efek domino revolusi
mental, pengampunan pajak vs pajak pengampunan
Konon, kebijakan pemerintah berwujud kebijakan pengampunan pajak, bersama Dewan
Perwakilan Rakyat secara resmi mengesahkan Undang-Undang Tax Amnesty atau UU
Pengampunan Pajak, pada Selasa (28/06/2016). Penetapan periode menjadi penting
karena UU Pengampunan Pajak hanya berlaku hingga akhir Maret 2017 mendatang. Diperkirakan
negara akan mendapat Rp165 triliun.
Tarif uang tebusan tidak sama dengan tarif pajak
30% untuk individu Sebab, tarif pajak normal untuk individu dikenakan terhadap
pendapatan, sedangkan yang tarif uang tebusan dalam UU Tax Amnesty dikenakan
terhadap aset. Melalui UU Tax Amnesty, para wajib pajak yang bersedia
memindahkan asetnya dari luar negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2%
sampai 5%. Adapun wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa
memindahkan aset akan dikenai tarif 4% hingga dan 10%. Harus diklarifikasi bahwa tidak semua yang ikut amnesty adalah pengemplang
atau wajib pajak nakal.
Konon, terdapat peribahasa “di balik kebijakan ada kebijakan”. Nilai nominal sebuah “kebijakan” yang merupakan produk kompromi yang
tidak kompromis, merupakan sistem bagi hasil. Tepatnya sistem barter politik,
yang dipraktikkan secara asas selaras, serasi, dan seimbang. Pihak yang
berseberangan dalam periode atau era megatega, megakonflik, megabencana dengan
asas “tahu sama tahu” mufakat untuk tidak saling merugikan. Tidak saling
mengintip kelemahan lawan. Tidak akan saling jegal dan saling jagal. Tidak
saling iri atau mengklaim lahan tetangga lebih basah, lebih hijau dan lebih produktif.
Bagaimana caranya? Dengan hukum DM bahasa Indonesia.
Cukup sederhana. Hasilnya juga sederhana, bisa diterima, dicerna dan ditelan
utuh oleh perut rakyat. Singkat cerita, dengan modal kata yang sama, hanya
dibalik urutannya, yaitu pengampunan pajak menjadi pajak pengampunan.
“Pajak pengampunan” masuk ranah utama bahasa politik.
Bukan barang baru dipercaturan politik era Reformasi. Lebih diformalkan,
dilegalkan, dikonstitusionalkan di periode 2014-2019. Menghindari jargon “jeruk
santap jeruk”, maka siapa saja dari koalisi ataupun oposisi yang berurusan
dengan hukum, terkhusus akibat kinerja KPK, jika menjadi terpidana dan
dihadapkan ke meja hijau, maka akan menerima “hukum adat” dengan pengampunan
masa tahanan sebelum diputuskan. Besarnya “pengampunan” tergantung “besar pajak”
yang akan disetor terpidana. Negara kita negara hukum, hukuman seperti apa bisa
saja terjadi. Perkara apa saja bisa diselesaikan secara aman dan damai. Wallahu a’lam bisshawab. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar