ora ilok, mangan pindah-pindah
Pamali atau pantangan,
dalam arti sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bahasa poltisnya tidak layak ,
kurang patut, atau sudah tidak pas malah dipas-paskan. Begitu kira-kira
maksudnya. Pamali pada kadar tertentu bisa mengarah ke perbuatan yang malah
mengundang dosa atau bentuk dampak negatif lainnya.
Diyakini oleh ahli
sejarah, bahwa pamali yang menjadi peraturan tertulis di masyarakat, merupakan
cikal bakal atau pondasi berkembangnya agama Islam. Hakikat pamali menjelaskan
apa yang tidak boleh, atau seyogyanya dihindari, atau jangan dilakukan dengan
sengaja. Sebagai dasar hubungan antara manusia dengan Allah SWT, hubungan antar
umat manusia, serta maupun hubungan antara manusia dengan lingkungan.
Seperti contoh ungkapan sesuai
judul yaitu ‘ora ilok, mangan
pindah-pindah’. Makna ‘ora ilok’ bisa masuk pasal larangan tak tertulis.
Bisa disertai penyebab atau biasanya dampaknya. Artinya, jika melanggar sesuatu
akan berakibat sesuatu yang ada kaitannya. Faktor ajar berbasis ‘ora ilok’ sudah diterapkan pada anak
sejak dini. Doeloe, acap dipakai orang tua dalam menasihati anaknya.
‘Mangan pindah-pindah’ dimaksudkan sebagai pada saat makan kita jangan
berpindah-pindah tempat. Dampaknya sangat beragam, biasanya nanti dikuatirkan akan
beristeri dua. Jadi, tidak berlaku pada anak perempuan. Sebagai jalan tengah,
imbuh pitutur tersebut adalah terkecuali jika meningkat dari duduk lesehan di
lantai, kemudian pindah ke ruang makan, memakai meja makan. Yang semestinya inilah
sebagai makna hakiki yaitu nantinya jika bekerja akan meningkat.
Perkembangan zaman yang
merupakan proses fungsi waktu, bisa menyebabkan peradaban bergulir cepat tak
terkendali. Kearifan lokal ‘ora ilok’
bersifat dinamis, akseleratif dan malah sudah mendahului zamannya. Ada beberapa
pelajaran dasar yang bisa kita petik :
Pertama, makan
sambil duduk di lantai, kalau di rumah dilakukan di dapur. Orang makan merasa
nyaman dekat dengan sumbernya, ketika ibu sedang masak atau olah-olah. Kalau lauk
kurang bisa langsung comot, atau makan sambil tunggu lauk siap saji. Minum,
tinggal pilih. Buang sampah bebas. Jangan heran, jika secara politis orang
merasa aman dan nyaman jika berada di lingkaran kekuasaan, dekat dengan sumber
penentu nasib bangsa dan negara.
Kedua, makan
dekat sumber nasi dan lauknya, diibaratkan bak rangkap jabatan. Tepatnya dari
segi majemen waktu, orang bisa mengerjakan berbagai jenis pekerjaan dalam waktu
bersamaan. Seolah kita tidak fokus hanya untuk makan saja. Bisa sambil
mengerjakan pekerjaan yang lainnya. Artinya, orang yang nikmat berada di dapur
negara, masih kurang nikmat jika tidak merambah ke sumber rejeki lainnya. Atau
memanfaatkan sikon dengan seoptimal waktu dalam waktu sesuai kontrak politik.
Ketiga, jika
pindah-pindah tempat atau perjalanan karir politik yang berkemajuan, meningkat tahap
demi tahap, harus (bahkan wajib) mendapat rekomendasi, restu dari penguasa
dapur. Setelah dinyatakan layak dan patut, siap diterjunkan ke medan perang. Tepatnya,
siap menjalankan kebijakan partai tanpa menoleh ke belakang lagi. Apapun yang
terjadi, terjang, babat habis tanpa ampun. Karena bahas politik tidak mengenal
asas ‘ora ilok’.
Selanjutnya, terserah
pembaca. Wallahu a’lam bisshawab. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar