Halaman

Selasa, 21 Juni 2016

menakar ikatan moral koalisi parpol dan ketahanan ideologi Nusantara



menakar ikatan moral koalisi parpol dan ketahanan ideologi Nusantara

Supremasi Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi bangsa, sebagai sistem filsafat mengalami pasang surut pemaknaan dan terlebih saat praktiknya. Masyarakat Indonesia yang heterogen dalam kehomogenan serta homogen dalam keheterogenan, sejak jauh sebelum pedagang VOC masuk, sudah mempunyai pandangan hidup atau filsafat hidup yang berbasis pada local genius (kecerdasan/kreativitas lokal) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal).

Filosofi atau konsep “Deso Mowo Toto Negoro Mowo Coro” sebagai cara melihat perbedaan dalam aturan tata desa yang harus dihormati, untuk keberlangsungan Kenegaraan. Posisi dan peran Desa sampai detik ini, tidak bisa diabaikan, dalam arti tidak bisa diatur, diperintah “seenak wudele dhewe”. Wong nDeso, sebagai stigma, memang tidak layak dipakai. Dipercaturan hidup bermayarakat, ada istilah orang udik, wong kampong, kampungan (sebagai stigma masyarakat Indonesia yang jauh dari kadar modern), dan sebagainya.

Jangan lupa kawan, dua pertimbangan ditetapkannya UU 6/2014 tentang DESA adalah :

Pertama, bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kedua, bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Jangan heran pembaca, betapa UU mengatur bagaimana aturan main untuk mendirikan sebuah partai politik. Kita simak UU 2/2011 tentang PARTAI POLITIK, khususnya Pasal 19 ayat (4) :
Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan.

Satu-satunya pertanyaan sekaligus pernyataan adalah betapa kokohnya jika partai politik (parpol) bisa mengakar sampai tingkat kelurahan/desa. Tentunya tidak semua parpol (bisa) buka cabang disetiap kelurahan/desa. Hanya sebatas syarat administrasi untuk bahan verifikasi.

Singkat cerita, parpol yang eksis di tingkat mulai kabupaten/kota, provinsi bahkan terlebih pusat, tentu punya dan mengantongi seperangkat hak kewenangan yang berjenjang. Terlebih bagi parpol yang mendapat suara untuk mendapat jatah kursi parlemen usai ikut pesta demokrasi (pemilihan legislatif).

Parpol terjebak aturan main yang dibuat oleh pendahulunya dalam bentuk UU. Koalisi parpol memang legal, konstitusional dan masuk akal sesuai UU tentang PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN. Disuratkan bahwa :

Pertama, Gabungan Partai Politik adalah gabungan 2 (dua) Partai Politik atau lebih yang bersama-sama bersepakat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua, calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Ketiga, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Disinilah awal kelemahan secara moral koalisi parpol atau gabungan parpol, entah dengan embel-embel apapun. Dampaknya, terkhusus di era megatega, megakasus, tidak ada batasan tegas, antara pemerintah dengan oposisi. Ironisnya, muncul pertanyaan siapa yang jadi presiden! [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar