menakar ikatan moral koalisi parpol dan ketahanan
ideologi Nusantara
Supremasi Pancasila
sebagai dasar negara, sebagai ideologi bangsa, sebagai sistem filsafat
mengalami pasang surut pemaknaan dan terlebih saat praktiknya. Masyarakat Indonesia
yang heterogen dalam kehomogenan serta homogen dalam keheterogenan, sejak jauh
sebelum pedagang VOC masuk, sudah mempunyai pandangan hidup atau filsafat hidup
yang berbasis pada local genius (kecerdasan/kreativitas
lokal) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal).
Filosofi atau konsep “Deso Mowo Toto Negoro Mowo Coro” sebagai
cara melihat perbedaan dalam aturan tata desa yang harus dihormati, untuk
keberlangsungan Kenegaraan. Posisi dan peran Desa sampai detik ini, tidak bisa
diabaikan, dalam arti tidak bisa diatur, diperintah “seenak wudele dhewe”. Wong
nDeso, sebagai stigma, memang tidak layak dipakai. Dipercaturan hidup
bermayarakat, ada istilah orang udik, wong kampong, kampungan (sebagai stigma
masyarakat Indonesia yang jauh dari kadar modern), dan sebagainya.
Jangan lupa kawan,
dua pertimbangan ditetapkannya UU 6/2014 tentang DESA adalah :
Pertama, bahwa Desa memiliki hak
asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Kedua, bahwa dalam perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk
sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri,
dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera.
Jangan heran pembaca, betapa
UU mengatur bagaimana aturan main untuk mendirikan sebuah partai politik. Kita
simak UU 2/2011 tentang PARTAI POLITIK, khususnya Pasal 19 ayat (4) :
Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk
sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya
disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan.
Satu-satunya pertanyaan
sekaligus pernyataan adalah betapa kokohnya jika partai politik (parpol) bisa
mengakar sampai tingkat kelurahan/desa. Tentunya tidak semua parpol (bisa) buka
cabang disetiap kelurahan/desa. Hanya sebatas syarat administrasi untuk bahan
verifikasi.
Singkat cerita, parpol
yang eksis di tingkat mulai kabupaten/kota, provinsi bahkan terlebih pusat,
tentu punya dan mengantongi seperangkat hak kewenangan yang berjenjang.
Terlebih bagi parpol yang mendapat suara untuk mendapat jatah kursi parlemen
usai ikut pesta demokrasi (pemilihan legislatif).
Parpol terjebak aturan
main yang dibuat oleh pendahulunya dalam bentuk UU. Koalisi parpol memang legal,
konstitusional dan masuk akal sesuai UU tentang PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN
WAKIL PRESIDEN. Disuratkan bahwa :
Pertama, Gabungan Partai Politik adalah gabungan 2
(dua) Partai Politik atau lebih yang bersama-sama bersepakat mencalonkan 1
(satu) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua, calon Presiden dan calon Wakil Presiden
diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik.
Ketiga, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai
Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan
kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh
25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR,
sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Disinilah awal kelemahan
secara moral koalisi parpol atau gabungan parpol, entah dengan embel-embel
apapun. Dampaknya, terkhusus di era megatega, megakasus, tidak ada batasan
tegas, antara pemerintah dengan oposisi. Ironisnya, muncul pertanyaan siapa
yang jadi presiden! [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar