Halaman

Kamis, 23 Juni 2016

ora ilok, mangan pindah-pindah



ora ilok, mangan pindah-pindah

Pamali atau pantangan, dalam arti sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bahasa poltisnya tidak layak , kurang patut, atau sudah tidak pas malah dipas-paskan. Begitu kira-kira maksudnya. Pamali pada kadar tertentu bisa mengarah ke perbuatan yang malah mengundang dosa atau bentuk dampak negatif lainnya.

Diyakini oleh ahli sejarah, bahwa pamali yang menjadi peraturan tertulis di masyarakat, merupakan cikal bakal atau pondasi berkembangnya agama Islam. Hakikat pamali menjelaskan apa yang tidak boleh, atau seyogyanya dihindari, atau jangan dilakukan dengan sengaja. Sebagai dasar hubungan antara manusia dengan Allah SWT, hubungan antar umat manusia, serta maupun hubungan antara manusia dengan lingkungan.

Seperti contoh ungkapan sesuai judul yaitu ‘ora ilok, mangan pindah-pindah’. Makna ‘ora ilok’ bisa masuk pasal larangan tak tertulis. Bisa disertai penyebab atau biasanya dampaknya. Artinya, jika melanggar sesuatu akan berakibat sesuatu yang ada kaitannya. Faktor ajar berbasis ‘ora ilok’ sudah diterapkan pada anak sejak dini. Doeloe, acap dipakai orang tua dalam menasihati anaknya.

Mangan pindah-pindah’ dimaksudkan sebagai pada saat makan kita jangan berpindah-pindah tempat. Dampaknya sangat beragam, biasanya nanti dikuatirkan akan beristeri dua. Jadi, tidak berlaku pada anak perempuan. Sebagai jalan tengah, imbuh pitutur tersebut adalah terkecuali jika meningkat dari duduk lesehan di lantai, kemudian pindah ke ruang makan, memakai meja makan. Yang semestinya inilah sebagai makna hakiki yaitu nantinya jika bekerja akan meningkat.

Perkembangan zaman yang merupakan proses fungsi waktu, bisa menyebabkan peradaban bergulir cepat tak terkendali. Kearifan lokal ‘ora ilok’ bersifat dinamis, akseleratif dan malah sudah mendahului zamannya. Ada beberapa pelajaran dasar yang bisa kita petik :

Pertama, makan sambil duduk di lantai, kalau di rumah dilakukan di dapur. Orang makan merasa nyaman dekat dengan sumbernya, ketika ibu sedang masak atau olah-olah. Kalau lauk kurang bisa langsung comot, atau makan sambil tunggu lauk siap saji. Minum, tinggal pilih. Buang sampah bebas. Jangan heran, jika secara politis orang merasa aman dan nyaman jika berada di lingkaran kekuasaan, dekat dengan sumber penentu nasib bangsa dan negara.

Kedua, makan dekat sumber nasi dan lauknya, diibaratkan bak rangkap jabatan. Tepatnya dari segi majemen waktu, orang bisa mengerjakan berbagai jenis pekerjaan dalam waktu bersamaan. Seolah kita tidak fokus hanya untuk makan saja. Bisa sambil mengerjakan pekerjaan yang lainnya. Artinya, orang yang nikmat berada di dapur negara, masih kurang nikmat jika tidak merambah ke sumber rejeki lainnya. Atau memanfaatkan sikon dengan seoptimal waktu dalam waktu sesuai kontrak politik.

Ketiga, jika pindah-pindah tempat atau perjalanan karir politik yang berkemajuan, meningkat tahap demi tahap, harus (bahkan wajib) mendapat rekomendasi, restu dari penguasa dapur. Setelah dinyatakan layak dan patut, siap diterjunkan ke medan perang. Tepatnya, siap menjalankan kebijakan partai tanpa menoleh ke belakang lagi. Apapun yang terjadi, terjang, babat habis tanpa ampun. Karena bahas politik tidak mengenal asas ‘ora ilok’.

Selanjutnya, terserah pembaca. Wallahu a’lam bisshawab. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar