trio bencana politik Nusantara
Setiap tanggal 1 Juni bangsa Indonesia memperingati hari
kelahiran Pancasila. Dasar negara ini telah teruji kesaktiannya liwat kudeta,
makar, pemberontakan G30S PKI. Pancasila sakti selama Suharto sebagai penguasa
tunggal Orde Baru. Sekarang, berkat perjuangan MPR, Pancasila naik strata,
kasta, peringkat menjadi 4 Pilar berbangsa dan bernegara.
Pemberontakan PKI tercatat dalam sejarah yaitu pertama. pada
tanggal 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Kedua, 30 September 1965 di Jakarta dan Yogyakarta.
Akankah ideologi komunisme sudah musnah, sirna, menyublim
di muka bumi Ibu Pertiwi, ditelan waktu, dilindas zaman. Negara produsen
komunis sudah terpecah-belah menjadi beberapa negara. Tidak seorangpun mengira negara
Uni Soviet yang merupakan negara super power dapat pecah dan musnah dalam
sekejap. Negara yang dulunya disegani dan menjadi tumpuan kekuatan Fakta
Pertahanan Warsawa di Eropa tersebut, di awal tahun 1990 akhirnya terpecah
menjadi 15 negara merdeka. Demikian juga negara Yugoslavia yang pada akhirnya
terpecah menjadi lima negara (berbagai sumber).
Ternyata, terdapat beberapa faktor penyubur paham
komunisme yang berkembang di Indonesia. Bencana politik yang akrab dengan
negara, rakyat menjadi kebal dan familiar dengan perilaku para pelaku, pemain,
pekerja politik. Mulai dari ketua umum, petinggi partai sampai kroco, begundal,
bolo dupaknya. Berikut, walau bukan urutan nomer, ada baiknya kite renungi akan
:
PERTAMA, bahaya laten
komunis
Mudahnya saja, saya tayangkan berita :
“Amien Rais : Ada Kebohongan Nasional Tutupi Kebangkitan Komunisme”
Jumat,
10 Juni 2016, 17:37 WIB
Rep:
Andrian Saputra/ Red: Bayu Hermawan
Tahta
Aidilla/Republika
REPUBLIKA.CO.ID, SOLO --
Mantan Ketua MPR Amien Rais menilai ada kebohongan yang sedang dilakukan untuk
menutupi kebangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Amien melihat PKI tengah
menyusun berbagai cara untuk berusaha bangkit kembali di Indonesia.
"Ada kebohongan
nasional yang secara sistematik itu dibuat oleh tokoh kita. Mereka bilang komunisme
sudah usang, tidak usah ditakuti, sudah tidak ada di mana-mana. Orang seperti
ini sangat tidak bertanggung jawab, pura-pura bodoh," katanya, di
Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Jumat (10/6) sore.
Berbagai cara dilakukan
PKI untuk bangkit kembali. Kata Amien, saat ini komunis tengah berupaya
terlebih dulu menghancurkan akhlak bangsa dengan menjadikan hak asasi manusia
(HAM) sebagai tameng.
"Belum lagi
pornografi, narkoba, menggiatkan juga itu kita sudah terjebak dengan komunisme
kultural," ujarnya.
Lebih lanjut ia meminta
agar pemerintah bersikap tegas terhadap upaya segelintir orang yang ingin
menghidupkan PKI. Mantan Ketua Umum PAN itu pun mengendus ada pemimpin-pemimpin
yang mempunyai jabatan dan posisi tinggi di pemerintahan menjadi motor untuk
kebangkitan PKI.
"Saya ingin menarik
perhatian kepada teman-teman saya yang berkuasa, jangan main-main dengan
komunisme. Orang yang berkata negara harus minta maaf pada PKI harus dimintai
pertanggungjawaban. Ironisnya, ada yang memimpin negeri ini, posisinya pun
tinggi, mari kita cari tahu bersama," jelas mantan ketum PP Muhammadiyah.
Ternyata, dari aparat pertahanan mensinyalir, seperti
tayangan berikut :
“Waspadai Bahaya Laten Komunis dan Paham Radikal”
Selasa, 22 September 2015 13:24
Kepala Pembinaan Mental Kodam
Iskandar Muda (Kabintaldam IM) Kolonel Caj Ahmad Husein memberikan Bintal
Fungsi Komando dengan tema “Bahaya Laten Komunis dan Paham Radikal” di ruang
Yudha Kodam Iskandar Muda, Jalan Ahmad Yani No.1 Peunayong, Banda Aceh, Senin
(21/9).
Dihadapan ratusan prajurit,
Kabintaldam IM menyampaikan ideologi komunis di Indonesia tidak pernah mati,
terlebih lagi kondisi kehidupan bangsa masih diliputi kemiskinan dan
kesenjangan sosial. “Sekalipun Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dibubarkan
dan dilarang keberadaannya, namun di era reformasi ini justru memberi peluang
munculnya multi ideologi. Kendati secara organisasi PKI sudah tidak ada, namun
secara ideologi tidak pernah hilang”, katanya.
Komponen bangsa perlu selalu
waspada guna menangkal berbagai upaya bangkitnya kembali ajaran komunis yang
berusaha merusak ketatanegaraan di Indonesia. Begitu juga dengan faham radikal
yang selalu berupaya menggunakan syariat agama dalam sendi-sendi keagamaan dan
kenegaraan yang dapat mengganggu solidaritas kerukunan antar umat beragama,
persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dijelaskan, dalam upaya
mengkomuniskan bangsa Indonesia, Komunis/PKI telah menerapkan berbagai strategi
gerakan, baik strategi gerakan terbuka yaitu gerakan legal formal maupun
strategi tertutup. “Strategi tersebut adalah gerakan memutarbalikkan fakta
sejarah, penyusupan/infiltrasi (Kuda Troya), pertentangan kelas (Metode Baji),
agitasi dan propaganda, metode salami, metoda danau pasir, metoda hallo and
horn serta masih banyak metode-metode lain yang dilakukan Komunis untuk
menghancurkan negara ini,” katanya.
Untuk itu sebagai prajurit TNI
harus mampu memberikan wawasan kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh
oleh faham radikal kanan serta mengajak masyarakat mengantisipasi dan
mewaspadai orang asing yang akan memasukkan ideologinya, sehingga nantinya akan
diperoleh langkah, cara dan kesamaan dalam bertindak. Ideologi komunis masih
dianggap sebagai ancaman negara. (PENDAM IM)
Editor: bakri
Apa yang disebut ‘bahaya laten’. Kita buka Kamus
Tesaurus Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, ternyata ada lema ‘laten’, yaitu :
laten a potensial, terpendam, terselubung, tersembunyi.
Kita simak Kamus
Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, menjelaskan lema ‘laten’
sebagai berikut :
laten /latén/ a tersembunyi; terpendam; tidak kelihatan:
kita harus tetap berjaga-jaga thd ancaman –- komunis.
Seberapa banyak, seperti apa saja yang masuk kategori
bahaya laten. Bersumber dari dalam negeri, yang merupakan gerakan senyap,
produk lokal, bak musuh dalam selimut. Sebagai barang impor dari mancanegara,
akibat konsekuensi logis Indonesia masuk perdagangan bebas dunia. Atau
jangan-jangan malah bagian tak resmi dari “kebijakan pemerintah”.
Kita akui virus komunis sudah mendarah
daging di rakyat, yang masuk kategori wong cilik, papan bawah, akar rumput,
kasta keset, dsb. Kesenjangan sosial, antara rakyat miskin dengan taipan
versi Nusantara, bak bumi dengan langit, sebagai faktor pemacu dan pemicu
ideologi aliran kiri. Perbedaaan kasta antara pribumi dengan pebisnis, sebagai
lahan empuk menyusupnya paham aliran kiri.
KEDUA, efek domino dinasti politik
UU partai politik yang menyuratkan kepengurusan dan/atau
keberadaan parpol ada dan mulai di tingkat desa/kelurahan dalam persentase
tertentu, sebagai awal cara efektif memobilisasi calon pemilih. Muasal terjadi
kebutuhan biaya politik untuk membentuk calon pemilih pada pilkada sampai pesta
demokrasi lima tahunan. Lurah yang adalah PNS/ASN, terkadang sebagai jabatan
jelang pensiun, tanda terima kasih. Terkesan bukan jabatan sasaran awal lulusan
IPDN. Kepala desa yang bermodal UU 6/2014 tentang Desa, bersifat menjanjikan, prospektus.
Pemerintah Desa yang mempunyai energi positif. Kepala Desa dengan modal ijazah
minimal SMP atau sederajat, “berhak” menjabat
paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan (@ 6 tahun) secara berturut-turut atau
tidak secara berturut-turut.
Bergulirnya semangat otonomi daerah menyuburkan lahirnya,
bertahannya raja-raja kecil di daerah. Berdalih konstitusional, sah sesuai
pasal hukum, legal secara jual beli suara, jabatan kepala daerah gubernur,
bupati/walikota) dikemas menjadi satu paket di tangan satu dinasti, satu
keluarga besar, satu trah. Daerah diolah
sebagai ladang emas, sumber penghasilan utama penguasa daerah yang mempunyai
visi dan misi jangka panjang.
Kendati gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah,
namun karena dipilih langsung oleh rakyat dan pada umumnya membutuhkan
kendaraan politik, tak ayal mereka loyal total kepada kebijakan partai
pengusungnya. Pada strata dan derajat tertentu, parpol identik dengan daerah.
Disintegrasi bangsa yang ditakuti selama Orde Baru, dengan daya otoda, menjelma
menjadi daerah hak milik parpol. Peta sebaran parpol jelang pesta demokrasi
bisa dilacak dengan keberadaan dinasti politik.
Parpol lulusan kawah candradimuka Orde Baru, khususnya
yang identik dengan pemerintah (ingat trio Orde Baru : Suharto – ABRI – Golkar)
sebagai penyubur dinasti politik. Rakyat yang lugu, sederhana, tradisional
kental, yang masuk kategori politis sebagai wong cilik, loyal kepada partai tertentu.
Karena rasa hormat pada pendiri bangsa. Bukan melihat prestasi yang sedang
dirundung sebagai ketua umum sebuah parpol.
KETIGA, pamer bego anak
ideologis
Konon, di daerah entah berantah, yang apapun bisa
terjadi, anak SMA yang ditilang polwan, dengan enteng mengaku anak jenderal. Acap
terjadi anak bangsa membanggakanjasa bapak moyangnya. Hidup di bawah bayang-bayang
nama besar orang tuanya. Mengandalkan jasa dan nama baik leluhurnya, agak ikut
mulia. Di sisi lain, memang kewajiban orang tua untuk mewariskan nama baik dan
ilmu kepada anak keturunannya.
Selain nama marga, banyak anak bangsa mencantumkan nama
orang tuanya di belakang namanya. Karena sejak lahir, sesuai akta kelahiran,
atau karena kurang PeDe, otomatis menderetkan nama bapaknya. Wajar tanpa
pengecualian. Yang tak wajar, yaitu yang mungkin minim prestasi, atau modal
pas-pasan, agar tidak kalah gaul, gengsi, dan gaya hidup.
Memang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya sebagai pepatah
makna warisan watak secara genetis. Seperti bakat, keahlian, jiwa seni bawaan
sejak lahir. Tanpa dipupuk, dipelihara dan upaya nyata peningkatan diri, tak ada
artinya. Melanjutkan tradisi baik keluarga bukan perkara mudah. Anak terkadang
terbebani nama besar orang tuanya. Dilema sukses duniawi kepala keluarga tidak
serta merta identik dengan suskes keluarga, sukses anak keturunan.
Memang enak
jadi rakyat, tinggal contreng siapa dari kandidat RI-1 dan RI-2 yang akan masuk istana
sampai lima tahun ke depan. Zaman edan, dengan berhala baru versi Reformasi
yaitu 3K (Kuasa, Kuat, Kaya). Media massa jeli dan cermat menayangkan dan
mewartakan sosok kandidat sampai visi, misi tanpa risi. Ternyata, dalam sesaat
mereka menampilkan citra yang menurut bahasa rakyat adalah tak jauh dari pamer
kebodohan.
Pertama, rekam
jejak mengutamakan popularitas dibanding nilai kandungan dan muatan diri. Janji
politik dijabarkan secara tak masuk akal. Sebagai pemanis bibir.
Kedua, melakukan
aksi seremonial lima tahun sekali. Blusukan, inspeksi mendadak, turun ke bawah
sebagai bukti dekat dan peduli nasig rakyat.
Ketiga,
mereka terpengaruh bahwa untuk berbuat banyak untuk rakyat harus jadi presiden.
Terlebih dengan kekayaan mereka kemungkinan besar kurang peka, tidak tanggap,
tidak ambil pusing dan daya pedulinya sebatas kata terhadap wong cilik.
Rakyat sudah
bisa menerawang bagaimana mereka sebenarnya. Namun pilihan berpulang kepada
kita untuk memilih yang santun, tidak cengangas-cengenges, omong asal buka
mulut, memamerkan keakuan, yang notabene adalah menonjolkan kebodohan, pamer
bego luar dalam. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar