Halaman

Kamis, 30 Juni 2016

efek domino revolusi mental, pengampunan pajak vs pajak pengampunan



efek domino revolusi mental, pengampunan pajak vs pajak pengampunan

Konon, kebijakan pemerintah berwujud kebijakan pengampunan pajak, bersama Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi mengesahkan Undang-Undang Tax Amnesty atau UU Pengampunan Pajak, pada Selasa (28/06/2016). Penetapan periode menjadi penting karena UU Pengampunan Pajak hanya berlaku hingga akhir Maret 2017 mendatang. Diperkirakan negara akan mendapat Rp165 triliun.

Tarif uang tebusan tidak sama dengan tarif pajak 30% untuk individu Sebab, tarif pajak normal untuk individu dikenakan terhadap pendapatan, sedangkan yang tarif uang tebusan dalam UU Tax Amnesty dikenakan terhadap aset. Melalui UU Tax Amnesty, para wajib pajak yang bersedia memindahkan asetnya dari luar negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2% sampai 5%. Adapun wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa memindahkan aset akan dikenai tarif 4% hingga dan 10%. Harus diklarifikasi bahwa tidak semua yang ikut amnesty adalah pengemplang atau wajib pajak nakal.

Konon, terdapat peribahasa “di balik kebijakan ada kebijakan”. Nilai nominal sebuah “kebijakan” yang merupakan produk kompromi yang tidak kompromis, merupakan sistem bagi hasil. Tepatnya sistem barter politik, yang dipraktikkan secara asas selaras, serasi, dan seimbang. Pihak yang berseberangan dalam periode atau era megatega, megakonflik, megabencana dengan asas “tahu sama tahu” mufakat untuk tidak saling merugikan. Tidak saling mengintip kelemahan lawan. Tidak akan saling jegal dan saling jagal. Tidak saling iri atau mengklaim lahan tetangga lebih basah, lebih hijau dan lebih produktif.

Bagaimana caranya? Dengan hukum DM bahasa Indonesia. Cukup sederhana. Hasilnya juga sederhana, bisa diterima, dicerna dan ditelan utuh oleh perut rakyat. Singkat cerita, dengan modal kata yang sama, hanya dibalik urutannya, yaitu pengampunan pajak menjadi pajak pengampunan.

“Pajak pengampunan” masuk ranah utama bahasa politik. Bukan barang baru dipercaturan politik era Reformasi. Lebih diformalkan, dilegalkan, dikonstitusionalkan di periode 2014-2019. Menghindari jargon “jeruk santap jeruk”, maka siapa saja dari koalisi ataupun oposisi yang berurusan dengan hukum, terkhusus akibat kinerja KPK, jika menjadi terpidana dan dihadapkan ke meja hijau, maka akan menerima “hukum adat” dengan pengampunan masa tahanan sebelum diputuskan. Besarnya “pengampunan” tergantung “besar pajak” yang akan disetor terpidana. Negara kita negara hukum, hukuman seperti apa bisa saja terjadi. Perkara apa saja bisa diselesaikan secara aman dan damai. Wallahu a’lam bisshawab. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar