantan ketum PP Muhammadiyah.

Ternyata, dari aparat pertahanan mensinyalir, seperti tayangan berikut :

“Waspadai Bahaya Laten Komunis dan Paham Radikal”
Selasa, 22 September 2015 13:24

Kepala Pembinaan Mental Kodam Iskandar Muda (Kabintaldam IM) Kolonel Caj Ahmad Husein memberikan Bintal Fungsi Komando dengan tema “Bahaya Laten Komunis dan Paham Radikal” di ruang Yudha Kodam Iskandar Muda, Jalan Ahmad Yani No.1 Peunayong, Banda Aceh, Senin (21/9).

Dihadapan ratusan prajurit, Kabintaldam IM menyampaikan ideologi komunis di Indonesia tidak pernah mati, terlebih lagi kondisi kehidupan bangsa masih diliputi kemiskinan dan kesenjangan sosial. “Sekalipun Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dibubarkan dan dilarang keberadaannya, namun di era reformasi ini justru memberi peluang munculnya multi ideologi. Kendati secara organisasi PKI sudah tidak ada, namun secara ideologi tidak pernah hilang”, katanya.

Komponen bangsa perlu selalu waspada guna menangkal berbagai upaya bangkitnya kembali ajaran komunis yang berusaha merusak ketatanegaraan di Indonesia. Begitu juga dengan faham radikal yang selalu berupaya menggunakan syariat agama dalam sendi-sendi keagamaan dan kenegaraan yang dapat mengganggu solidaritas kerukunan antar umat beragama, persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dijelaskan, dalam upaya mengkomuniskan bangsa Indonesia, Komunis/PKI telah menerapkan berbagai strategi gerakan, baik strategi gerakan terbuka yaitu gerakan legal formal maupun strategi tertutup. “Strategi tersebut adalah gerakan memutarbalikkan fakta sejarah, penyusupan/infiltrasi (Kuda Troya), pertentangan kelas (Metode Baji), agitasi dan propaganda, metode salami, metoda danau pasir, metoda hallo and horn serta masih banyak metode-metode lain yang dilakukan Komunis untuk menghancurkan negara ini,” katanya.

Untuk itu sebagai prajurit TNI harus mampu memberikan wawasan kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh faham radikal kanan serta mengajak masyarakat mengantisipasi dan mewaspadai orang asing yang akan memasukkan ideologinya, sehingga nantinya akan diperoleh langkah, cara dan kesamaan dalam bertindak. Ideologi komunis masih dianggap sebagai ancaman negara. (PENDAM IM)
Editor: bakri

Apa yang disebut ‘bahaya laten’. Kita buka Kamus Tesaurus Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, ternyata ada lema ‘laten’, yaitu :
laten a potensial, terpendam, terselubung, tersembunyi.

Kita simak Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, menjelaskan lema ‘laten’ sebagai berikut :
laten /latén/ a tersembunyi; terpendam; tidak kelihatan: kita harus tetap berjaga-jaga thd ancaman –- komunis.

Seberapa banyak, seperti apa saja yang masuk kategori bahaya laten. Bersumber dari dalam negeri, yang merupakan gerakan senyap, produk lokal, bak musuh dalam selimut. Sebagai barang impor dari mancanegara, akibat konsekuensi logis Indonesia masuk perdagangan bebas dunia. Atau jangan-jangan malah bagian tak resmi dari “kebijakan pemerintah”.

Kita akui virus komunis sudah mendarah daging di rakyat, yang masuk kategori wong cilik, papan bawah, akar rumput, kasta keset, dsb. Kesenjangan sosial, antara rakyat miskin dengan taipan versi Nusantara, bak bumi dengan langit, sebagai faktor pemacu dan pemicu ideologi aliran kiri. Perbedaaan kasta antara pribumi dengan pebisnis, sebagai lahan empuk menyusupnya paham aliran kiri. 

 KEDUA, efek domino dinasti politik
UU partai politik yang menyuratkan kepengurusan dan/atau keberadaan parpol ada dan mulai di tingkat desa/kelurahan dalam persentase tertentu, sebagai awal cara efektif memobilisasi calon pemilih. Muasal terjadi kebutuhan biaya politik untuk membentuk calon pemilih pada pilkada sampai pesta demokrasi lima tahunan. Lurah yang adalah PNS/ASN, terkadang sebagai jabatan jelang pensiun, tanda terima kasih. Terkesan bukan jabatan sasaran awal lulusan IPDN. Kepala desa yang bermodal UU 6/2014 tentang Desa, bersifat menjanjikan, prospektus. Pemerintah Desa yang mempunyai energi positif. Kepala Desa dengan modal ijazah minimal SMP atau sederajat, “berhak” menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan (@ 6 tahun) secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Bergulirnya semangat otonomi daerah menyuburkan lahirnya, bertahannya raja-raja kecil di daerah. Berdalih konstitusional, sah sesuai pasal hukum, legal secara jual beli suara, jabatan kepala daerah gubernur, bupati/walikota) dikemas menjadi satu paket di tangan satu dinasti, satu keluarga besar, satu trah.  Daerah diolah sebagai ladang emas, sumber penghasilan utama penguasa daerah yang mempunyai visi dan misi jangka panjang.

Kendati gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah, namun karena dipilih langsung oleh rakyat dan pada umumnya membutuhkan kendaraan politik, tak ayal mereka loyal total kepada kebijakan partai pengusungnya. Pada strata dan derajat tertentu, parpol identik dengan daerah. Disintegrasi bangsa yang ditakuti selama Orde Baru, dengan daya otoda, menjelma menjadi daerah hak milik parpol. Peta sebaran parpol jelang pesta demokrasi bisa dilacak dengan keberadaan dinasti politik.

Parpol lulusan kawah candradimuka Orde Baru, khususnya yang identik dengan pemerintah (ingat trio Orde Baru : Suharto – ABRI – Golkar) sebagai penyubur dinasti politik. Rakyat yang lugu, sederhana, tradisional kental, yang masuk kategori politis sebagai wong cilik, loyal kepada partai tertentu. Karena rasa hormat pada pendiri bangsa. Bukan melihat prestasi yang sedang dirundung sebagai ketua umum sebuah parpol.

KETIGA, pamer bego anak ideologis
Konon, di daerah entah berantah, yang apapun bisa terjadi, anak SMA yang ditilang polwan, dengan enteng mengaku anak jenderal. Acap terjadi anak bangsa membanggakanjasa bapak moyangnya. Hidup di bawah bayang-bayang nama besar orang tuanya. Mengandalkan jasa dan nama baik leluhurnya, agak ikut mulia. Di sisi lain, memang kewajiban orang tua untuk mewariskan nama baik dan ilmu kepada anak keturunannya.

Selain nama marga, banyak anak bangsa mencantumkan nama orang tuanya di belakang namanya. Karena sejak lahir, sesuai akta kelahiran, atau karena kurang PeDe, otomatis menderetkan nama bapaknya. Wajar tanpa pengecualian. Yang tak wajar, yaitu yang mungkin minim prestasi, atau modal pas-pasan, agar tidak kalah gaul, gengsi, dan gaya hidup.

Memang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya sebagai pepatah makna warisan watak secara genetis. Seperti bakat, keahlian, jiwa seni bawaan sejak lahir. Tanpa dipupuk, dipelihara dan upaya nyata peningkatan diri, tak ada artinya. Melanjutkan tradisi baik keluarga bukan perkara mudah. Anak terkadang terbebani nama besar orang tuanya. Dilema sukses duniawi kepala keluarga tidak serta merta identik dengan suskes keluarga, sukses anak keturunan.

Memang enak jadi rakyat, tinggal contreng siapa dari  kandidat RI-1 dan RI-2 yang akan masuk istana sampai lima tahun ke depan. Zaman edan, dengan berhala baru versi Reformasi yaitu 3K (Kuasa, Kuat, Kaya). Media massa jeli dan cermat menayangkan dan mewartakan sosok kandidat sampai visi, misi tanpa risi. Ternyata, dalam sesaat mereka menampilkan citra yang menurut bahasa rakyat adalah tak jauh dari pamer kebodohan.

Pertama, rekam jejak mengutamakan popularitas dibanding nilai kandungan dan muatan diri. Janji politik dijabarkan secara tak masuk akal. Sebagai pemanis bibir.

Kedua, melakukan aksi seremonial lima tahun sekali. Blusukan, inspeksi mendadak, turun ke bawah sebagai bukti dekat dan peduli nasig rakyat.

Ketiga, mereka terpengaruh bahwa untuk berbuat banyak untuk rakyat harus jadi presiden. Terlebih dengan kekayaan mereka kemungkinan besar kurang peka, tidak tanggap, tidak ambil pusing dan daya pedulinya sebatas kata terhadap wong cilik.

Rakyat sudah bisa menerawang bagaimana mereka sebenarnya. Namun pilihan berpulang kepada kita untuk memilih yang santun, tidak cengangas-cengenges, omong asal buka mulut, memamerkan keakuan, yang notabene adalah menonjolkan kebodohan, pamer bego luar dalam. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar